TUNTUTAN untuk memiliki sistem pendidikan nasional melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sidiknas) sudah menjadi tuntutan. Demikian tekad Mendiknas Malik Fadjar. Karena itu, perlu dibuat landasan yuridis untuk pengembangan pendidikan yang lebih baik.
Untuk merealisasi rencana itu DPR melalui Komisi VI dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sepakat menyusun UU baru, mengganti UU Sisdiknas Nomor 2/1989 yang sudah berusia 14 tahun dan sudah memerlukan perubahan sesuai dengan perkembangan.
DPR dan Depdiknas beranggapan, suasana dan kondisi yang melatarbelakangi UU Nomor 2/1989 sangat berbeda dari saat ini. Dahulu ketika UU itu disusun, kondisi pemerintahan sentralistis. Sebaliknya kini, pemerintah menganut sistem desentralisasi berkaitan dengan otonomi daerah yang berkembang.
Untuk merespons itu, Depdiknas membentuk Komite Reformasi Pendidikan (KRP) berdasarkan Keputusan Mendiknas pada 21 Februari 2002. Tugas pokoknya menata UU pendidikan baru.
Prof Dr Suyanto bersama para pakar di bidang pendidikan serta anggota Komisi VI yang ahli dan menangani bidang pendidikan mulai membahas serta menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Pada rapat pleno Januari 2002, DPR setuju menggunakan hak inisiatif untuk menyusun RUU Sisdiknas.
RUU dapat diundangkan - sekaligus sebagai hadiah - pada 2 Mei 2002 yang diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional Indonesia. Namun apa hendak dikata, RUU baru rampung pada 27 Mei, target 2 Mei tak terpenuhi.
RUU ini kembali terbentur masalah Amanat Presiden (Ampres) yang menjadi dasar bagi wakil pemerintah dalam pembahasan belum turun. Meskipun pada 11 September 2002, Depdiknas sudah mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), RUU itu tetap tidak dapat dibahas karena secara formal Presiden belum menunjuk wakil pemerintah.
Pluralis
Dalam pembahasannya, RUU mulai mendapat respons masyarakat. Kelompok tertentu misalnya berpandangan, RUU itu sangat tidak pluralis. Yang dianggap paling kontroversial adalah Pasal 13 ayat 1a yang berbunyi: "Setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama".
Reaksi pun muncul atas pasal yang dinilai bakal menimbulkan penafsiran beragam. Apalagi sebelumnya pasal ini dilengkapi ketentuan pidana 10 tahun atau denda Rp 1 miliar bagi yang melanggar. Polarisasi pro-kontra juga sudah tampak melalui aksi-aksi demonstrasi di berbagai daerah.
Dalam berbagai aksi demontrasi di Jakarta dan daerah, tampak sekali polarisasi itu. Yang pro segera disahkan adalah kalangan pengelola pendidikan yang berciri khas Islam. Sementara itu, yang tidak setuju dan menolak akan kalangan pendidikan yang memiliki ciri nonmuslim.
Alasannya, UU Nomor 2/1989 mengakui sekolah-sekolah berciri khas. Tidak terlalu logis jika menjadikan UU yang akan diganti itu menjadi rujukan sebagai alasan keberatan. Sekali lagi semangat mengganti UU itu karena ada tuntutan berubah ke yang lebih baik.
Soal bakal munculnya polemik penafsiran juga disinggung oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi. Pasal ini bisa memicu hal-hal yang tidak diinginkan. Tentu jika polarisasi pendapat itu tidak didasari semangat demokrasi. Kasarnya, bila satu kelompok sudah anarkis akan dibalas oleh kelompok lain yang berbeda. Harapannya, polarisasi ini masih dalam koridor demokrasi.
Namun pada sisi lain, pasal tersebut mendapat respons positif dari Ketua Umum Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A) KH Abdullah Syukri Zarkasyi. Pasal itu sudah sangat plural.
Zarkasyi malahan meminta agar pasal pidana yang sudah dihapus dari draf RUU Sisdiknas versi pemerintah dimunculkan kembali.
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta yang juga anggota Komisi VI Mochtar Buchori menyatakan RUU itu seharusnya memisahkan antara pendidikan agama dan pendidikan moral karena keduanya adalah hal yang berbeda. Pendidikan agama menuju pada pengembangan religiositas, sedangkan pendidikan moral kepada moralitas. Disayangkan, RUU Sisdiknas yang tidak membakukan arah pendidikan agama dengan jelas.
Ada yang berpendapat, visi dan misi pendidikan nasional sangat terfokus pada nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia. Konsep itu mengesampingkan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional dipersempit secara substansial. Padahal tugas untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan adalah tugas lembaga keagamaan dan masyarakat, bukan lembaga pendidikan.
Selain pro-kontra Pasal 13, persoalan teknis yang diatur RUU Sisdiknas juga menjadi masalah. Banyak pihak beranggapan, tidak sepantasnya sebuah RUU yang akan menjadi UU mengatur segala hal secara terperinci. Sebuah UU seharusnya hanya mengatur masalah mendasar, tidak perlu hingga ke teknis. Kondisi di Indonesia yang majemuk akan menyulitkan ketika sebuah UU terlalu teknis.
Peran Ganda
RUU itu juga dituding memberi peran ganda bagi pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya di dunia pendidikan. Pada satu sisi menyatakan memberikan kesempatan pada masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, tetapi pada sisi lain masih banyak pasal yang memberi peluang bagi pemerintah untuk intervensi.
Ungkapan etatisme pun mencuat, pemerintah lebih mementingkan negara ketimbang rakyat.
Belum lagi dalam RUU Sisdiknas versi pemerintah pada 20 Februari, pegawai Depdiknas berhak menyidik atas tindak kejahatan di bidang pendidikan. Ini dinilai menjungkirbalikkan fungsi-fungsi dalam tatanan negara. Mana mungkin fungsi eksekutif dicampuradukkan dengan yudikatif.
Besarnya peran pemerintah diakui pengamat pendidikan Prof Dr HAR Tilaar. Apa yang terjadi di belahan lain di dunia ini sangat bertolak belakang dengan di Indonesia. Di negara lain, peran pemerintah mulai dikurangi, tapi hal itu tidak terlihat di RUU ini.
Ketiadaan pasal atau ayat yang menyebutkan masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan diakui pengamat pendidikan. Argumentasinya, turut sertanya masyarakat dalam dunia pendidikan tidak tepat.
DPR dan pemerintah pun terus jalan. Dan, pada 1-2 Mei lalu direncanakan untuk membawa hasil panitia kerja ke sidang pleno komisi. Meminjam istilah Anwar Arifin, ketua panitia kerja sekaligus pencetus RUU ini, ibarat buah, RUU ini akan disahkan bila memang sudah matang dan tak menunggu busuk. Apalagi proses sosialisasi sudah dilakukan sejak 2001, dan sudah banyak daerah didatangi.
Bila memang sudah melalui proses sosialisasi, mengapa penolakan yang berkembang di masyarakat begitu keras? Komarudin Hidayat pun berkomentar, masyarakat tak dapat disalahkan karena memang sering terlambat dalam menyikapi segala sesuatu. Untuk itu, proses sosialisasi dan penyerapan aspirasi harus terus dilakukan sehingga tidak terjadi gejolak saat disahkan.
Ditunda khawatir jadi busuk, diberlakukan masih saja mengundang silang pendapat. Atau setuju HAR Tilaar yang berpendapat, pengesahan RUU bukan kiamat. Saat ini kemampuannya hanya sebatas itu, mau tidak mau harus menerima apa yang ada sekarang.
Mampukah RUU Sisdiknas yang dikatakan lahir untuk menjawab tuntutan zaman ini memperbaiki dunia pendidikan? Pertanyaan besar yang harus dijawab setelah 58 tahun Indonesia merdeka.
RUU Sisdiknas, yang lancar-lancar saja dalam pembahasan di DPR, sekarang mulai diributkan. Ribut oleh yang protes dan yang mendukung. Demonstrasi baik yang menentang maupun yang mendukung terjadi di hampir semua kota di Tanah Air.
Yang menentang umumnya datang dari kalangan lembaga-lembaga pendidikan swasta non-Islam, sedangkan yang mendukung adalah dari kelompok penyelenggara pendidikan Islam. Hal yang ditentang adalah yang menyangkut keharusan sekolah-sekolah swasta menyediakan guru agama yang seagama dengan peserta didik.
Pasal ini menimbulkan konsekuensi biaya terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan baik Kristen maupun Islam. Karena mereka harus merekrut guru-guru agama sesuai dengan keragaman agama anak didiknya.
Pasal ini sangat adil. Sebab, sekolah-sekolah non-Islam dan Islam dikenai kewajiban yang sama. Sekolah-sekolah Islam menyediakan guru agama dari non-Islam, sebaliknya sekolah-sekolah non-Islam menyediakan guru-guru agama Islam.
Hanya realitasnya adalah banyaknya anak-anak dari keluarga Islam yang bersekolah di sekolah non-Islam. Sementara itu anak-anak dari keluarga non-Islam sedikit sekali - untuk tidak menyatakan tidak ada - yang bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan yang berwatak Islam.
Konsekuensinya, beban anggaran sekolah-sekolah non-Islam untuk menyediakan guru-guru agama Islam lebih besar daripada anggaran sekolah-sekolah swasta Islam untuk menggaji guru-guru agama lain.
Padahal UU itu cukup adil. Masalah itu bisa terjawab manakala pemerintah menyediakan dan menanggung gaji guru-guru agama itu. Atau beban itu diserahkan sepenuhnya ke orang tua anak didik, bukan lembaga pendidikan.
Jika ini tidak diatasi, akan menimbulkan bahaya besar. Sekolah-sekolah swasta baik Islam maupun non-Islam karena keterbatasan anggaran lalu membatasi jumlah anak didik yang berbeda agama.
Departemen Agama (Depag) sudah mengantisipasi dengan menyediakan tenaga guru-guru agama bila RUU Sisdiknas ini disahkan. Jadi, sebetulnya tidak masalah dan mengkhawatirkan soal tenaga guru untuk memenuhi tenaga pengajar di sekolah-sekolah non-Islam.
Lain halnya jika dalam memaknai dan memahami pasal 13 RUU Sisdiknas, semula kalangan dari penyelenggara negara sampai lembaga-lembaga pendidikan keagamaan masih terjebak pada kecurigaan-kecurigaan isu agama seperti adanya islamisasi dan seterusnya yang semestinya sudah lama dihilangkan,
RUU ini hanya memberi hak bagi setiap pelajar untuk mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut. "Tidak ada keinginan mendirikan masjid di sekolah non-Islam. Itu tidak ada, dan itulah yang didramatisasikan," ujar Mendiknas Malik Fadjar.
Benar, tak ada satu kata pun yang menyebut agama Islam. Setiap peserta didik berhak mendapat pelajaran agama yang diajarkan oleh guru seagama. Agama yang diajarkan adalah agama yang sama yang dianut murid. Sebenarnya tidak ada yang merasa dirugikan dari rumusan itu.(A Adib-16j)
http://www.suaramerdeka.com/harian/0305/05/nas12.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar