Rabu, 13 Mei 2009

Tutor dan Kualitas Kejar Paket C

Kalau tak ada kehebohan soal ujian nasional, mungkin nama program pendidikan bernama Kelompok Belajar (Kejar) Paket C tidak akan mencuat ke permukaan.Departemen Pendidikan Nasional menawarkan solusi mengikuti ujian Kejar Paket C bagi siswa SMA dan sederajat yang tidak lulus ujian nasional tahun ini.Tidak sebagaimana tahun lalu, mereka yang gagal mencapai nilai standar minimal kelulusan tidak diberi kesempatan mengikuti ujian susulan.

Pilihannya hanya ada dua. Mengikuti ujian nasional tahun depan atau menempuh ujian Kejar Paket C yang berarti tidak perlu "menganggur" selama setahun.

Dengan ijazah pendidikan nonformal setara SLTA tersebut mereka yang kurang beruntung itu bisa ikut seleksi masuk perguruan tinggi tahun kuliah 2006/2007.

Sebagaimana biasa, suatu hal baru pasti mengundang pro dan kontra. Apalagi ada sebagian perguruan tinggi menolak calon mahasiswa yang hanya berbekal ijazah Paket C.

Sebenarnya Kejar Paket C diperuntukkan bagi mereka yang tidak punya kesempatan menempuh ujian formal atau putus sekolah dalam konteks penyetaraan.

Tidak mengherankan jika program tersebut diikuti oleh banyak peserta yang bekerja di sektor informal, pegawai negeri, anggota TNI dan Polri, serta pekerja pabrik.

Direktur Pendidikan Penyetaraan pada Departemen Pendidikan Nasional Ella Yulaelawati menegaskan Paket C dan pendidikan formal pada dasarnya sama.

Perbedaannya cuma terletak pada penyampaian kurikulum. Pada pendidikan nonformal Paket C tidak ada bangunan sekolah sebagaimana program pendidikan formal.

Program Paket C sesungguhnya sudah lama ada dan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional sehingga lulusannya setara dengan lulusan pendidikan jalur formal.

Definisi setara dalam konteks ini adalah sepadan dalam dampak, ukuran, pengaruh, fungsi, serta kedudukannya.

Pasal 26 Ayat 6 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal.

Pengakuan itu dilakukan melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah pusat atau daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Atas dasar itu Menteri Pendidikan Nasional menerbitkan Surat Edaran Nomor 107/ MPN/MS/2006 yang ditujukan ke berbagai lembaga.

Dalam surat edaran tanggal 23 Juni 2006 itu ditegaskan lulusan ujian kesetaraan Paket A, B, dan C memiliki hak yang sama dan setara dengan pemegang ijazah SD/MI, SMP/MTs, serta SMA/MA/SMK.

Status kelulusan program pendidikan kesetaraan Paket C punya hak eligibilitas atau memenuhi syarat yang setara dengan pendidikan formal dalam memasuki dunia kerja.

Menteri Pendidikan Nasional meminta semua lembaga mematuhi ketentuan perundang-undangan supaya tidak diindikasikan melanggar hal asasi manusia.

Apalagi kualitas program baik Paket A, B, maupun C yang diselenggarakan di Indonesia selama ini telah dijadikan model oleh negara-negara tetangga, misalnya Filipina, Kamboja, dan Thailand.

Berdasarkan kenyataan tersebut dari segi kualitas program pendidikan nonformal itu telah memperoleh pengakuan secara internasional. Namun hingga kini masyarakat kita sendiri masih menilai program pendidikan kesetaraan itu jauh dari predikat berkualitas.

Penilaian miring atau stigma tersebut sangat kuat jika merujuk pada daya serap lulusannya yang rendah baik di lapangan kerja maupun jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Anggapan masyarakat luas itu makin kental kalau menilik program tersebut belum terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional walaupun telah dijamin undang-undang.

Contohnya kalaupun pemegang ijazah Paket C bisa diterima di perguruan tinggi, baru sebagian kecil yang menjalankan imbauan Menteri Pendidikan Nasional agar menerima terlebih dahulu siswa yang belum lulus.

Lebih merepotkan lagi, panitia seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) belum menyediakan formulir bagi calon mahasiswa yang berbekal ijazah Paket C.

Banyak Peminat

Di masa mendatang program Kejar Paket C diperkirakan akan makin banyak peminatnya, terutama berasal dari siswa SLTA yang tidak lulus ujian nasional.

Data Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan pada tahun 2004 peserta ujian Paket C baru 59.109 orang, tetapi tahun 2005 naik hampir dua kali lipat menjadi 104.284 orang.

Tahun ini hingga Juli lalu tercatat ada 310.612 orang peserta Paket C atau naik tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Dari jumlah itu 76% adalah yang gagal ujian nasional.

Secara keseluruhan, yakni Paket A, B, dan C, tahun ini pesertanya mencapai 750.000 lebih atau naik lima kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu sebanyak 150.000-an.

Meski awalnya hanya dijadikan jalan pintas oleh mereka yang gagal ujian nasional, bukan tidak mungkin selanjutnya Paket C akan menjadi alternatif pilihan.

Cukup banyak lulusannya yang bisa melanjutkan kuliah di perguruan tinggi secara normal, bahkan di perguruan tinggi yang termasuk favorit, antara lain Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia.

Ketika ada saran agar pelajar SLTA yang tak lulus ujian nasional mengikuti ujian Paket C, banyak yang tidak setuju dengan alasan bukan pendidikan formal.

Muncul pula pertanyaan mengenai kualitas ujian Paket C. Bahkan tak sedikit yang beranggapan program itu hanya pantas diikuti oleh orang yang sudah tua-tua.

Namun keraguan-raguan dan pandangan miring itu kini tak relevan lagi. Sekarang yang diperlukan adalah membenahi program pendidikan nonformal itu supaya makin berkualitas dan bergengsi.

Salah satu caranya adalah melalui perbaikan secara terus-menerus terhadap kualitas tutor atau pengajar serta pengelola program Paket C.

Tutor atau tenaga pendidik meliputi penanggung jawab kelas, penanggung jawab mata pelajaran, dan narasumber teknis sesuai dengan keperluan.

Sementara itu tenaga kependidikan minimal terdiri atas pengelola kelompok belajar, tenaga administrasi, serta tenaga perpustakaan.Tutor memiliki tanggung jawab yang besar dalam proses pembelajaran supaya para peserta mampu menerima dan mamahami apa yang disampaikan secara utuh dan komprehensif.

Melihat tugas dan fungsinya yang penting itu seorang tutor harus mempunyai kemampuan yang memadai dalam arti punya kualifikasi sebagaimana yang ditetapkan oleh instansi berwenang.

Selama ini ada kecenderungan tutor baik Paket A, B, maupun C tidak memenuhi kualifikasi standar yang telah ditentukan karena biasanya mereka melakukan secara sukarela.

Imbalan atau honorarium yang kecil menyebabkan banyak yang tidak tertarik menjadi tutor dan pengelola program Kejar Paket. Ditambah posisinya dinilai kurang bergengsi.

Sehubungan dengan itu sangat melegakan ungkapan Fasli Djalal, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan pada Departemen Pendidikan Nasional.

Ia mengatakan tenaga kependidikan nonformal atau tutor di pusat-pusat kegiatan belajar masyarakat akan diperhitungkan sebagaimana layaknya karir di dunia pendidikan.

Para tutor dinilai telah bekerja sebagaimana guru pada pendidikan formal meskipun statusnya tidak jelas dan kesejahteraannya kurang diperhatikan.

Pemerintah berencana melakukan uji coba tutor purnawaktu dengan jaminan jenjang karir sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

Itu tentu kabar menggembirakan bagi para tutor yang selama ini berkesan diabaikan walaupun telah menyumbang jasa tidak sedikit terhadap dunia pendidikan.

Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk meningkatkan kualitas dan peran serta program pendidikan nonformal, khususnya Paket C.

Pertama, meningkatkan standar kompetensi dan kualifikasi para pengelolanya, terutama para tenaga pengajar atau tutor.

Caranya dengan perekrutan yang ketat dan hanya yang bernar-benar memenuhi persyaratanlah yang lolos seleksi oleh tim yang berunsurkan pemerintah, pendidik, dan pakar pendidikan.

Selain itu, memberikan honorarium yang layak sehingga akan banyak calon tutor serta tenaga nonkependidikan berkualitas yang melamar.

Harus diakui hingga kini dari segi imbalan sangat kecil, yakni di bawah Rp 200 ribu/bulan, sehingga tidak banyak yang tertarik. Biasanya hanya dijalankan sebagai sambilan atau sebagai sukarelawan.

Dananya bisa diusulkan melalui APBD pemerintah daerah, bantuan pemerintah pusat, serta memanfaatkan dana hibah kependidikan dari luar negeri.

Kedua, sosialisasi secara terus-menerus mengenai program pendidikan kesetaraan, terutama Paket C, sehingga akhirnya bisa diterima masyarakat sebagai alternatif.

Surat Edaran Menteri Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa lulusan ujian Paket A, B, dan C setara dengan lulusan SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK perlu ditindaklanjuti.

Dengan demikian tidak ada keragu-raguan lagi di kalangan masyarakat mengenai posisi lulusan program pendidikan kesetaraan Paket A, B, dan C.

Ketiga, perguruan-perguruan tinggi kependidikan perlu memperhatikan kebutuhan tenaga pendidikan dan nonkependidikan di program pendidikan nonformal, khususnya Kejar Paket.

Dari sanalah kita berharap akan muncul tutor dan pengelola pendidikan nonformal yang berkualitas sehingga keluarannya pun berkualitas untuk menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia.(Bambang Tri Subeno, wartawan Suara Merdeka di Semarang-27)

http://www.suaramerdeka.com/harian/0608/18/ragam01.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar