Rabu, 13 Mei 2009

Membangun Perguruan Tinggi Indonesia Masa Depan





Sabtu, 13 Desember 2008 08:48
Berbicara tentang pendidikan, lebih-lebih pendidikan tinggi sama artinya dengan berbicara tentang membangun peradaban bangsa. Pendidikan tinggi mengemban misi sebagai transformasi sosial, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan juga seharusnya termasuk membangun watak serta karakter bangsa. Atas dasar misi yang diemban itu, perguruan tinggi semestinya berada pada puncak tertinggi strata kehidupan masyarakat. Temuan-temuan hasil penelitian oleh para guru besar perguruan tinggi dimanfaatkan sebagai arah dan kekuatan pengubah masyarakat sesuai dengan perubahan zamannya. Jargon yang mengatakan bahwa pendidikan harus untuk semua, memang benar. Akan tetapi semestinya bukan pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Perguruan tinggi hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan yang cukup dan bagi orang-orang yang mencintai ilmu pengetahuan. Pendidikan tinggi memang bersifat elitis, dan karena itu selalu membutuhkan biaya mahal.






Seringkali posisi lembaga pendidikan yang sedemikian mulia dan strategis ini, sengaja atau tidak tereduksi kearah tataran yang sangat prakmatis yaitu menyiapkan tenaga kerja terampil yang siap memasuki lapangan kerja. Pandangan itu tidak terlalu salah, sebab sebagian peran lembaga pendidikan tinggi memang menyiapkan lulusannya mampu beradaptasi dengan kehidupan masyarakat. Akan tetapi hal yang perlu disadari ialah bahwa lembaga pendidikan tinggi bukan sekedar menyiapkan tenaga terampil. Misi perguruan tinggi yang utama adalah mengembangkan ilmu melalui research oleh para guru besar dan para dosennya. Melalui perguruan tinggi yang dimiliki oleh suatu bangsa, diharapkan lahir produk-produk ilmu, berupa hasil kajian, penulisan karya ilmiah yang dilakukan. Kalau perguruan tinggi bertugas melakukan pendidikan dan pengajaran, sesungguhnya tugas itu dilakukan atas dasar hasil penelitian itu. Oleh karenanya perguruan tinggi tidak mengenal adanya ilmu basi yang diberikan kepada mahasiswanya. Sebab, perguruan tinggi dalam kegiatan pendidikannya tidak lain adalah mengkaji hasil-hasil temuan penelitian terbaru yang dilakukan oleh para dosennya. Jika di sana masih dikenal ilmu yang tergolong basi, maka perlu dilihat kembali, mungkin perguruan tinggi tersebut masih belum mampu mngembangkan penelitian yang seharusnya menjadi tugas utamanya.

Posisi perguran tinggi yang sedemikian mulia dan strategis itu merefleksikan pada tingkat peradaban bangsa yang bersangkutan. Suatu bangsa menjadi maju sejalan dan seiring dengan kemajuan perguruan tingginya. Hampir tidak pernah ada di dunia ini negara maju yang tidak memiliki perguruan tinggi maju. Perguruan tinggi maju selalu menghasilkan kemajuan bangsa di mana perguruan tinggi itu berada. Hubungan ini sedemikian kukuh dan menyatu, oleh karena kemajuan bangsa selalu ditopang oleh cerdik cendekia dari kerja research dan buah pemikiran sehingga menghasilkan konsep yang dijadikan sebagai faktor pemicu dan arah perubahan masyarakatnya.

Bangsa Indonesia dalam membangun pendidikan, khususnya pendidikan tinggi telah berhasil melahirkan banyak perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Yang berstatus negeri sekitar 100 an buah, baik yang dikelola oleh Menteri Pendidikan Nasional maupun Departemen lainnya. Sedangkan yang berstatus swasta amat banyak jumlahnya, tidak kurang dari 2000 an buah. Dari sisi kuantitas jumlah itu sudah cukup besar dan bahkan terlalu banyak, akan tetapi bagaimana halnya dengan kualitasnya. Jika kita mau jujur dengan membandingkan dengan prestasi negara lain, bahkan negara tetangga sendiri ternyata sudah tertinggal. Beberapa tahun lalu majalah Asiaweek telah menempatkan perguruan tinggi Indonesia pada peringkat sangat di kawasan Asia dan paling bawah di Asia Tenggara. Di tingkat Global, perguruan tinggi Indonesia hanya bisa sejajar dengan perguruan tinggi di kawasan Afrika dan negara-negara di kepulauan Pasifik. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan di muka, rendahnya mutu pendidikan tersebut mengakibatkan rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia secara keseluruhan. Sebagai gambaran, laporan UNDP mengenai Human Development Index menempatkan Indonesia pernah ditempatkan pada posisi 102 dari 162 negara yamng disurvei. Atas dasar ukuran ini, misi perguruan tinggi Indonesia, belum berhasil, untuk tidak dikatakan gagal.

Selain itu, rendahnya kualitas perguruan tinggi di Indonesia, berakibat kalah populer bila dibandingkan dengan birokrat, politisi, ekonomi dan bahkan juga di hadapan para pemimpin agama sekalipun, semisal Kyai. Dalam menghadapi persoalan pelik, strategis dan berpengaruh terhadap arah bangsa ke depan, produk pemikiran perguruan tinggi nyaris tidak terdengar, kecuali beberapa saja. Seolah-olah perguruan tinggi masih disibukkan pada dirinya masing-masing. Para birokrat, politisi, pengusaha dan lain-lain untuk mendapatkan jalan keluar dari problim yang dihadapi, bukan mendatangi perguruan tinggi, menanyakan hasil-hasil penelitiannya, melainkan justru datang ke Kyai atau ulama. Kyai di hadapan berbagai elit bangsa seolah-olah mampu mengalahkan supremasi perguruan tinggi yang dalam dunia modern semestinya tidak harus terjadi.

Kenyataan itu mengindikasikan perguruan tinggi di Indonesia belum mampu membangun citra mulia maupun sebagai penyandang peran strategis di hadapan masyarakatnya. Namun pada sisi lain juga bisa jadi sesebabkan oleh kondisi masyarakatnya yang belum mampu menghargai ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat maju selalu dibangun atas dasar kekuatan ilmu dan bukan lainnya yang bernuansa idiologis. Masyarakat maju adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai obyektifitas, rasional, terbuka, dan selalu berorientasi pada kebenaran. Sebaliknya, masyarakat tidak akan mengalami kemajuan jika masih bernuansa idiologis, dan belum menghargai ilmu pengetahuan. Persoalan selanjutnya adalah apakah perguruan tinggi telah berhasil membangun citra diri sebagai penyandang otoritas ilmu yang bisa diterima oleh seluruh masyarakat. Persoalan ini jawabannya terpulang kepada perguruan tinggi sendiri, sejauh mana mereka mampu memposisikan diri secara tepat, terkait dengan kualitas pengabdiannya sebagai penemu dan pengembang ilmu pengetahuan dan terknologi itu.

Membangun perguruan tinggi di negeri yang amat besar, seperti bangsa Indonesia, apalagi masyarakatnya yang majemuk, tidaklah mudah. Ada faktor-faktor internal maupun eksternal yang berpengaruh sangat dominan terhadap kehidupan perguruan tinggi, baik aspek ideologis, budaya, politik, sosiologis, sejarah, ekonomi dan yang tidak kalah dahsyatnya adalah hempasan-hempasan globalisasi yang tidak mungkin dihindari. Menyangkut idiologis dan budaya misalnya, sampai saat ini pemerintah belum berhasil membangun institusi pendidikan dengan acuan tunggal, masih terjadi dikotomik antara lembaga pendidikan umum dan agama yang harus diurus oleh departemen yang berbeda. Pengaruh kekuatan politik sangat terasakan, tatkala pemerintah merumuskan strategi pengembangan, anggaran dan lainnya. Nuansa politis idiologis justru mewarnai setiap keputusan, yang bisa jadi sangat merugikan pengembangan lembaga pendidikan yang seharusnya dikembangkan atas dasar pilar-pilar yang bersifat rasional, obyektif, terbuka dan berkeadilan dalam pengertian seluas-luasnya. Kenyataan-kenyataan itu menjadikan pengelolaan pendidikan tidak berjalan semestinya, dan sebagai akibatnya yang terjadi adalah bukan benar atau salah keputusan itu, melainkan kalah atau menang. Inilah sesungguhnya ciri lain dari masyarakat yang bernuansa ideologis yang akan sulit mengalami kemajuan cepat.

Sebagai akibat dari pemaknaan perguruan tinggi seperti itu maka yang terjadi adalah degradasi fungsi institusi itu sendiri. Perguruan tingi hanya sekedar dijadikan instrumen mobilitas vertikal masyarakat dalam pengertian yang sederhana, misalnya untuk mendapatkan gelar atau ijazah, lapangan pekerjaan yang mendatangkan finansial yang tinggi. Akibatnya, jiwa atau rukh perguruan tinggi yang seharusnya menjadi bagian terpenting untuk menggerakkan seluruh aktivitasnya melemah. Tugas, peran dan tanggung jawab utama sebagai penemu dan pengembang ilmu pengetahuan terabaikan, yang terjadi adalah aktivitas rutin mencetak sarjana dalam pengertian yang terbatas pula. Perguruan tingi yang seharusnya menjadi obor dalam kehidupan, akhirnya tidak dapat terlaksana. Akhirnya peran-peran elementer berupa pemberian kuliah, ujian-ujian dan berakhir pada pemberian ijazah dan wisuda sudah dianggap mencukupi. Dampak selanjutnya ternyata cukup jauh, terjadilah pengangguran besar-besaran para sarjana, yang sesungguhnya hal itu sebagai akibat dari penyelenggaraan pendidikan yang tidak berkualitas. Fenomena ganjil kemudian terjadi, misalnya tidak sedikit sarjana pertanian tidak mampu mengembangkan pertanian di tanah yang subur dan luas, sarjana peternakan menganggur di tengah masyarakat yang berpotensi dikembangkan peternakannya. Sarjana ekonomi tidak paham aktivitas eknomi masyarakat, Sarjana agama tidak berdaya di masyarakat yang sedang membutuhkan bimbingan keagamaan, dan sebagainya. Kelemahan itu terjadi hampir menyeluruh pada semua bidang ilmu dan bidang kehidupan. Perguruan tinggi seolah-olah hanya melahirkan lulusan yang serba gagab dalam menghadapi kenyataan di tengah kehidupan nyata.

Menyadari akan kenyataan, pandangan, pemikiran dan persoalan tersebut di atas, maka diperlukan keberanian untuk melakukan redifinisi, reorientasi, restrukturisasi secara menyeluruh dan mendasar terhadap pengembangan perguruan tinggi ke depan. Perguruan tinggi yang selama ini dimaknai secara kurang tepat, yakni sekedar dipandang sebagai lembaga pendidikan kelanjutan sekolah menengah atas, harus segera diposisikan secara tepat. Pendidikan tinggi yang sekedar difungsikan sebagai instrumen mendapatkan gelar dan apalagi sekedar menjadikan orang terampil harus dihentikan. Perguruan tinggi, karena menuntut pengelolaan secara berbeda dibanding dengan lembaga pendidikan di bawahnya, maka harus dimanage secara berbeda pula. Perguruan tinggi harus dijadikan sebagai tempatnya para ilmuwan melakukan penelitian, kajian ilmiah dan tempatnya para guru besar, pakar dan pecinta ilmu untuk berkarya semaksimal mungkin. Saya semestinya adalah merupakan sangkar ilmu yang keberadaannya sangat dibutuhkan bagi masyarakat yang berharap mengalami kemajuan tanpa henti. Allahu a’lam


http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=267:30-10-2008&catid=25:artikel-rektor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar