JAKARTA - Warga yang membutuhkan layanan pendidikan khusus diminta melapor ke dinas pendidikan setempat atau langsung ke Departemen Pendidikan Nasional. Pemerintah, kata Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Ekodjatmiko Sukarso, akhir pekan lalu, akan membantu melalui subsidi biaya operasional pendidikan dan biaya alat keterampilan.
Besaran bantuan yang akan diberikan berkisar Rp 30-100 juta. Hingga kini ada 196 lembaga atau yayasan, 18 lembaga pemasyarakatan anak, dan 14 sekolah Indonesia di luar negeri yang menjadi penyelenggara pendidikan layanan khusus yang terdaftar dan mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Penyelenggaraan pendidikan ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Eko mencontohkan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak di daerah transmigrasi di Sumatera Barat, untuk anak-anak jalanan di Jakarta Selatan, dan anak-anak suku pedalaman di Mentawai.
Salah satu sekolah pendidikan layanan khusus di Jakarta yang dikunjungi Tempo adalah di Perkampungan Nelayan Blok Empang, Kampung Baru, Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Pendidikan yang dikelola Yayasan Lentera Bangsa ini mulai dirintis pada 2003, tapi baru aktif pada 2005.
Sekolah yang dibangun tepat di atas empang ini berukuran 6 x 12 meter, beralas kayu, dan beratapkan tripleks. Sekolah dibangun semipermanen dengan bahan baku bambu dan kayu. Di sekolah ini tidak ada jendela sehingga angin bebas masuk dari sela dinding bambu yang tak rapat. Di sana juga tidak ada kursi dan meja seperti sekolah pada umumnya. Sekolah ini dibangun dengan subsidi Rp 60 juta dari pemerintah.
Sekolah ini sebenarnya memiliki sekitar 300 siswa, tapi hanya 180 orang yang aktif. Siswa berbaju warna-warni dan tanpa alas kaki belajar di ruangan yang dibagi menjadi dua bagian sama besar. Karena luasnya yang tidak memadai, siswa di satu kelas harus belajar sambil memunggungi kawan di kelas lainnya.
Pendidikan layanan khusus yang digelar mulai tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas ini gratis. Seluruh kebutuhan siswa, termasuk buku sekolah dan alat tulis, disediakan yayasan. Sekolah hanya tidak menyediakan seragam.
Kepala Sekolah Sobirin menyatakan orang tua siswa kebanyakan berprofesi sebagai nelayan, buruh angkut, buruh lelang, pemungut ikan, dan pemulung. "Kalau Jumat, Sabtu dan hujan, biasanya hanya beberapa anak yang masuk," katanya.
M. Khairun, salah satu siswa kelas II, mengatakan proses belajar di sana menyenangkan. "Gurunya baik walaupun sekolahnya cuma seperti ini," kata anak 10 tahun itu. Ia sekolah karena tidak ingin menjadi buruh angkut seperti ayahnya. "Saya mau jadi pemain bola." REH ATEMALEM SUSANTI
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/13/Nasional/krn.20090413.162300.id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar