Oleh: Adi Ekopriyono
TULISAN saya berjudul "Pluralisme Setengah Hati" ditanggapi oleh Nasirudin (Suara Merdeka, 4 Juli 2003). Pada intinya, tanggapan itu meragukan, apakah agama bisa didekati dari sisi keilmuan bukan keimanan, deskriptif bukan normatif.
Tanggapan itu meragukan bayangan saya, bahwa betapa indahnya kalau setiap peserta didik mendapatkan pelajaran tentang berbagai agama di sekolah mereka, dengan pendekatan keilmuan, bukan keimanan. Dengan demikian, peserta didik akan saling mengenal, sehingga bisa saling menyayangi.
Saling mengenal, saling memahami, saling menyayangi, saya bayangkan bisa merajut kerukunan antarumat beragama di masa depan. Itulah pluralisme substansial, bukan semu, bukan setengah hati.
Konsekuensi Logis
Benar, terdapat dua pendekatan dalam studi agama, yaitu normatif dan deskriptif. Pendekatan normatif lebih bersifat persuasif apologetik, pendekatan deskriptif lebih pada aspek kesejarahan, struktur, doktrin, dan aspek-aspek lain tanpa penilaian. Pendekatan deskriptif inilah yang berdasarkan keilmuan, bukan keimanan.
Benar pula, bahwa agama yang begitu kompleks akan sulit sekali diperetheli sisi kognitifnya saja. Agama memang tidak cukup untuk dikenal atau diketahui, melainkan juga diyakini, dipraktikkan, dan dirasakan. Tetapi, apakah sesuatu yang sulit itu selalu berarti tidak dapat dilakukan sama sekali? Tentu tidak!
Marilah kita kembali pada fungsi sekolah yang sebenarnya. Bukankah sekolah adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan sesuatu dari sisi keilmuan, bukan keimanan? Jadi, kalau kita mau konsekuen dengan fungsi tersebut, maka agama pun yang diajarkan di sekolah sebaiknya juga bisa didekati secara keilmuan, secara deskriptif, bukan normatif. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari masuknya agama ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah.
Masalah ketakwaan dan keimanan, lebih merupakan masalah keluarga, lingkungan, dan masyarakat, termasuk lembaga-lembaga keagamaan. Ketakwaan dan keimanan peserta didik bukanlah mutlak menjadi tanggung jawab pihak sekolah. Kalaupun sekolah dibebani pula masalah ketakwaan dan keimanan, maka sebaiknya beban itu bukan tugas utama, melainkan komplementer.
Dasar pemikiran seperti itulah yang mendorong saya berpendapat, bahwa pendidikan agama dapat disampaikan secara deskriptif. Pola ini sudah diterapkan di beberapa negara, misalnya dengan istilah perbandingan agama. Tidak hanya di perguruan tinggi, melainkan juga di tingkat SD, SLTP, maupun SLTA.
Di sebuah SLTP di Australia misalnya, semua peserta didik diperkenalkan (secara deskriptif) agama-agama yang ada. Peserta didik tidak diajarkan hanya satu agama, meskipun sekolah itu didirikan oleh yayasan berlatar belakang agama tertentu. Dengan demikian, mereka mengenal aspek-aspek agama tanpa pemberian penilaian.
Di situlah kemudian berkembang sikap pluralis, bahwa di dunia ada "sesuatu yang berbeda" tapi perbedaan itu tidak harus menyebabkan konflik. Menerima perbedaan, dilandasi oleh saling memahami, itulah yang sebenarnya saya bayangkan dapat menjadi landasan kuat bagi kerukunan antarumat beragama di masa depan.
Kacamata seperti itu sebagai akibat dari pandangan bahwa agama (seolah-olah) sebagai tujuan, padahal merupakan "jembatan" atau "jalan" untuk kemaslahatan umat manusia. Coba saja kalau mindset kita bisa berubah, melihat agama benar-benar sebagai "jembatan" atau "jalan" demi kemaslahatan umat manusia. Tentulah, pendidikan agama pun bisa didekati secara objektif-deskriptif, terbebas dari apologia serta klaim-klaim kebenaran dan keselamatan. Wajah agama menjadi lebih sejuk dan damai.
Perjalanan ke arah itu memang masih jauh, masih menjadi utopia. Meskipun, sesuatu yang jauh dan utopis itu belum tentu mustahil. Orang bijak mengatakan, kualitas bukanlah hasil akhir, melainkan proses.
Reduksi Pemahaman
Dipertanyakan, apakah dengan memperdalam salah satu agama secara komprehensif selama ini sebagai faktor penyebab sikap tidak toleran, antipluralisme, dan fanatisme sempit? Tentu saja tidak! Memperdalam agama secara komprehensif, logikanya, pasti akan mengembangkan sikap dan perilaku yang toleran dan damai, karena pada dasarnya semua agama mengajarkan toleransi dan perdamaian.
Persoalannya tidak terletak pada ajaran agama yang komprehensif itu, melainkan pada tingkatan pemahaman seseorang dalam keberagamaan. Klaim-klaim kebenaran dan keselamatan telah mereduksi pemahaman yang komprehensif, karena pendekatannya normatif, persuasif, apologetik. Hal itu mendorong seseorang sulit menerima perbedaan, terlebih lagi memahami pemahaman pihak lain. Itulah sebabnya, saya membayangkan tentang peserta didik yang mendapat pelajaran agama-agama di sekolah mereka.
Bayangan saya itu, setidak-tidaknya bisa menjadi salah satu pembuka jalan untuk menciptakan suasana saling mengerti, saling memahami, untuk kemudian saling menyayangi. Semacam terobosan untuk menembus "jalan buntu" pendidikan agama yang ternyata selama ini kurang memberikan kontribusi pada kerukunan antarumat beragama.
Pemberian pelajaran agama-agama, tidak harus berarti mengurangi kadar keimanan peserta didik terhadap agama yang dianut. Tidak mustahil, cara itu justru akan lebih mempertebal kadar keimanan seseorang, seperti budayawan Mohamad Sobari pernah mengatakan, "Saya merasa menjadi lebih Islam justru karena (bergaul dengan) Romo Mangun (yang Katolik)..." Dan, ketebalan iman seseorang terhadap agamanya pun bisa berjalan seiring dengan pemahamannya terhadap pemahaman orang lain.
Terobosan seperti itulah yang saya harapkan menumbuhkan pluralisme sepenuh hati. Berawal dari fakta (adanya perbedaan dalam masyarakat), menuju pengetahuan dan pemahaman (terhadap agama-agama yang ada), dan kearifan (perlunya mengembangkan sikap dan perilaku toleran dan rukun). Pada awalnya mungkin kognitif, namun akhirnya afektif juga.
Terobosan itu memang tidak perlu seandainya pendidikan agama sungguh-sungguh bisa diterapkan sesuai dengan inti ajaran agama itu sendiri, yaitu toleransi dan saling mengasihi antarsesama. Dengan kata lain, sesuai dengan pemahaman ajaran yang benar dan komprehensif.
Persoalannya, justru pendidikan agama yang seperti itulah yang nampaknya sangat sulit diterapkan, karena pendekatannya selalu normatif, subjektif, apologetik. Sisi-sisi perbedaan (bersifat eksoterik) yang lebih sering ditonjolkan, bukan sisi-sisi kesamaan (bersifat esoterik). Padahal, sisi esoteriklah yang mendorong tumbuhnya toleransi dan kerukunan.(18)
-Adi Ekopriyono, wartawan Suara Merdeka di Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar