Rabu, 13 Mei 2009

Peran Pendidikan Tanggulangi Kemiskinan


Oleh Haryono Suyono


Sabtu, 30 April 2005
Hari Senin tanggal 2 Mei 2005, bangsa Indonesia akan memperingati
Hari Pendidikan Nasional 2005. Pada hari yang bersejarah tersebut kita
bersyukur bahwa sebagian bangsa ini telah menyadari peranan bidang pendidikan
dalam berbagai upaya pembangunan. Namun banyak juga yang kurang yakin apakah
pendidikan bisa memegang peranan dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

Banyak yang beranggapan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan, yang
sempat ramai dibicarakan dalam Peringatan Konverensi Asia-Afrika, atau dalam
Konperensi Nasional tentang Penanggulangan Kemiskinan, bisa dilakukan secara
cepat dan juga bisa lewat jangka panjang.

Dr Fasli Jalal, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Departemen
Pendidikan Nasional, dalam petunjuknya tentang "Pengarusutamaan Gender Bidang
Pendidikan" telah menyatakan bahwa biar pun telah ada Instruksi Presiden sejak
tahun 2000, tetapi Gender Development Index (GDI) hampir tidak pernah bergeser
dari posisi ke 90-an di antara seluruh negara di dunia. Posisi rendah dan tidak
bergerak tersebut menandakan bahwa pembangunan kesetaraan gender melalui bidang
pendidikan belum banyak memperhatikan pengarusutamaan gender dibandingkan
dengan negara-negara tetangga lainnya.

Padahal usaha penanggulangan kemiskinan sangat tergantung pada
bagian yang terlemah dari seluruh keluarga dan penduduk Indonesia. Karena
penduduk yang terlemah adalah kaum perempuan, maka upaya penanggulangan
kemiskinan dengan memihak kepada kaum perempuan akan memberikan dampak ganda
yang sangat bermanfaat untuk pengembangan penduduk dan keluarga masa depan.

Agar peran bidang pendidikan dan pelatihan dalam pembangunan,
khususnya dalam penanggulangan kemiskinan, lebih tinggi lagi, perlu disepakati
kebijaksanaan dan sasaran yang tepat. Sasaran tersebut perlu diurai secara
terperinci pada setiap wilayah tempat penduduk miskin berada. Kemudian perlu
ditetapkan pula target yang jelas kapan penduduk miskin tersebut dapat
dientaskan dari lembah kemiskinan. Dengan sasaran dan target yang tepat itu,
berbagai tindakan dan langkah-langkah yang praktis dan pragmatis, sesuai
kemampuan penduduk miskin yang bersangkutan, dapat dilakukan.

Ada baiknya pendekatan praktis dan pragmatis itu didukung dengan
berbagai pemberdayaan pada berbagai sektor dan bidang lainnya, misalnya, sesuai
dan mengacu pada strategi komprehensif Millennium Development Goals (MDGs) yang
disepakati oleh para pemimpin dunia pada Pertemuan Tingkat Tinggi PBB di New
York tahun 2000 lalu. Pertemuan tingkat tinggi yang menyepakati MDGs itu
merupakan kulminasi dari berbagai pertemuan internasional sebelumnya, yaitu
pertemuan-pertemuan sektoral, baik dalam bidang kesehatan, kependudukan,
pendidikan, keadilan dan kesetaraan gender, peranan perempuan, dan atau
pertemuan pembangunan sosial yang lebih luas. Berbagai pertemuan dilakukan
seiring dengan perhatian yang makin meluas tentang hak-hak asasi manusia atau
human right. Maraknya berbagai pertemuan itu menempatkan upaya pemberdayaan
manusia ke arah yang lebih demokratis dan memberi penghargaan kepada manusia
secara utuh dalam jajaran yang terhormat.

Karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan secara komprehensif dan
berkelanjutan - dengan memberikan perhatian yang tinggi pada bidang pendidikan
dan kesetaraan gender - diharapkan mampu menempatkan manusia tidak saja sebagai
sasaran, tetapi lebih-lebih sebagai aktor yang sangat penting peranannya.
Aktor, penduduk miskin ini harus mendapatkan motivasi yang tinggi untuk belajar
dan bekerja keras. Program untuk menanggulangi kemiskinan bagi aktor-aktor yang
tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonominya sangat rendah harus dirancang
dengan menempatkan aktor yang bersangkutan sebagai titik sentral utamanya.

Namun perlu diperhatikan hal-hal yang biasanya menjadi kendala
negara berkembang. Seperti negara berkembang lainnya, Indonesia untuk masa lalu
telah menghadapi empat hambatan besar dalam bidang pendidikan. Pertama,
peninggalan penjajah dengan penduduk yang tingkat pendidikannya sangat rendah.
Kedua, anggaran untuk bidang pendidikan yang rendah dan biasanya kalah bersaing
dengan kebutuhan pembangunan bidang lainnya. Ketiga, anggaran yang rendah itu
biasanya diarahkan pada bidang-bidang yang justru menguntungkan mereka yang
relatif kaya. Dan, keempat, karena anggaran rendah, dalam pengelolaan
pendidikan biasanya timbul pengelolaan yang tidak efisien.

Karena alasan-alasan tersebut, biar pun selama tigapuluh tahun
terakhir ini pemerintah dan rakyat Indonesia menempatkan pendidikan pada posisi
yang sangat penting, tetapi selalu saja banyak pihak yang tidak puas dengan
hasil-hasil yang dicapai. Misalnya, sejak 1960-1970-an segala usaha telah
dilakukan untuk memacu dan memicu peningkatan fasilitas pendidikan di
Indonesia. Dalam keadaan yang sangat miskin, pemerintah masih mampu melakukan
gebrakan pembangunan gedung sekolah dan perlengkapannya secara sederhana
melalui berbagai bentuk Instruksi Presiden (Inpres). Ada Inpres gedung sekolah,
ada Inpres guru, dan ada pula bentuk bantuan lain yang nampaknya sederhana
tetapi menyedot anggaran yang cukup tinggi. Namun karena jumlah dan pertumbuhan
penduduk yang tinggi, kebutuhan tetap bertambah tinggi, termasuk untuk
merehabilitasi gedung-gedung dan peralatannya. Akhirnya hampir semua pihak
merasa bahwa fasilitas sekolah pada waktu ini jauh dari memadai.

Kerisauan pada fasilitas yang tidak memadai dianggap merupakan
salah satu alasan kenapa partisipasi sekolah pada tingkat sekolah menengah
pertama dan sekolah menengah atas relatif rendah. Anak-anak usia SMP dan SMA
yang jumlahnya membengkak dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah anak-anak
pada tahun 1970-an, terpaksa tidak mendapat tempat menurut pilihannya. Dalam
banyak publikasi kelemahan ini mendapat sorotan yang tajam dan luas. Tidak
jarang, melalui gambar-gambar menyolok, gedung atau bagian gedung yang hampir
ambruk dipajang secara jelas sebagai malapetaka bangsa. Tidak jarang pula
disajikan gambar anak-anak yang terpaksa belajar dengan cara bergantian, atau
bahkan menerima pelajaran dari guru yang penuh dedikasi di tempat-tempat
terbuka di luar gedung sekolah. Pemerintah, pusat dan daerah, yang mendapat
"instruksi UUD" untuk menyediakan anggaran sebesar 20 persen di bidang
pendidikan, belum mampu memenuhi kewajiban tersebut. Sementara itu masyarakat
yang merasa bahwa kewajiban itu sebagai kewajiban pemerintah, tidak siap atau
tidak mau mengambil alih dan bersifat menunggu sampai pemerintah memperbaiki
gedung yang tidak layak atau tidak aman untuk belajar.

Kalau kita memberikan peran pada bidang pendidikan untuk
menanggulangi kemiskinan, perlu segera dikembangkan komitmen dan
langkah-langkah nyata agar anak perempuan mendapat dukungan yang kuat untuk
mengenyan pendidikan pada sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan
pada perguruan tinggi sesuai dengan pilihan dan kemampuannya. Tidak perlu lagi
kita berdebat. Anak-anak perempuan akan menjadi ibu dari suatu keluarga masa
depan yang banyak tantangan. Ibu-ibu masa depan, mau tidak mau, akan menjadi
tumpuan yang besar dalam mendidik anak-anak masa depan yang kreatif dan
bermutu.

Para ahli beranggapan bahwa untuk meningkatkan kesetaraan gender,
yang menjadi sasaran MDGs harus dibangun dekat dengan keluarga yang ada di desa
sehingga orangtua tidak harus mengeluarkan dana untuk mengirim anak-anaknya,
terutama anak perempuan ke sekolah yang jauh letaknya. Anak perempuan akan bisa
sekolah dengan tenang kalau ada kesempatan untuk kembali ke rumah membantu
orang tuanya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah.

Syarat lain yang perlu diperhatikan adalah dibutuhkan mutu lulusan
yang dapat diandalkan. Bukan saja mutu akademis agar seorang anak dapat
melanjutkan ke tingkat pendidikan lebih tinggi, tetapi seorang anak,
lebih-lebih anak perempuan, mempunyai keterampilan praktis yang dapat
dimanfaatkan seandainya yang bersangkutan tidak dapat melanjutkan pada
pendidikan tinggi. Andaikan keterampilan, dalam jumlah yang memadai dapat
diberikan sebagai bagian dari kegiatan sekolah, lebih-lebih menyambung dengan
keadaan masyarakat secara nyata, diperkirakan partisipasi anak perempuan pada
setiap jenjang sekolah yang dewasa ini kurang mantap, kesetaraan gender yang
timpang, akan dengan pelahan dapat diselesaikan. Pendidikan resmi di sekolah
bisa menjadi salah satu upaya untuk memotong rantai kemiskinan.

Pendekatan ini mensyaratkan bahwa pendidikan di dalam sekolah
menyatu dengan pendidikan luar sekolah, atau mengembangkan sekolah tanpa
dinding, sehingga anak-anak sekolah, terutama anak-anak usia SMA dan sederajat,
bisa mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh untuk mampu secara akademis, dan
sekaligus mempunyai cukup keterampilan untuk mampu sewaktu-waktu kembali ke
masyarakat. Anak-anak muda itu kembali ke masyarakat untuk mengumpulkan dana
agar bisa secara mandiri membiayai pendidikan lanjutan yang dipilihnya.

Pendidikan lanjutan, atau sekolah yang lebih tinggi, Perguruan
Tinggi, dapat menampung anak-anak muda yang mandiri tersebut dalam lembaga
Community College yang dapat diakses oleh anak keluarga kurang mampu, terutama
anak-anak perempuan, secara bertahap. Community College itu akan mengantar
anak-anak muda yang mampu memotong rantai kemiskinan tersebut melanjutkan
pendidikan sampai ke tingkat yang setinggi-tingginya. Selamat Hari Pendidikan
Nasional 2005. ***

(Prof Dr Haryono Suyono, pengamat sosial kemasyarakatan, dosen
Unair Surabaya).




http://www.mail-archive.com/proletar@yahoogroups.com/msg07576.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar