Rabu, 13 Mei 2009

Seminar Nasional "Reposisi Peran Pendidikan Tinggi Farmasi dalam Penyediaan Sumber Daya Manusia (SDM





Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), Drs. Arel St. S. Iskandar, MM., Apt. saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional "Reposisi Peran Pendidikan Tinggi Farmasi dalam Penyediaan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Hasil Riset bagi Industri Nasional", Kamis (19/03) di Ghra Sanusi Hardjadinata, Kampus Unpad Jl. Dipati Ukur 35 Bandung mengatakan bahwa, "asio ideal antara jumlah penduduk dengan tenaga apoteker di Indonesia adalah satu berbanding 10 ribu. Menurut data Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia atau ISFI, lulusan apoteker yang dihasilkan perguruan tinggi farmasi (PTF) hingga saat ini mencapai 27 ribu. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 230 juta jiwa, maka rasio ideal ini telah terlampaui. "Sayangnya, jumlah yang besar ini tidak imbangi dengan kualitas dan kompetensi apoteker yang sama."

Selain itu Drs.Arel juga memaparkan bahwa belum adanya kesamaan standar pendidikan farmasi di Indonesia, merupakan salah satu alasan bervariasinya kualitas dan kompetensi apoteker tersebut. Belum lagi tidak terkoordinasinya program magang atau praktik kerja di perusahaan-perusahaan farmasi menambah sulit untuk menyamakan kompetensi apoteker.

untuk memperkecil perbedaan kualitas dan kompetensi apoteker itu dengan sejumlah program, seperti Sertifikasi Kompetensi Profesi Apoteker atau SKPA dan juga bantuan kredit profesi, guna memberika kesempatan bagi apoteker untuk bekerja mandiri.

Dalam sesi selanjutnya,Inspektur Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI, Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D. mengatakan bahwa perdagangan internasional yang bersifat non-barier saat ini menyebabkan beredarnya ratusan ribu jenis makanan dan obat-obatan di pasar global. Di Indonesia produk makanan dan obat-obatan itu beredar senilai ratusan triliun rupiah, termasuk produk ilegal dan palsu, serta produk dengan degradasi mutu atau kadaluarsa. Untuk itu diperlukan sistem pengawasan obat dan makanan dengan sumber daya manusia dan infrastruktur yang kuat dan memiliki networking nasional serta internasional.

Dipaparkan pula oleh Drs. Maura bahwa sistem pengawasan obat dan makanan atau sispom di Indonesia dibuat dalam tiga lapis yang dimulai dari industri farmasi, pemerintah, hingga masyarakat. Sebagai produsen, industri farmasi memiliki tanggung jawab yang besar atas mutu, keamanan, dan khasiat obat yang diproduksinya. Sementara itu, pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui peningkatan kesadaran dan pengetahuan mengenai kualitas produk dan penggunaannya yang rasional. Pemerintah, lanjut Maura, bertugas mengawasi peredaran obat dan makanan yang di antaranya dilakukan dengan melakukan standardisasi sarana produksi, distribusi, mutu bahan, cara-cara produksi dan produk jadi. Pemerintah juga perlu menilai dan menguji mutu, keamanan, dan khasiat sebelum produk dinyatakan boleh beredar.


http://www.informasi-obat.com/content/view/375/52/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar