Rabu, 13 Mei 2009

Mau ke Mana Pendidikan Dasar Kita?

Djauzak Ahmad

KELUARGA yang mengandalkan kekayaan yang dimilikinya, dan mengabaikan
pendidikan anak-anaknya, lambat laun pasti akan mengalami kekecewaan.
Sebab, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh keluarga tersebut lambat
laun akan habis karena anak-anaknya yang tidak terdidik tidak mampu
mengelola dan mengembangkan kekayaan tersebut.

Demikian juga dengan suatu negara yang hanya mengandalkan kekayaan
sumber daya alamnya dan mengabaikan pendidikan anak bangsanya. Negara
seperti ini akan mengalami kekecewaan. Negara tersebut akan menjadi
negara miskin karena sumber daya alamnya terkuras secara tidak
terkendali dan akhirnya akan musnah.

Oleh sebab itu, pendidikan memegang peranan utama untuk kemajuan
suatu bangsa, karena pendidikan menciptakan masa depan suatu bangsa.
Sumber daya manusia yang berkualitas dalam suatu negara merupakan
modal utama untuk memajukan pembangunan negara tersebut.

Sumber daya manusia yang berkualitas dalam suatu negara akan
menghasilkan sumber daya-sumber daya yang lain. Jadi, kunci utama
kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumber
daya manusia yang ada di negara tersebut. Dan di sinilah letak
peranan pendidikan. Betapa pun tingginya pendidikan yang kita
inginkan, pasti dimulai dari sekolah dasar (SD).

Kalau kita umpamakan pendidikan sebagai sebuah bangunan, maka sekolah
dasar merupakan fondasi dari bangunan tersebut. Apabila bangunan
tersebut akan kita bangun bertingkat, maka fondasinya harus lebih
kuat lagi.

Jadi, sekolah dasar harus dikelola dan ditangani secara sungguh-
sungguh serta profesional. Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun
1951, pengelolaan tenaga guru, gaji guru, dan gedung sekolah serta
perlengkapannya, wewenangnya diserahkan oleh pemerintah pusat kepada
daerah tingkat II.

Sudah sejak lama atau sejak wewenang tersebut diserahkan kepada
daerah tingkat II atau kabupaten, sekolah dasar tidak mendapat
perhatian yang wajar. Gedung-gedung dibangun secara serampangan,
tidak sesuai dengan teknis edukatif, tidak disediakan biaya rutin
perbaikan, gaji guru sering terlambat bahkan di sana-sini terjadi
pemotongan, dan pengadaan perlengkapan sangat minim, menjadikan
sekolah dasar tersebut tidak terurus.

Padahal, kegagalan pendidikan anak-anak di sekolah dasar merupakan
malapetaka bagi anak tersebut, baik yang akan melanjutkan maupun yang
akan terjun ke masyarakat.

PADA awal tahun 1970-an, pada saat harga minyak bumi melambung,
negeri ini mempunyai uang yang banyak. Muncul lah perhatian terhadap
sekolah dasar. Dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun
1971, mulailah dibangun belasan ribu gedung sekolah dasar baru,
lengkap dengan guru-gurunya. Selanjutnya, pada tahun 1972/1973,
pembangunan sekolah dasar inpres tersebut diteruskan. Kali ini, guru-
guru honorer yang mengajar di SD-SD yang sebagian besar berpendidikan
non-guru diputihkan dan diangkat menjadi guru tetap atau pegawai
negeri sipil di SD-SD inpres.

Guru-guru yang berijazah non-guru tersebut direncanakan akan dididik
kembali dengan ilmu keguruan. Seingat penulis, pendidikan kembali
guru-guru yang diangkat tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik.
Sayangnya, gedung-gedung sekolah dasar tersebut berkualitas rendah
dengan bahan-bahan yang murah sehingga sekarang kita rasakan
akibatnya, yaitu banyaknya sekolah dasar yang rusak berat, bahkan
roboh, dan kadang-kadang menimbulkan korban.

Bertambah banyaknya sekolah dasar dan guru sekolah dasar di daerah
menimbulkan bertambahnya beban pada pemerintah daerah sehingga
keterpurukan sekolah dasar tersebut bertambah parah. Belum lagi dari
segi manajemen, di mana peranan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-
melalui kepala kantor wilayah, kepala kantor departemen, dan kepala
kantor kecamatan-merupakan masalah yang harus dihadapi sekolah dasar.
Kedua instansi daerah dan pusat tersebut menambah kebingungan para
kepala sekolah dan guru sekolah dasar karena antara kedua instansi
tersebut sering terjadi salah pengertian.

Mulai tahun 1984, saat memperingati Hari Pendidikan Nasional,
dicanangkanlah Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun. Artinya,
setiap anak berusia 7-12 tahun harus berada di bangku sekolah dasar.

Akan tetapi, berdasarkan hasil peninjauan di lapangan, sangat sulit
untuk membuat semua anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) masuk ke
sekolah dasar. Hal tersebut disebabkan banyak orangtua menarik
anaknya dari sekolah apabila anak itu telah duduk di kelas III, untuk
dijadikan tenaga kerja keluarga, guna mencukupi perekonomian
keluarga. Di samping itu, beratnya pungutan segala macam dan
keharusan membeli bermacam-macam pakaian seragam menyebabkan matinya
semangat untuk bersekolah.

WALAUPUN pelaksanaan Wajib Belajar 6 Tahun belum berjalan seperti
yang diharapkan, yaitu "mewajibkan" semua anak usia 7-12 tahun berada
di bangku sekolah dasar, pada tahun 1994, pada saat melaksanakan
peringatan Hari Pendidikan Nasional, dicanangkan lagi pelaksanaan
Wajib Belajar 9 Tahun.

Wajib Belajar 9 Tahun banyak disalahartikan sehingga bermunculanlah
Kejar Paket B dan SMP Terbuka yang penyelenggaraannya asal jadi
karena diasuh dan dikelola oleh guru-guru yang tidak berwenang dan
berkapasitas sebagai guru sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP).
Banyak daerah mengejar kualifikasi, bukan kualitas, dalam
melaksanakan Wajib Belajar 9 Tahun.

Sebenarnya dari segala segi, antara lain anggaran yang tersedia, guru
yang berkualitas, manajemen yang baik, dan rendahnya partisipasi
masyarakat, kita belum mampu melaksanakan wajib belajar. Sebab, kalau
dipaksakan, kita akan mengabaikan kualitas sehingga kita tidak mampu
bersaing dengan negara lain.

Sebagai contoh, negara pulau, Singapura baru melaksanakan wajib
belajar pada tahun 2003 ini dengan persiapan-persiapan yang matang
dari segi biaya, kurikulum, dan pengawasan. Wajib belajar kita yang
tanpa sanksi bagi yang tidak bersekolah sebaiknya disebut anjuran
belajar, artinya melalui pendekatan-pendekatan pada orangtua oleh
guru dan tokoh masyarakat. Sebab, banyak orangtua beranggapan,
bersekolah pun orang susah mencari kerja, lebih baik mereka bekerja
apa yang dapat mereka kerjakan. Sikap ini banyak sekali dimiliki oleh
masyarakat kita.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992 tentang Otonomi
Daerah, hampir semua sektor diserah- kan wewenangnya kepada
pemerintah kabupaten, termasuk wewenang mengelola pendi- dikan.

Tadinya penulis berharap pendidikan akan berjalan lebih baik lagi.
Namun, amat disayangkan, hal itu tidak terjadi karena keterbatasan
tenaga atau sumber daya manusia pengelolanya di tingkat kabupaten.
Dana yang banyak dan disediakan untuk sektor pendidikan belum akan
menjamin bahwa pendidikan akan meningkat mutunya.

Penulis justru melihat betapa pendidikan berjalan tidak pada relnya.
Bahkan, dalam satu provinsi, antara satu kabupaten dengan kabupaten
lainnya terdapat perbedaan. Yang sangat sederhana, hari libur pun-
antara lain libur semester, libur panjang-berbeda antara satu
kabupaten dengan kabupaten lainnya. Kelihatannya negeri ini
telah "terpecah-pecah" menjadi negeri-negeri kecil yang dipimpin oleh
raja-raja kecil.

Hal ini, menurut penulis, tidak boleh diteruskan. Sebab, di negeri
ini, pendidikan bukan hanya mencerdaskan bangsa, tetapi justru
mempersatukan bangsa. Dalam suasana hiruk-pikuk pergolakan daerah,
sudah sepantasnya negeri ini meninjau kembali penyerahan wewenang
pendidikan yang demikian luas kepada kabupaten.

Pendidikan dasar yang terdiri dari SD dan SLTP harus tetap
dikendalikan penuh oleh Departemen Pendidikan Nasional, terutama
kurikulum dan pengawasannya. Sebab, wajah bangsa ini akan banyak
ditentukan oleh mutu pendidikan dasar.

Harus ada standar nasional dalam mutu pendidikan dasar dari Sabang
sampai Merauke. Keadaan semrawut yang terjadi sekarang ini harus
segera diakhiri. Jika tidak, wajah bangsa ini akan semakin terpuruk.
Sebab, rusaknya pendidikan dasar akan berakibat terhadap pendidikan
tingkat selanjutnya.

Djauzak Ahmad Mantan guru sekolah dasar dan mantan Direktur
Pendidikan Dasar

http://groups.yahoo.com/group/cfbe/message/5917

Tidak ada komentar:

Posting Komentar