Rabu, 13 Mei 2009

Mengatasi Kendala Pendidikan Anak Usia Dini

  • Oleh Bambang Tri Subeno

SIAPA pun tak akan menyangkal ungkapan yang menyebutkan masa depan suatu bangsa terletak di tangan generasi mudanya. Artinya, kemajuan atau kemunduran suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas calon penerus generasi sekarang.

Calon penerus tersebut mencakup generasi muda yang terdiri atas para anak muda, remaja, serta anak-anak termasuk bayi.

Jika generasi mudanya berkualitas rendah atau lemah secara fisik dan mental, bisa dipastikan suatu bangsa atau negara akan terseok-seok. Mereka akan kepontal-pontal ketika harus berlomba melawan negara atau bangsa-bangsa lain di era persaingan yang kian keras. Persaingan itu terjadi pada semua sektor kehidupan. Mulai ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, hingga olahraga.

Dalam konteks mempersiapkan generasi penerus berkualitas itulah pendidikan anak usia dini (PAUD) memegang peranan amat penting.

Di negara lain pendidikan anak usia dini telah mendapat perhatian sejak lama. Di Singapura dan Korea Selatan, misalnya, hampir semua anak berusia dini atau 0-6 tahun telah memperoleh pendidikan.

Di Indonesia pendidikan anak usia dini baru beberapa tahun terakhir ini menjadi isu nasional dan mulai mendapatkan perhatian pemerintah. Tak mengherankan jika dari sekitar 28 juta anak usia 0-6 tahun baru 73% atau sekitar 20,4 juta belum mengenyam pendidikan usia dini.

Sisanya atau sekitar 7,5 juta anak sudah memperoleh pendidikan usia dini, antara lain berupa membaca dan berhitung.

Sebagian kecil di antaranya ditangani di lembaga formal, yakni taman kanak-kanak (TK), kelompok bermain (play group), dan sederajat. Sebagian yang lain memperoleh pendidikan usia dini di lembaga-lembaga nonformal, yakni tempat penitipan anak (TPA), bina keluarga balita, dan sejenisnya.

Tahun ini Departemen Pendidikan Nasional menargetkan peningkatan jumlah anak yang memperoleh pendidikan usia dini sebesar 12,5% atau menjadi 11 juta anak dan 2009 menjadi 17,3 juta anak.

Usia dini yang lazim diartikan pada kisaran 0-6 tahun memang merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan pengembangan intelegensi seorang anak. Sudah banyak penelitian yang membuktikan pada usia tersebut anak-anak memiliki tingkat intelegensi atau kecerdasan paling optimal.

Tujuan utama pendidikan usia dini adalah memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak sejak awal yang meliputi aspek fisik, psikis, dan sosial secara menyeluruh. Dengan begitu anak diharapkan lebih siap untuk belajar lebih lanjut. Bukan hanya belajar secara akademik di sekolah, melainkan juga sosial, emosional, dan moral di semua lingkungan.

Pengesahan RUU Sistem Pendidikan Nasional menjadi UU pada 11 Juni 2003 memberi peluang bagi perkembangan pendidikan anak usia dini di Indonesia. Melalui UU tersebut keberadaan dan program-program pendidikan anak usia dini lebih memiliki kepastian hukum dan lebih jelas kedudukannya.

Semua bentuk pendidikan usia dini dipayungi, baik TK, raudhatul athfal, kelompok bermain (play group), TPA, pendidikan keluarga dan lingkungan, serta bentuk-bentuk lain yang sederajat.

UU tersebut juga mengakui kesetaraan peranan ketiga jalur pendidikan, yakni formal, nonformal, dan informal dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini.

Pengakuan terhadap peranan jalur formal dan nonformal mungkin tidak terlalu mengherankan, tetapi untuk jalur informal atau pendidikan dalam keluarga dan lingkungan merupakan suatu kemajuan. Untuk memperluas peluang anak-anak usia dini dalam memperoleh pendidikan, jalur informal sangat memberikan harapan.

Namun walau telah memiliki payung hukum sehingga kedudukannya lebih pasti dan jelas, dalam pelaksanaannya di lapangan pendidikan anak usia dini menemui banyak kendala.

Pertama, kesadaran masyarakat mengenai betapa strategis pendidikan anak usia dini hingga sekarang belum menggembirakan.

Kurang Menyentuh

Di antaranya akibat sosialisasi kurang menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Baru sebagian kecil yang memiliki kesadaran cukup baik untuk memberi pendidikan anaknya sejak dini. Itu pun masih banyak terjadi salah tafsir. Pendidikan anak usia dini seolah-olah hanya bertumpu pada TK, kelompok bermain, dan sejenisnya yang bersifat formal.

Keterbatasan sarana yang terjangkau mendorong swasta berlomba-lomba "membisniskan" jenis pendidikan tersebut dengan tawaran fasilitas yang wah. Mulai penerapan bilingual atau dwibahasa, laboratorium komputer, gedung sekolah megah, guru-guru yang kompeten, hingga berbagai pendukungnya.

Orang tua harus mengeluarkan uang jutaan rupiah kalau ingin memasukkan anaknya ke TK atau kelompok bermain yang termasuk favorit. Lebih salah-kaprah lagi, banyak yang merasa kurang bergengsi dan percaya diri jika tak memasukkan anaknya ke TK atau kelompok bermain favorit.

Kedua, faktor geografis menyebabkan layanan pendidikan anak usia dini formal dan nonformal tidak mampu menjangkau seluruh sasaran. Banyak anak-anak usia dini yang tinggal di kepulauan terpencil dan daerah-daerah pelosok yang tak tersentuh oleh layanan transportasi memadai.

Satu-satunya cara mengatasi persoalan itu adalah mengembangkan pendidikan anak usia dini yang bersifat informal, yakni berbasis keluarga dan masyarakat. Namun untuk itu memerlukan orang tua atau orang dewasa yang memiliki semangat belajar agar mampu mendidik anak-anak di keluarga dan lingkungannya.

Ketiga, jumlah tenaga terdidik yang diharapkan menjadi agen-agen pengembangan pendidikan anak usia dini masih terbatas. Selain itu, sebagian besar sumber daya manusianya berkualitas rendah sehingga belum bisa diharapkan banyak untuk mengembangkan sekaligus menyosialisasikan pendidikan tersebut.

Penyebabnya antara lain tidak banyak perguruan tinggi yang memiliki perhatian serius terhadap penyediaan tenaga pendidikan anak usia dini.

Keempat, faktor ekonomi sebagian masyarakat kita yang tergolong memprihatinkan juga menjadi salah satu kendala menggalakkan pendidikan anak usia dini.

Perhatian masyarakat terfokus pada bagaimana memenuhi kebutuhan pokok, terutama pangan, sehingga pendidikan anak-anak agak terabaikan.

Untuk mengatasi beberapa kendala yang menghambat layanan pendidikan kepada anak-anak usia dini tersebut bisa ditempuh beberapa langkah.

Terutama memperluas jangkauan layanan melalui pendidikan nonformal dan informal yang berbasis keluarga serta lingkungan. Perlu disosialisasikan bahwa pendidikan anak usia dini bukan hanya TK atau taman bermain formal, melainkan juga TPA, bina keluarga balita, posyandu, serta keluarga sendiri.

Organisasi-organisasi kemasyarakatan perlu digerakkan agar pendidikan tersebut menyentuh anak-anak dari kelompok masyarakat paling bawah serta anak-anak di daerah-daerah terpencil.

Departemen Pendidikan Nasional telah menjalin kerja sama dengan PKK, Muslimat NU, Aisyiah, dan Kowani untuk meningkatkan jumlah anak usia dini yang memperoleh pendidikan.

Data Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini menyebutkan di Indonesia saat ini ada 9.668 pos pendidikan anak usia dini yang terdiri atas 635 TPA, 7.784 kelompok bermain, serta 1.249 pos lain berupa pos pelayanan terpadu (posyandu), bina keluarga balita, dan berbagai organisasi kewanitaan.

Pendidikan anak usia dini memerlukan penanganan secara multidisipliner yang melibatkan antara lain ahli gizi, kesehatan, pendidikan, psikologi, dan sosiologi.

Tentu agar semua anak usia dini terjangkau membutuhkan dana besar. Departemen Pendidikan Nasional telah mengalokasikan dana Rp 109 miliar yang terbagi dua, yaitu Rp 17,1 miliar untuk dikelola pusat dan Rp 92,6 miliar dikelola daerah.

Jumlah dana itu masih belum mencukupi atau hanya bersifat stimulans sehingga penyelenggaraan secara mandiri atau swadaya oleh masyarakat sangat diharapkan.

Perguruan tinggi yang mengembangkan ilmu kependidikan diminta pula perannya dalam menyiapkan tenaga-tenaga untuk menangani anak-anak usia dini.

Sekali lagi, pendidikan anak usia dini sebagai peletak dasar dalam upaya mencetak generasi berkualitas harus ditangani secara serius, bahkan memperoleh prioritas. Seluruh masyarakat ikut memikul tanggung jawab, bukan hanya pemerintah.(11)

- Bambang Tri Subeno, wartawan Suara Merdeka di Semarang

http://www.suaramerdeka.com/harian/0606/12/opi04.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar