Sabtu, 2 Mei 2009 | 20:27 WIB
|
Sekolah Itu Candu, salah satu judul buku yang mungkin akan menginspirasi banyak orang tentang sekolah formal yang ternyata tidak malah mencerdaskan bangsa. Mengapa?
Oleh : ARIEF JUNIANTO
Dalam buku karangan karangan Roem Topatimasang tersebut, digambarkan bagaimana sebuah sekolah (formal) kemudian menjadi sebuah candu, artinya senantiasa membawa peserta didik pada awang-awang akan masa depan. Jika hal ini terus dibiarkan, maka peserta didik akan tercerabut dari realitas di sekitar mereka.
Faktanya, dulu nenek moyang kita tidak memerlukan ijazah seperti sekarang. Meski demikian mereka tetap belajar, walaupun pembelajaran yang mereka lakukan tidak muluk-muluk, hanya seputar lingkungannya saja. Hal inilah yang membuat mereka tidak lalu tercerabut dari lingkungannya.
Sekolah (formal) di Indonesia cenderung mengandung kelemahan yang membuat Roem Topatimasang mengatakan bahwa sekolah itu adalah candu. Pertama, sekolah (formal) terlampau formal, sempit, ketat, dan terbatas. Hal inilah yang akan membunuh secara perlahan-lahan kreatifitas peserta didik. Kedua, sekolah memiliki kultur yang feodal dan otoriter. Dengan demikian, sekolah lantas hanya diterjemahkan sebagai proses belajar dalam ruang belajar yang formal dengan seperangkat aturan yang ketat dan mengikat.
Sekolah formal, secara tidak langsung dapat melahirkan sebuah degradasi kemanusiaan. Melalui pendidikan formal, manusia semakin jinak dan terdomestikasikan. Oleh karena itu, konsep masyarakat tanpa sekolah yang digandang oleh Ivan Illich secara tidak langsung membuka peluang munculnya sekolah-sekolah alternatif sebagai pilihan lain dari ‘gagalnya’ sekolah formal.
Betapa tidak, kurikulum yang ditawarkan oleh sekolah formal bisa dikatakan sangat feodalis, sehingga hal tersebut pun akan membentuk paradigma masyarakat yang sangat formalistik. Artinya, peran nilai ijazah merupakan dua hal senantiasa menjadi ujung dalam pengukuran tingkat keberhasilan sebuah pendidikan.
Daniel M. Rosyid, seorang pengamat pendidikan mengatakan, pendidikan formal kini semakin kehilangan maknanya. Baginya pendidikan formal kini hanya berorientasikan pada ujian saja. ”Jadi tingkat keberhasilan pendidikan kini cuma didasarkan pada angka-angka dan selembar ijazah saja,” ujarnya.
Dengan konsep sekolah formal yang seperti sekarang ini, baginya hanya akan semakin mengasingkan peserta didik dari kehidupan sehari-hari. Melalui sekolah formal, peserta didik hanya akan dibawa pada mimpi-mimpi tentang masa depan, seolah-olah mereka dibawa menjauh dari masa kini.
Memang, dengan konsep sekolah formal yang ada sekarang, masyarakat seolah dipaksa untuk mengakui pentingnya ijazah dan jenjang pendidikan. Padahal konsep dasar pendidikan adalah pendidikan itu sendiri, bukan pada selembar ijazah. Oleh karena itulah kemudian muncul apa yang disebut dengan pendidikan informal dan pendidikan nonformal sebagai pendidikan
Pendidikan non formal ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur peran masyarakat. Hal ini disebabkan pendidikan non formal merupakan jalur pendidikan yang penyelenggaranya adalah masyarakat umum, baik perorangan, maupun kelompok, seperti dasa wisma, PKK. Tujuannya adalah sebagai pengganti, penambah maupun juga pelengkap pendidikan formal.
Peserta didik yang tidak dapat aktif dalam jalur pendidikan formal karena suatu hal, misalnya harus membantu keluarga, dapat mengikuti pendidikan non formal yang materinya dapat disetarakan dengan pendidikan formal. Penyetaraan ini, menurut Soeparno dapat dilakukan setelah melalui penilaian secara khusus terhadap lembaga pendidikan non formal yang bersangkutan oleh Dinas Pendidikan bagian Pendidikan Luar Sekolah (PLS). n
http//www.surbayapost.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar