Tarik Menarik Kepentingan Antara Pelayanan Publik dan Privatisasi
sumber : Rimas Kautsar (*)
Saat ini marak sekali diberitakan mengenai mahalnya biaya pendidikan tinggi di Indonesia, beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sudah menyandang status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) seakan-akan saling berlomba-lomba untuk menetapkan “tarif” biaya bagi calon mahasiswa baru yang berniat untuk masuk ke dalam PTN yang bersangkutan[1]. Fenomena ini membuat shock masyarakat Indonesia karena pada situasi saat ini mereka sedang dihadapkan kepada sulitnya kondisi perekonomian, dengan kata lain bagi sebagian besar rakyat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, dalam hal pangan, sandang, dan papan sudah berat apalagi jika ditambah untuk memikirkan biaya-biaya yang lainnya seperti biaya pendidikan, tentu akan semakin menambah berat beban yang diderita masyarakat.
Dalam konsepsi kenegaraan di Republik Indonesia secara yuridis pendidikan pada dasarnya adalah hak dari setiap warga negara, hal ini tercermin dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 Hasil Amandemen, yang berbunyi ”Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan tanggungjawab penyelenggaraannya ada di pundak pemerintah sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 Hasil Amandemen, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Demikian halnya dalam tanggung jawab pendanaan adalah juga merupakan tanggungjawab konstitusi dari negara sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (2) “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai”; dan (4) “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Ini menunjukkan terdapat kesadaran bahwa pendidikan merupakan salah satu tugas dari negara yang harus diwujudkan secara konkrit dalam bentuk pelayanan publik (public sevice) kepada rakyat untuk memenuhinya.
Secara filosofis apabila kita telaah dalam pembukaan UUD Tahun 1945 salah satu tujuan diadakannya negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, artinya pendidikan adalah salah satu domain penting negara. Sedangkan secara sosiologis saat ini dalam konteks pendidikan tinggi negeri yang berstatus BHMN seakan-akan mengarah kepada perlombaan untuk menaikkan ”tarif” biaya kuliah. Ternyata konsepsi yang ideal mengenai pendidikan sebagai salah satu bentuk pelayanan publik jika dilihat dari aspek yuridis dan filosofis pada saat ini apabila dihadapkan pada aspek sosiologis ternyata jauh panggang dari api.
Di lain pihak saudara kembar BHMN, yaitu wacana mengenai Badan Hukum Pendidikan sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dipandang oleh pemerintah saat ini sebagai obat mujarab untuk mengatasi seluruh permasalahan pendidikan di Indonesia. UU Sisdiknas mengamanatkan bahwa perguruan tinggi harus otonom, yang berarti mampu mengelola secara mandiri lembaganya serta dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan sekolah/madrasah harus dikelola dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah, yang berarti otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan[2].
Antara status Badan Hukum Milik Negara dengan Badan Hukum Pendidikan memiliki benang merah, keduanya sama-sama mengarah kepada privatisasi. Meskipun istilah privatisasi di Indonesia masih sebatas dikenal di dalam bidang pengelolaan BUMN, namun secara esensi menurut John. D. Donahue, ia menyimpulkan bahwa privatisasi sebagai pendelegasian kewajiban publik kepada organisasi swasta[3], sedangkan di Amerika Serikat privatisasi diartikan sebagai minimalisasi peranan pemerintah dan maksimalisasi peranan sektor swasta, baik dalam aktivitas-aktivitas layanan publik maupun kepemilikan aset-asetnya sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Safri Nugraha (Guru Besar HAN Fakultas Hukum UI) yang menyimpulkan pendapat dari E.S Savas[4]. Di Indonesia menurut Prof. Safri Nugraha menganut dua konsep privatisasi sekaligus yaitu konsep privatisasi Amerika (yang memfokuskan pada layanan publik) dan konsep privatisasi Inggris (yang memfokuskan pada penjualan BUMN)[5].
Apabila ditelaah BHMN dan BHP dapat dikategorikan sebagai “organisasi swasta” karena adanya pemisahan entitas hukum antara negara dengan PTN Badan Hukum Milik Negara, dengan statusnya sebagai badan hukum maka PTN bersifat sangat otonom karena ia memiliki manajemen dan harta kekayaan yang terpisah dari negara. Bahkan nuansa “organisasi swasta” (badan hukum perdata/privat) dapat kita lihat dalam konsiderans mengingat PP No. 152 Tahun 2000 yang memasukkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad 1847:23) sebagai salah satu konsiderannya. Meskipun sebagai pemilik dari badan hukum tersebut peranan negara hanya sebatas diwakili oleh Menteri Pendidikan yang menjadi anggota Majelis Wali Amanat (organ tertinggi PT BHMN-Pasal 12 PP No. 152 Tahun 2000[6]) dan memberikan kontribusi pendanaan, yang menjadi salah satu sumber dari empat sumber pendanaan PT BHMN yang lainnya (Pasal 12 ayat (1) PP No. 152 Tahun 2000), selebihnya pemerintah lebih memposisikan diri sebagai regulator bukan operator. Jadi dengan adanya perubahan status hukum PTN yang tadinya merupakan bagian dari unit pemerintah menjadi entitas badan hukum tersendiri merupakan suatu bentuk privatisasi.
Di Inggris, menurut Heidi Abromeit terdapat dua motivasi adanya privatisasi, yaitu: pengurangan peranan pemerintah dan peningkatan peran pasar bebas di negara kesejahteraan (welfare state) Inggris (motif ekonomi)[7]. Sedangkan di Amerika Serikat motivasi tersebut menurut para ahli disebabkan oleh adanya sentimen “anti negara” yang dianggap gagal dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas[8]. Kemudian untuk negara-negara berkembang motivasi adanya privatisasi menurut Prof. Safri Nugraha adalah karena mereka ingin mencontoh keberhasilan negara-negara Eropa Barat dalam melaksanakan privatisasi di kawasan tersebut[9]. Indonesia sendiri privatisasi menurut Prof. Safri Nugraha lebih dikarenakan adanya motif ekonomi, yang ia simpulkan dari pendapat Bacelius Ruru mengenai tiga motivasi utama privatisasi di Indonesia yaitu: kondisi keuangan negara, pemberlakuan kesepakatan perdagangan bebas, dan peningkatan pengharapan dari masyarakat[10].
Kemudian, apakah manfaat ideal dari privatisasi? Menurut Prof. Safri Nugraha ada lima manfaat dari adanya privatisasi[11]:
1. Mengurangi beban negara, baik berupa pekerjaan, subsidi, kerugian, jaminan keuangan, dana investasi dan lain sebagainya; serta berkurangnya intervensi pemerintah dalam pengelolaan BUMN.
2. Meningkatkan pendapatan negara; dari penjualan saham BUMN, penjualan aset yang tidak produktif, perolehan pajak, dan lain sebagainya.
3. Peningkatan partisipasi swasta dalam pengelolaan public service dan BUMN.
4. Peningkatan kinerja BUMN dan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat (public service), dan pada akhirnya menciptakan BUMN yang efisien, transparan dan menghasilkan laba yang signifikan.
5. Hapusnya monopoli yang dimiliki BUMN dan timbulnya kompetisi di pasar yang pada akhirnya akan menguntungkan konsumen, karena memiliki banyak pilihan dan harga yang bersaing dalam menentukan service dan product yang diinginkannya.
Jika manfaat privatisasi sedemikian baik, lalu kenapa terjadi tren mahalnya biaya kuliah di PTN yang berstatus BHMN? Untuk menjawab hal ini ada baiknya kita melihat pendapat Prof. Safri Nugraha juga menyebutkan mengenai resiko privatisasi, yaitu[12]:
1. Di berbagai negara, privatisasi justru menciptakan kenaikan harga dari public service yang disediakan kepada masyarakat.
2. Di banyak negara, privatisasi ditentang oleh serikat buruh karena sering menciptakan PHK massal di BUMN yang diprivatisasi. Hal ini disebabkan karena BUMN yang diprivatisasi harus efisien, dan ini berarti jumlah pekerja dalam BUMN tersebut harus dirasionalisasi.
3. Privatisasi sering diartikan sebagai pesan sponsor dari perusahaan-perusahaan transnasional (MNC) untuk memperluas jaringan bisnis mereka dan mengambil alih BUMN-BUMN yang ada.
4. Seringkali BUMN yang diprivatisasi masih memiliki monopoli sehingga yang terjadi adalah pengalihan monopoli dari negara ke swasta.
5. Privatisasi sering diartikan sebagai komersialisasi public service karena di banyak negara, untuk menciptakan efisiensi di sektor public service, privatisasi mengenakan tarif atau biaya-biaya baru yang tidak dikenal pada saat public service tersebut dikelola oleh pemerintah.
Jadi tidaklah mengherankan akibat yang nyata dari privatisasi PTN adalah kenaikan biaya kuliah karena hal tersebut adalah merupakan resiko dari adanya privatisasi.
Di sisi lain Prof. Safri Nugraha[13] juga memberikan catatan mengenai adanya privatisasi yang apabila kita cermati relevan dengan adanya peristiwa tranformasi hukum PTN yang sebelumnya merupakan unit pelaksana pemerintah menjadi BHMN atau BHP (nantinya), yaitu adanya transformasi hukum Perusahaan Negara/Daerah menjadi Perseroan Terbatas (Terbuka) belum tentu menjamin peningkatan kinerja perusahaan yang bersangkutan menjadi lebih baik dan efisien dan transparan selama faktor-faktor lain yang menentukan keberhasilan privatisasi tidak dilaksanakan, faktor-faktor tersebut adalah paling tidak empat syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu: deregulasi dan debirokratisasi; kompetisi; transparansi; dan no intervensi. Sayangnya sampai dengan saat ini dalam konteks PT BHMN hal tersebut masih belum terlaksana sepenuhnya, sebagai contoh dalam hal transparansi saat ini belum pernah tersiar kabar kalau PT BHMN memberikan laporan keuangannya yang merupakan hasil audit (terpercaya) kepada publik. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika apa yang terjadi terhadap kondisi PT BHMN adalah seperti yang kita lihat sekarang ini.
http://himatekla.wordpress.com/2008/08/11/quo-vadis-pendidikan-tinggi-negeri-bhmn-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar