Rabu, 13 Mei 2009

Pendidikan Agama dalam RUU Sisdiknas


Oleh: Muhammad Ahsan

KEINGINAN untuk segera mengganti UU No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan UU yang baru mengalami hambatan. Pasalnya RUU Sisdiknas yang sudah selesai digodok dalam Panitia Kerja Komisi VI DPR RI diprotes oleh para pengelola sekolah swasta berciri khusus yang merasa tidak puas terhadap sebagian pasal dalam RUU Sisdiknas tersebut. RUU Sisdiknas dianggap lebih mengedepankan unsur peningkatan iman dan takwa ketimbang mencerdaskan kehidupan bangsa.

Selanjutnya pihak yang menolak RUU Sisdiknas tersebut berpendapat, pendidikan agama yang selama ini diajarkan di sekolah dinilai tidak efektif dalam membentuk moral bangsa. Indikatornya, walaupun ada pelajaran pendidikan agama di sekolah para siswa masih mempunyai mental menyontek, suka berkelahi, tawuran, mengonsumsi narkoba, bertutur kata kotor, dan sebagainya. Pendidikan agama mestinya tidak menjadi tanggung jawab pemerintah, agama merupakan hak pribadi seseorang, yang bertanggung jawab adalah masyarakat dan keluarga.

Mencerdaskan

Dalam hal ini penulis sepakat kalau pendidikan harus mengedepankan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan catatan mencerdaskan kehidupan bangsa ini dimaknai seutuhnya.

Satu kekeliruan besar jika makna mencerdaskan kehidupan bangsa ini hanya menyangkut kecerdasan intelektual (IQ). Tren global telah menepis anggapan kalau kesuksesan seorang anak di masa-masa mendatang hanya ditentukan oleh tingginya kemampuan IQ.

Daniel Goleman, Segal, dan Gottman, menyatakan bahwa kemampuan IQ yang tinggi tidak menjamin kesuksesan seseorang. Dari hasil penelitiannya mereka mengungkapkan, perbedaan orang yang sukses malah terletak pada kecerdasan emosionalnya (EQ) yang mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri.

Temuan mengenai pentingnya EQ ini kemudian disusul dengan penemuan berikutnya yang dipelopori oleh D Zohar yang menyatakan, dalam bagian otak manusia juga terdapat bagian yang sangat terkait dengan orientasi spiritual yang pada akhirnya melahirkan pelatihan spiritual quotient (SQ).

Penemuan mutakhir menjelaskan otak manusia terdiri atas dua bagian besar yakni otak kiri dan otak kanan. Otak kanan memiliki kemampuan berpikir imajinatif, holistik, kreatif, dan bisa melahirkan ide-ide inovatif. Di sisi lain otak kiri mempunyai kemampuan analitis yang cenderung linier.

Pendidikan kita selama ini hanya mengeksploitasi kemampuan otak kiri saja, dan begitu mengabaikan optimalisasi otak kanan. Jika komunitas pendidikan kita sendiri sudah salah dalam memahami misi mencerdaskan kehidupan bangsa ini, maka dalam implementasinya kita telah melakukan kesalahan dan berpikir mundur ke belakang dua puluh atau bahkan tiga puluh tahun yang lalu.

Dengan demikian sangat keliru ketika tujuan pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan berada pada posisi yang terpisah dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Antara mencerdaskan kehidupan bangsa dengan meningkatkan iman dan takwa merupakan dua tujuan yang saling terkait dan bersinergi.

Ary Ginanjar Agustian mengungkapkan, pendidikan di Indonesia selama ini terlalu menekankan arti penting nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja. Mulai dari bangku sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, sinergi. Model pendidikan selama ini patut dipertanyakan hasil bentukan karakter dan kualitas sumber daya manusia yang berbuntut pada krisis yang berkepanjangan saat ini.

Agama Gagal?

Penilaian bahwa pendidikan agama telah gagal dalam rangka membawa anak bangsa agar mempunyai moralitas memang tidak dapat dipungkiri. Pendidikan agama yang dilakukan selama ini memang belum dapat memenuhi harapan masyarakat terhadap keberadaannya. Namun perlu diingat yang gagal bukan hanya pada mata pelajaran pendidikan agama, pada bidang studi yang lain pun pendidikan kita mengalami kegagalan serupa.

Salah satu penyebab gagalnya pendidikan secara keseluruhan karena selama ini kita terpancang untuk mengukur tingkat keberhasilan hanya melalui angka-angka dan nilai. Masyarakat dan komunitas pendidikan baru sadar ternyata ada ukuran keberhasilan lain yang lebih penting ketimbang angka-angka nilai itu.

Ketika pendidikan agama dianggap belum berhasil, bukan berarti tidak perlu. Ada pendidikan agama saja moral anak bangsa masih memprihatinkan, apalagi kalau tidak ada. Lantas terapi macam apa yang akan diterapkan oleh dunia pendidikan untuk mengatasi masalah ini? Bukankah yang perlu dilakukan sekarang adalah membenahi segala kekurangan yang ada dengan mempelajari kekurangan masa lalu, karena faktor kenakalan itu tidak tumbuh dari dalam dunia pendidikan, yang pasti pengaruh lingkungan dan media yang tidak mendidik begitu kuat.

Ditambah lagi faktor kemiskinan dan kesenjangan ekonomi juga turut memberi andil terhadap bobroknya moralitas anak bangsa. Di sisi lain sekolah sebagai tulang punggung pendidikan tidak cukup punya jurus untuk menangkal semua itu, termasuk di dalamnya pendidikan agama belum mempunyai model yang paling sesuai.

Kekhawatiran penulis mengenai keberadaan pendidikan agama muncul karena sudah mengemuka wacana agar pendidikan agama dan pendidikan moralitas harus dibedakan. Pendidikan agama dianggap hanya berorientasi kepada keyakinan, dan tidak ada urgensinya dengan moralitas.

Pandangan semacam ini jelas sangat keliru. Seluruh nilai bermuatan moralitas yang selama ini dipegang oleh bangsa Indonesia semuanya bersumber dari agama, termasuk seluruh sila dalam Pancasila bersumber dari agama.

Nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, persaudaraan, cinta, kasih, dan sayang, permusyawaratan, dan keadilan sosial semuanya bersumber dari agama. Agama mana di negara kita ini yang hanya mengedepankan keyakinan dan komunikasi batiniah dengan Tuhan? Keyakinan dan komunikasi batiniah dengan Tuhan ini juga harus berkorelasi positif terhadap komuniasinya kepada sesama manusia dan ekologi.

Kita akan mengalami jalan buntu ketika menggali nilai-nilai moral tanpa sentuhan agama, semuanya terasa hambar dan hanya akan menyisakan perdebatan yang sangat panjang tanpa ujung.

Sesuai Agama Anak

Pasal 13 RUU Sisdiknas versi Depdiknas atau pasal 12 versi Komisi VI yang menyatakan bahwa, "Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh guru yang se-agama".

Pasal yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama ini dianggap oleh pihak yang menolak RUU Sisdiknas sebagai pasal yang tidak mengedepankan pluralisme. Padahal kalau dicermati tidak ada satu kata pun dalam pasal ini yang menunjukkan antipluralisme, bahkan sebaliknya pasal ini sangat plural. Pasal ini begitu menghargai perbedaan agama dan mendukung sikap toleransi antarpemeluk agama.

Jika dalam pelaksanaannya diperkirakan akan menimbulkan masalah, itu hanya faktor kebiasaan. Pengalaman di sekolah-sekolah negeri pengajaran agama sesuai dengan agama yang dianut oleh siswa sudah berjalan dengan baik.

Bahkan situasi semacam itu sangat bermanfaat untuk menumbuhkan toleransi dalam diri peserta didik. Intinya hanya karena belum terbiasa saja. Ada yang bilang, sekolah negeri kan milik bersama, sedang sekolah swasta lain masalahnya. Apa sih bedanya sekolah negeri dan swasta? Wacana mengenai hak siswa di sekolah swasta harus dibedakan dengan sekolah negeri ini bukankah sangat bertentangan dengan perjuangan lembaga-lembaga pendidikan swasta yang selama ini berkeinginan agar dikotomi negeri-swasta ditiadakan?

Menurut keyakinan penulis, bila pasal ini sudah dilaksanakan dan terbiasa malah akan meningkatkan harmonisasi antarpemeluk agama di negeri tercinta ini. Sekali lagi, masalahnya hanya karena belum terbiasa. (18)

- Muhammad Ahsan SAg, Guru Agama SLTP Negeri 36 Semarang.

http://www.suaramerdeka.com/harian/0306/02/kha2.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar