Rabu, 20 Mei 2009

MEMPERKUAT PENDIDIKAN INFORMAL

Pendidikan di Indonesia

Pendidikan merupakan konsern setiap umat manusia, dalam masyarakat primitif pendidikan menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri, orang tua memandang bahwa anak-anak mereka perlu dipersiapkan untuk hidup dalam masyarakat atau lingkungan yang menjadi tempat mereka hidup. Kondisi ini tentu saja mengandung makna bahwa adalah tidak mungkin anak manusia dibiarkan hidup dengan hanya potensi bawaan tanpa ada suatu intervensi apapun dari orang dewasa, disamping itu potensi manusia untuk berfikir menjadikannya sebagai makhluk yang mampu berubah dan beradaptasi dengan lingkungannya dalam melanjutkan dan mengembangkan kehidupannya. Dalam kaitan ini S. Nasution (1983:11), menyatakan sebagai berikut :

“…. kelompok atau masyarakat menjamin kelangsungan hidupnya melalui pendidikan. Agar masyarakat itu dapat melanjutkan eksistensinya, maka kepada anggota mudanya harus ditekankan nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan dan bentuk kelakuan lainnya yang diharapkan akan dimiliki setiap anggota. Tiap masyarakat meneruskan kebudayaannya dengan beberapa perubahan kepada generasi muda melalui pendidikan, melalui interaksi sosial, dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai sosialisasi”

dengan demikian nampak bahwa pendidikan menjadi suatu keharusan secara sosial maupun budaya, baik disadari maupun tidak, pendidikan dilakukan oleh manusia sejak awal manusia menghuni bumi ini. Konsekwensi dari semua ini adalah perlunya suatu upaya untuk terus membangun pendidikan agar dapat lebih memungkinkan manusia berkembang dan mengembangkan potensinya dalam suatu sistem budaya yang mengitarinya

Untuk menjadikan upaya membangun pendidikan kokoh, maka diperlukan fondasi yang kuat sebagai dasar pijak bagi pembangunan pendidikan, dasar tersebut jelas perlu mengacu pada nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, baik nilai agama, moral maupun nilai budaya, maupun norma-norma serta aturan hukum yang mengikat semua pihak, sehingga dapat dicapai kesesuaian dan kesamaan pandangan dalam upaya pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara melalui kegiatan pendidikan.

Dalam konteks Indonesia sejak awal kemerdekaan, Pancasila telah ditetapkan sebagai dasar dan falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Pancasila memuat nilai-nilai luhur yang harus menjadi dasar dalam menyelenggarakan negara termasuk dalam bidang pendidikan. Butir-butir Pancasila juga tercantum dalam pembukaan Undang-undang dasar 1945, dan ini menggambarkan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya harus menjadi pedoman dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu kebijakan pendidikan nasionalpun harus merupakan upaya mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Secara konstitusional, para pendiri bangsa sejak awal telah menyadari pentingnya pencerdasan kehidupan bangsa, hal ini terlihat dalam pembukaan UUD 1945 Alinea ke empat yang berbunyi sebagai berikut :

”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam sustu Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dari pembukaan Uud 1945 tersebut nampak bahwa kemerdekaan yang diperjuangkan bangsa Indonesia akan diisi salah satunya dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan hal ini berarti bahwa pendidikan menjadi alat utama dalam upaya tersebut, sebab tidak ada cara lain upaya pencerdasan melainkan melalui pendidikan dalam makna yang luas.

Dalam memperkuat upaya pencerdasan seperti yang tercantum dalam pembukaan, dalam batang tubuh UUD 1945 masalah pendidikan tercantum dalam satu pasal khusus yakni pasal 31 tentang pendidikan dan kebudayaan yang berbunyi:

1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan

2. Setiap warga negara wajib mengikuti Pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-undang.

4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kkurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraaan pendidikan Nasional.

5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Dengan melihat pasal tersebut, terdapat beberapa hal penting yaitu :

1. Adanya hak yang sama bagi warga negara untuk memperoleh pendidikan

2. Warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar.

3. Pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar

4. Anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD.

5. Pemerintah perlu menyusun sistem Pendidikan Nasional.

6. Pemerintah perlu memajukan IPTEK.

7. Pengembangan pendidikan harus mengacu pada nilai-nilai agama serta dapat meningkatkan persatuan bangsa.

Dari apa yang tercantum dalam UUD 1945, nampak bahwa prndidikan memegang peranan penting dan pemerintah punya kewajiban dalam melaksanakan apa yang tercantum dalam UU tersebut dalam melakukan pembangunan pendidikan di Indonesia. Oleh karena itu setiap kebijakan pendidikan yang diambil oleh pemerintah harus selalu berupaya mencapai apa yang menjadi tujuan pendidikan nasional, sehingga arah kebijakan pendidikan menjadi bagian dari upaya melaksanakan UUD 1945.

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pada dasarnya merupakan landasan idil/dasar pokok bagi pembangunan bangsa dalam berbagai bidangnya termasuk bidang pendidikan, oleh karena itu diperlukan perangkat legal lainnya yang merupakan penjabaran dari Landasan/dasar tersebut. Sehingga ketentuan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan landasan idil tersebut. Dalam rangka menjabarkan dan melaksanakan amanat dari dasar pokok tersebut, pemerintah mengeluarkan/membuat Undang-undang dan ketentuan lainnya yang secara khusus mengatur penyelenggaraan pendidikan nasional

Undang-Undang dan ketentuan lainnya itu pada dasarnya merupakan upaya menjabarkan dan melaksanakan amanat kontitusi, sehingga harus selalu merujuk pada dasar pokok untuk kebijakan pendidikan bnasional, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. adapun ketentuan lainnya itu akan dikemukakan secara umum dan ringkas sebagai berikut

Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat 3, yang menyatakan perlunya pemerintah mengusahakan sistem pendidikan nasional, maka disusun Undang-Undang yang khusus mengatur masalah pendidikan. Pada jaman Orde Baru UU Pendidikan disusun pada tahun 1989 dengan lahirnya Undang-undang No 2 tahun 1989 tentang pendidikan, kemudian Undang-undang tersebut diganti dengan Undang-undang No 20 tahun 2003 yang merupakan perbaikan dara Undang-undang Sistem Pendidikan tahun 1989.

Undang-undang no 20 tahun 2003 merupakan undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan nasional yang terdiri dari 22 bab dan 77 pasal. Didalamnya mencakup dari mulai dasar dan tujuan, penyelenggaraan pendidikan termasuk Wajib belajar, penjaminan kualitas pendidikan serta peranserta masayarakat dalam sistem pendidikan nasional.

Dalam undang-undang ini secara tegas disebutkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasilan dan Undang-Undang Dasar 1945, ini berarti bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan pengaturan pendidikan dalam tataran praktis harus mengacu pada dua landasan tersebut. Adapun fungsi dan tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam bab II Pasal 3 UU No 20 tahun 2003 adalah :

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dengan memperthatikan pasal tersebut nampak jelas bahwa segala upaya pendidikan harus merupakan kegiatan yang dapat mencapai tujuan tersebut, sudah tentu hal itu memerlukan ketentuan-ketentuan lainnya yang dapat menjadikan pencapaian tersebut dapat berjalan dengan baik, dan efektif.

Dalam rangkan melaksanakan dan menjabarkan Undang-Undang sisdiknas no 20 tahun 2003, pemerintah mengeluarkan peraturan ini agar penyelenggaraan pendidikan dapat sesuai dengan yang diamanatkan Pancasila dan UUD 45 yakni pendidikan yang baik dan berkualitas. Untuk itu diperlukan terlebih dahulu menentukan standar yang harus menjadi acuan pelaksanaan kegiatan pendidikan pada tataran messo dan mikro, dalam hubungan ini PP no 19 tahun 2005 dapat dipandang sebagai upaya ke arah pencapaian hal tersebut. Suatu hal yang cukup penting dalam PP ini adalah perlunya dibentuk suatu Badan yang bernama Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai badan yang menentukan standar dan kriteria pancapaian dala penyelenggaraan pendidikan.

PP no 19 pada dasarnya hanya merupakan standar umum penyelenggaraan pendidikan (PP 19 ini isinya hanya berbicara tentang pendidikan formal dan nonformal), sehingga diperlukan operasionalisasi dalam berbagai aspek pendidikan, hal ini pun tercantum dalam PP tersebut tentang lingkup standar yang harus ada seperti standar isi, standar proses, standar lulusan dan standar lainnya Disamping masalah standarisasi penyelenggaraan pendidikan yang harus dipenuhi oleh penyelenggaran pendidikan. Adapun secara lebih jelas, standar-standar yang harus menjadi dasar bagi penyelenggaraan pendidikan sebagaimana tercantum dalam pasal 2 PP 19/2005 mencakup :

1). Standar isi

2). Standar proses

3). Standar kompetensi lulusan

4). Standar pendidik dan tenaga kependidikan

5). Standar sarana dan prasarana

6). Standar pengelolaan

7). Standar pembbiayaan, dan

8). Standar penilaian pendidikan

Dalam hubungan itu, sampai sekarang ini telah telah terbit Peraturan Mendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang Standar isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Peraturan Mendiknas nomor 23 tahun 2006 tentang standar Kompetensi Lulusan untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, sementara standar lainnya masih dalam proses. Dengan lahirnya Peraturan Mendiknas tersebut yang semuanya berkaitan dengan pendidikan formal, menunjukan bahwa perhatian pemerintah pada pendidikan formal lebih menjadi perhatian prioritas (untuk tidak mengatakan pemerintah tidak memperhatikan pendidikan lainnya)

Sementara itu berkaitan dengan pengaturan pendidikan berkaitan dengan tenaga pendidik telah lahir Undang-undang Guru dan Dosen no 14 tahun 2005, UU ini pada dasarnya merupakan suatu pengakuan akan profesionalitas Guru dan Dosen serta perlindungannya termasuh juga masalah kesejahteraan, dengan demikian untuk tenaga pendidik telah ada acuan yang menjadi dasar dalam pembinaan dan pengembangan guru/Dosen dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai pendidik.

2. Ilmu Pendidikan di Indonesia

Apresiasi yang lebih tinggi pada pendidikan formal/persekolahan merupakan suatu gejala yang telah lama terjadi di masyarakat, kondisi ini berakibat pada makin dominannya perhatian pada sekolah/pendidikan formal, sehingga perkembangan Ilmu Pendidikan pun banyak memberikan porsi kajian akademisnya pada pendidikan formal/sekolah. Kurangnya apresiasi. Ketergantungan yang makin tinggi pada persekolahan berakibat pada kurangnya penghargaan pada pendidikan di luar sekolah (nonformal dan informal), sebagaimana dikemukakan oleh T.R Batten (Surjadi, 1974:17), bahwa umumnya masyarakat kurang menghargai pendidikan masyarakat yang diselenggarakan secara lokal, hal ini tidak lain karena makin tumbuhnya ketergantungan masyarakat pada lembaga pendidikan sekolah/pendidikan formal.

Namun demikian, Semenjak awal tahun 1970-an Institut Pendidikan UNESCO telah memusatkan perhatiannya pada masalah pendidikan sepanjang hayat (Cropley,tt.ix), kondisi ini sebenarnya merupakan suatu upaya untuk melihat pendidikan secara komprehensif, tidak hanya berfokus pada pendidikan formal, sebab meskipun dalam proses pendidikan di sekolah tiga aspek, kognitif, afektif, dan psikomotor menjadi perhatian, namun dalam pelaksanaannya aspek kognitif lebih menempati posisi sentral dalam melihat keberhasilan suatu proses pendidikan, sehingga aspek lain seperti moral dan etika cenderung kurang/tidak dipergunakan sebagai dasar utama dalam menentukan keberhasilan output pendidikan, padahal pendidikan itu pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari budaya atau keseluruhan hidup manusia dengan berbagai dimensinya yang sangat kompleks, sehingga mereduksi pendidikan hanya pada dimensi tertentu akan cenderung membawa pada fragmentasi kehidupan. Hal ini sejalan dengan Tilaar (2004 : 54) yang berpendapat bahwa pendidikan tidak dibatasi sebagai schooling, sebab pendidikan ternyata tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan hidup masyarakat, atau dengan kata lain merupakan sebagian dari kebudayaan.

Dengan demikian, nampak bahwa masalah-masalah pendidikan umumnya mencerminkan atau merefleksikan apa yang terjadi dalam suatu kehidupan manusia secara keseluruhan yang secara sederhana terlihat dalam lingkungan pendidikan. menurut Buchori (1994a: 82) lingkungan pendidikan terdiri dari : 1) lingkungan pendidikan keluarga; 2).Lingkungan pendidikan sekolah; dan 3). Lingkungan pendidikan luar sekolah. Dalam melihat tiga lingkungan ini menurut Buchori, ilmu pendidikan Indonesia dewasa ini praktis hanya memperhatikan serta menganalisis persoalan pendidikan formal, perhatian pada pendidikan non-formal sangat kecil, sedang perhatian pada pendidikan informal dapat dikatakan belum mempunyai perhatian sama sekali. Kondisi ini mengakibatkan perkembangan ilmu pendidikan tidak bersifat komprehensif, dan inilah yang menjadi keprihatinan Buchori (1994a:5-8) dalam pernyataannya bahwa Menurut pandangan dan perasaan saya, ilmu pendidikan di Indonesia pada saat ini sedang mengalami krisis identitas. Ini merupakan ungkapan keprihatinan seorang pakar pendidikan yang didasari oleh berbagai kondisi yang berkaitan pengembangan pendidikan dan ilmu pendidikan yang terjadi di Indonesia karena Berlangsungnya praktek-praktek pengembangan Ilmu Pendidikan yang bersifat mengambang dan tidak konsisten antara pendidikan yang berkonsep education dengan pendidikan yang berkonsep paedagogie. Kondisi ini mengakibatkan/diakibatkan oleh pendangkalan wawasan mengenai masalah-masalah pendidikan, sehingga terjadi kesalahan-kesalahan yaitu : Perhatian yang hanya tertuju pada pendidikan yang terjadi di sekolah, dan sedikit sekali atau sama sekali tidak memperhatikan pendidikan yang terjadi di lingkungan-lingkungan lainnya, menyisihkan soal pandangan hidup atau pertumbuhan pandangan hidup. Pendapat dan keprihatinan Mochtar Buchori tersebut jelas perlu mendapat perhatian, mengingat dalam konteks Indonesia, krisis tersebut cenderung dan atau sedang terjadi, hal ini terlihat dari berbagai kebijakan pemerintah yang lebih memperhatikan pendidikan formal/persekolahan (schooling).

Pengembangan Ilmu pendidikan yang tidak/kurang komprehensif akan mengakibatkan pada timbulnya bidang pendidikan yang kurang diperhatikan padahal hal itu merupakan faktor penting yang ikut menentukan keberhasilan pembangunan pendidikan, seperti kurangnya perhatian pada pendidikan informal yang terjadi dalam keluarga akan menimbulkan berbagai dampak terbentuknya anak bangsa yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi ini sebenarnya sudah disadari para pakar sebagaimana diungkap di atas, ditambah lagi dengan adanya pengakuan dari pakar-pakar ilmu pendidikan lain seperti Hope J. Leichter (1979:4) yang dengan tegas menyatakan..”a fuller and richer understanding of education within social units termed families is essential for an adequate theory of education”, ini bermakna bahwa teori pendidikan akan tidak/kurang sempurna kalau masalah pendidikan dalam keluarga tidak difahami, akibat kurang diperhatikan, dengan baik dan mendalam.

Dengan mengingat hal tersebut, maka diperlukan suatu konsern yang lebih komprehensif akan masalah pendidikan, sehingga dapat dikembangkan suatu ilmu pendidikan yang tidak hanya berkembang dalam kaitannya dengan persekolahan, tapi juga mampu memandangnya dalam perspektif budaya masyarakat secara keseluruhan, ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan ilmu pendidikan yang mampu memberikan pedoman kepada bangsa dalam melaksanakan jenis berbagai kegiatan pendidikan (Mochtar Buchori, 1994a : 101).

3. Pendidikan sepanjang hayat (life long education)

Dasar filosofi pendidikan seumur hidup secara sengaja mempertanyakan konsepsi tradisional sekolah, seperti yang dikemukakan oleh Dave bahwa pertumbuhan kejiwaan, perkembangan kepribadian, pertumbuhan sosial, ekonomi, dan kebudayaan, seluruhnya berlangsung terus menerus seumur hidup (Cropley, tt:31). Pendidikan merupakan kehidupan itu sendiri, dan karena setiap orang hidup dalam suatu masyarakat, suatu keluarga, maka peristiwa pendidikan tidak dapat dibatasi pada kegiatan pendidikan formal dan atau nonformal, oleh karena itu pendidikan informal dalam keluarga pada dasarnya merupakan peristiwa pendidikan yang akan dijalani selama manusia menjalani kehidupannya.

Salah satu aktivitas esensial dari Pendidikan adalah terjadinya perubahan kearah kedewasaan, dan perubahan tersebut jelas memerlukan kegiatan belajar dan atau peristiwa belajar sebagai dasar perubahan, oleh karena itu pendidikan sepanjang hayat dapat difahami sebagai suatu kegiatan belajar sepanjang hayat, pendidikan formal dan nonformal memang merupakan faktor yang membentuk kegiatan pembelajaran sepanjang hayat, namun adalah tidak mungkin kedua lingkungan/jalur pendidikan tersebut diikuti sepanjang hidupnya manusia. Pendidikan formal jelas tidak akan terjadi selama hidup manusia, batas usia serta durasi pendidikan formal telah secara jelas ditentukan, demikian juga halnya dengan pendidikan nonformal, namun pendidikan informal sama sekali tidak terbatas pada usia tertentu serta durasinya pun tidak dibatasi, sehingga selama manusia itu hidup dalam suatu masyarakat dan suatu keluarga, maka peristiwa pendidikan dimana mereka dapat belajar berbagai hal akan terus terjadi.

Ini berarti bahwa pendidikan informal merupakan pendidikan yang terus menerus dijalani oleh manusia dengan durasi selama hidupnya, ini berarti pengaruhnya akan terus dirasakan oleh pendidikan formal maupun nonformal, namun demikian keadaan sebaliknyapun tentu saja terjadi, dimana kualitas pendidikan informal juga mendapat pengaruh pendidikan formal dan nonformal dari perubahan-perubahan yang terjadi pada peserta didik, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pembentukan keluarga selanjutnya.

4. Pendidikan di lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang di dalamnya terjadi suatu interaksi yang akan membawa pada perubahan-perubahan tertentu sesuai dengan nilai-nilai budaya yang melingkupinya, dalam interaksi tersebut terdapat orang dewasa (orang tua) dan orang yang sedang berproses ke arah kedewasaan. Dalam interaksi tersebut terdapat fihak yang dominan dan cenderung mendominasi dalam membentuk interaksi serta substansi interaksi, seperni nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dimiliki dan menjadi sikap fihak yang belum dewasa, yaitu anak-anak dalam keluarga tersebut.

Menurut Emile Durkheim (Taufik Abdullah, 1986:32), bahwa bagaimana anak dibesarkan/pendidikan dalam keluarga menunjukan suatu kondisi pemaksaan yang terus menerus pada anak-anak tentang cara memandang dan bertindak yang tidak dapat dicapai secara spontan. Dari sejak awal hidupnaya, kita (orang tua) memaksanya untuk makan, minum, tidur pada waktu-waktu tertentu, mengenal kebersihan, ketenangan, kepatuhan, menghormati orang lain, menghormati adat kebiasaan, perlunya kerja, dan sebagainya. Pendidikan memang memerlukan pembiasaan (ini merupakan salah satu kegiatan pembelajaran) agar apa yang dibiasakan menjadi sesuatu yang melekat, sehingga terjadilah perubahan ke arah kedewasaan, yakni kemampuan untuk mandiri dalam menjalani kehidupannya di masyaraka, manakala orang dewasa sudah tiada.

Silain kegiatan-kegiatan yang bersifat naluriah, nampak bahwa dalam suatu keluarga penanaman nilai-nilai dan pembiasaannya merupakan sesuatu yang mendapat tekanan dalam kehidupan sejak manusia itu lahir ke dunia, menurut Takdir Alisjahbana (1986:111) adalah tidak mungkin keluarga itu sebagai kesatuan, dengan tugasnya mendidik anak, tidak berminat kepada nilai-nilai, termasuk nilai-nilai agama. Ini berari nahwa pendidikan dalam keluarga cenderung lebih menitik beratkan pada penanaman nilai-nilai, dan penanaman nilai-nilai menurut Engkoswara (2002:34) merupakan komponen yang menggambarkan keluarga sebagai lembaga pendidikan.

Semua pendidikan mulai dari rumah, sehingga keluarga menjamin kaitan antara perasaan dan intelek, dan meneruskan nilai-nilai dan standard-standard (Delors, 1999:75). Sementara itu, dalam perspektif agama Ma’ruf Zurayk (1996:21) menyatakan sebagai berikut :

”…anak lahir dalam keadaan fitrah, keluarga dan lingkungan anaklah yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian, perilaku, dan kecenderungannya sesuai dengan bakat yang ada dalam dirinya. Tetapi, pengaruh yang kuat dan cukup langgeng adalah kejadian dan pengalaman pada masa kecil sang anak yang tumbuh dari suasana keluarga yang ia tempati”

pernyataan di atas mengandung arti bahwa basis dari semua pendidikan formal dan non formal diawali dari pendidikan di lingkungan keluarga, oleh karena itu upaya untuk membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan baik formal maupun nonformal tidak dapat terlepas dari upaya untuk membangun pendidikan dalam tingkatan keluarga (pendidikan informal), sebab semua peserta didik yang menjadi input bagi lembaga pendidikan formal dan atau nonformal pasti datang dari keluarga dengan interaksi pendidikan. Oleh karena itu bagaimana hasil pendidikan formal dan atau nonformal dipengaruhi/ditentukan oleh kualitas input dalam bentuk peserta didik, yang merupakan hasil pendidikan di dalam keluarga. Dalam konteks input ini, hubungan langsung antara pendidikan informal/keluarga dengan pendidikan formal dan nonformal lebih bersifat satu arah

Hasil penelitian para pakar pendidikan yang diungkapkan dalam buku Families as Learning Environments for Children dengan editor Laosa, dan Sigel (1982) menunjukan bagaimana besarnya pengaruh pendidikan di lingkungan keluarga dalam pertumbuhan anak, sehingga ketika mereka mengikuti pendidikan formal dan atau nonformal, sebenarnya bentukan awal anak tersebut terjadi dilingkungan keluarga, baik melaui upaya pendidikan maupun peristiwa pendidikan, dan kualitas bentukan ini jelas akan menentukan kualitas hasil pendidikan selanjutnya, baik pendidikan formal maupun nonformal.

Sementara itu dari sudut proses, pendidikan keluarga juga akan sangat menentukan pada keberhasilan proses pendidikan formal dan atau nonformal, hal ini dikarenakan berbagai kompetensi yang diharapkan tumbuh dalam pendidikan formal dan atau nonformal akan dipengaruhi oleh bagaimana keluarga memberikan dukungan yang positif, serta mewujudkan situasi yang kondusif bagi perwujudan dan peningkatan kemampuan peserta didik sesuai dengan yang diharapkan terjadi oleh pendidikan formal dan atau nonformal, bahkan keberlanjutan terpeliharanya kemampuan peserta didik tersebut akhirnya tergantung pada lingkungan keluarga apabila telah menyelesaikan pendidikan formal dan atau nonformal, meskipun demikian hasil pendidikan formal dan atau nonformal juga akan mempengaruhi kualitas interaksi dalam lingkungan keluarga.

5. Memperkuat Pendidikan di lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan suatu unit sosial, kumpulan unit sosial ini membentuk suatu masyarakat, secara sederhana dapat difahami bahwa budaya masyarakat pada dasarnya merefleksikan budaya dalam keluarga, dan sekaligus juga mempengaruhi bagaimana suatu keluarga mendidik anak-anaknya, oleh karena itu antara keluarga dengan masyarakat terjadi suatu interaksi yang terus menerus. Dengan berkembangnya masyarakat dan makin rumitnya hubungan sosial, terjadi diferensiasi dan spesialisasi peran, akibatnya banyak kegiatan yang tadinya ditangani secara keseluruhan oleh keluarga memperoleh penanganan yang independen di luar keluarga. Hal ini nampaknya berlaku dalam kaitannya dengan berkembangnya lembaga pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. (Faisal,tt:107-110)

Kondisi tersebut mendorong pada makin kuatnya ketergantungan keluarga dan masyarakat pada lembaga pendidikan tersebut, sehingga perbincangan mengenai pendidikan cenderung selalu mengacu pada persekolahan, hal ini secara tersirat menunjukan makin kurangnya perhatian masyarakat akan arti pentingnya pendidikan di luar persekolahan, ini sebagai akibat perubahan-perubahan dalam kehidupan manusia sebagaimana dikemukakan oleh Ma’ruf Zurayk (1996:21) dalam pernyataan berikut :

”pada masa sekarang ini, pengaruh keluarga mulai melemah dikarenakan perubahan sosial, politik, dan budaya yang terjadi. Keadaan ini memiliki andil yang besar terhadap terbebasnya anak dari kekuasaan orang tua. Keluarga telah kehilangan fungsinya dalam pendidikan”

Kondisi ini jelas memerlukan perhatian yang serius dari masyarakat dan pakar pendidikan agar pembangunan pendidikan menjadi suatu yang komprehensif dan terbadu dalam konteks sosial budaya masyarakat dimana pendidikan itu terjadi. Dalam hubungan ini, upaya penguatan pendidikan di keluarga menjadi suatu yang penting bila mengingat kondisi pendidikan sekarang ini dimana perhatian pakar pendidikan dan pemerintah kurang terhadap lingkungan pendidikan ini, sehingga cenderung dibiarkan berjalan secara alamiah. Bila hal ini terjadi, maka tujuan pendidikan sebagaimana yang menjadi komitmen bangsa akan sulit untuk dicapai, untuk itu diperlukan cara-cara melaksanakan penguatan keluarga dalam bidang pendidikan yang dapat meningkatkan kapabilitas keluarga/orang tua dalam berperan sebagai pendidik.

6. Penguatan Orang tua/keluarga sebagai pendidik

Upaya memperkuat kapabilitas keluarga dalam bidang pendidikan mengandung arti perlunya peningkatan kompetensi orang tua (suami istri) dalam melaksanakan peran pendidik dalam keluarga. Upaya ini tentu saja memerlukan dukungan baik dari masyarakat maupun pemerintah. Pada tahap awal suatu hal yang penting adalah perlunya melihat masyarakat sebagai suatu entitas pendidikan, bukan hanya sebagai entitas ekonomi maupun politik, sehingga perspektif pendidikan akan menjadi dasar bagi kondusifitas situasi untuk memperkuat keluarga sebagai pendidik (Family as educator). Uraian berikut akan mencoba memberi gambaran tentang cara yang mungkin dapat dikembangkan guna meningkatkan kapabilitas orang tua/keluarga sebagai pendidik.

(a). Perluasan peran kelembagaan formal yang ada

· Penguatan bagi calon Orang tua. Cara ini dapat dilakukan dengan memperluas peran Departemen Agama/KUA untuk tingkat Kecamatan dalam memberikan pembinaan kepada calon pengantin, isi pembinaan dapat diperluas dalam materinya, serta dilakukan secara lebih profesional (dalam arti menggunakan tenaga ahli yang memahami substansi materi) dengan materi pembinaan tidak hanya berkaitan dengan hukum dan akibat hukum dari suatu pernikahan, tapi juga diberikan materi-materi yang berkaitan dengan cara-cara mendidik anak, baik aspek psikologi pendidikan/psikologi perkembangan, maupun metodologi yang praktis dan mudah diterapkan dalam mendidik anak Dengan demikian ketika mereka mempunyai anak, pemahaman tentang pendidikan anak telah difahami dan diharapkan dapat dilaksanakan. Untuk lebih mengefektifkan pelaksanaannya, dapat dibentuk lembaga khusus Pendidikan calon ibu dan calon Bapak atau Pesantren calon ibu dan calon Bapak (di bawah manajemen Depag dan atau Dinas Pendidikan), dimana mereka yang mau menikah diwajibkan untuk mengikutinya.

· Penguatan bagi Orang tua. Bagi para orang tua yang sudah punya anak, Kegiatan ini dapat diperluas dengan pembinaan pada ibu yang sedang hamil. penguatan dapat dilakukan dengan memanfaatkan Majlis-majlis Taklim. Dalam hal ini para Kyai yang biasa menyelenggarakan pengajian rutin Mingguan atau Bulanan didorong untuk juga menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan anak. Namun karena cenderung para Kyai yang menyelenggara-kannya sebagian besar alumni Pesantren maka kepada mereka diperlukan pembinaan untuk meningkatkan pemahaman tentang materi-materi berkaitan dengan pendidikan anak. Dalam hal ini Departemen Agama/Dinas Pendidikan dapat berperan sebagai institusi yang memberikan pembekalan kepada para penyelenggara Majlis Taklim. Selain itu pemanfaatan kegiatan posyandu dapat dilakukan dengan memperluas cakupan kegiatannya dengan memasukan unsur penambahan pengetahuan tentang mendidik anak di dalamnya, berbarengan dengan penerangan berkaitan dengan masalah-masalah kesehatan, atau dinas pendidikan dan atau Departemen Agama menyelenggarakan secara khusus Posyandu Pendidikan, yang di dalamnya berisi kegiatan penerangan tentang mendidik anak serta konsultasi bagi masyarakat/keluarga yang menghadapi masalah berkaitan dengan pendidikan anak-anaknya.

(b). Pembentukan kelembagaan formal baru

Dalam cara/model ini, pemerintah mengangkat pamong/guru Keluarga dengan tugas membina orang tua (suami istri) dalam bidang Pendidikan anak, serta melakukan pemantauan berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan anaknya, dalam hal ini pamong keluarga juga berperan sebagai orang yang dapat memberikan saran/tempat konsultasi bagi para orang tua apabila menghadapi masalah dengan pendidikan anaknya, dan apabila anak-anak dari keluarga tersebut telah bersekolah, pamong keluarga juga berperan sebagai fihak yang membantu memberikan dukungan bagi keberhasilan anak dalam mengikuti pendidikan formal maupun nonformal. Model ini pernah dicobakan dalam Home-centered Family Education Project (Rossi dan Freeman, 1985:179) di Amerika, dimana Home Visitors mengunjungi keluarga untuk bekerjasama dengan para ibu menciptakan situasi kondusif bagi proses pendidikan/ pembelajaran, hubungan dengan keluarga dijalin terus serta melakukan monitoring dan evaluasi hasil/dampak pendidikan pada anak, anak yang ditangani berusia 0 tahun sampai dengan usia 4 tahun dengan titik berat pada perkembangan kognitif.

(c). Pemberdayaan SDM Pendidik di Masyarakat

Pemberdayaan SDM Pendidik yang ada di masyarakat dapat dilakukan dengan pemberian tugas tambahan bagi para Guru dan atau mereka yang mempunyai pemhaman dalam bidang pendidikan untuk ikut membina masalah Pendidikan keluarga dalam lingkungannya. Cara ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya dengan lembaga pendidikan dimana guru itu bekerja, dimana kegiatan tersebut punya nilai bagi pengembangan karir mereka, atau semata-mata didasarkan kepada penumbuhan tanggungjawab pribadi guru itu sendiri untuk berperan dalam membangun pendidikan dalam keluarga, sementara untuk yang bukan guru dasar utamanya adalah kesadarandan tanggungjawab sebagai warga masyarakat.

7. Beberapa kasus berkaitan dengan penguatan penguatan orang tua/keluarga sebagai pendidik

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia keluarga merupakan suatu tahapan kehidupan yang perlu dilalui oleh setiap orang, baik secara agama maupun budaya. Dalam konteks Islam, Suami erupakan kepala keluarga, ini berarti bahwa arah suatu keluarga banyak ditentukan oleh bagaimana suami melaksanakan perannya sebagai suami dan Bapa bagi anak-anaknya. Namun demikian disadari bahwa pendidik utama seorang anak adalah ibunya, hal ini karena interaksinya dengan anak sejak ahir cukup dominan sehingga pengaruhnya pada anak jelas akan lebih kuat dan lebih tertanam sejak awal kehidupan anak. Dengan kesadaran itu maka ada dikalangan masyarakat dimana suami dari pasangan keluarga awal mencoba memberikan penguatan dalam nilai-nilai agama pada istrinya melalui pengiriman istrinya pada Pondok Pesantren untuk mengikuti pendidikan dalam waktu tertentu, dengan harapan pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya selama mondok dapat menjadi dasar dalam pendidikan anaknya kelak. Berikut ini akan dikemukakan beberapa kasus berkaitan hal tersebut di atas.

· Seorang keluarga muda yang baru menikah menitipkan istrinya di Pondok Pesantren di Kabupaten Kuningan, pada saat/selama suaminya bekerja di Jakarta, suaminya biasanya bekerja selama satu bulan, kemudian pulang, dan berangkat lagi. Jika suami pulang sehari dua hari, Kyai Pesantren menyediakan kamar khusus untuk mereka berdua, namun bila tinggal di Kampung cukup lama, suaminya akan membawa pulang kerumah istrinya, baru kalau mau berangkat lagi kerja, suami tersebut membawa istrinya kembali ke Pondok Pesantren. Menurut Kyai Pondok Pesantren, selama tinggal di Pondok Istri/wanita yang dititipkan suaminya itu diajari kitab-kitab yang berkaitan dengan kehidupan suami istri seperti kitab Uqudulujain, di sampaing kitab-kitab fiqih yang sederhana dan aplikatif bagi pelaksanaan ibadah fardu a’in.

· Di Pondok Pesantren Kabupaten Kuningan, juga pernah dan bersedia menerima santri yang bersifat sementara. Kasus yang pernah terjadi adalah menerima seorang istri yang dititipkan suaminya. Suami wanita tersebut adalah seorang Supplier Obat-obatan yang suka berkeliling Indonesia sehingga sering meninggalkan rumah, meskipun bukan keluarga baru, namun mereka belum punya anak, si suami merasa khawatir jika istri di tinggal sendirian di rumah, sehingga menitipkannya pada Pondok Pesantren Al Anwar. Istri/wanita yang dititipkan tersebut di Pondok diajari mengaji Qur’an, karena kebetulan belum lancar, serta hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai Islam yang diharapkan dapat menjadi sikap dalam berperan sebagai keluarga

Dua kasus tersebut di atas, menunjukan bahwa, ada kesadaran pada sebagaian Suami sebagai Kepala Keluarga untuk menjadikan istri lebih baik dalam pemahaman dan penghayatan nilai-nilai agama, disamping menggambarkan bahwa pada dasarnya Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan nonformal dapat berperan dalam membangun pendidikan informal. Namun demikian karena basis Pondok Pesantren merupakan lembaga keagamaan, maka pembinaan lebih pada nilai-nilai yang perlu diterapkan, tapi bagaimana cara menerapkannya dalam mendidik anak jelas tidak mendapat sentuhan. Untuk itu upaya untuk memberikan pemahaman pada Kyai tentang metode mendidik anak amat diperlukan, bukan karena ada kasus seperti di atas, namun juga karena para santri mukim yang ada juga pada satu saat akan menjadi/membentuk suatu keluarga, dan pengetahuan tentang mendidik anak jelas akan bermanfaat.

8. Pendidikan dalam keluarga dan definisi pendidikan

Pendidikan yang terjadi dalam keluarga merupakan fondasi bagi perkembangan anak selanjutnya, interaksi orang tua dengan anak bisa berbentuk verbal dalam bentuk suatu keharusan untuk menjadi sikap/prilaku anak, ataupun berbentuk tindakan orang tua yang ditangkap dipersepsi anak sebagai sesuatu tindakan bermakna dalam konteks kehidupan keluarga, perkataan dan atau perbuatan/tindakan dan prilaku orang tua merupakan sesuatu yang dapat mempengaruhi sikap anak dengan intensitas yang berbeda-beda. Nilai-nilai dan sikap orang tua jelas mengacu pada pemahaman akan nilai-nilai agama dan budaya. Kondisi tersebut bisa merupakan suatu yang disadari dan terencana dalam benak orang tua maupun sebagai kondisi yang rutin tanpa kesadaran dan rencana, dan kondisi yang kedua ini justru merupakan kondisi yang sebagian terjadi dalam keluarga.

Menurut Buchori (1994a:8;1994b:13) terdapat dua peristiwa pendidikan yaitu yang disengaja dan terencana, dan yang tidak disengaja dan tidak direncanakan, pendidikan formal dan nonformal merupakan pendidik yang disengaja sehingga hal itu dapat dikatakan sebagai suatu upaya, sedang pendidikan informal (termasuk pendidikan di lingkungan keluarga) merupakan pendidikan yang tidak disengaja dan tak terencana sehingga lebih merupakan suatu kejadian/peristiwa. Dengan kerangka berfikir ini, maka perlu difikirkan untuk mengkaji kembali definisi pendidikan agar dapat mencakup pendidikan informal/keluarga.

Bila mengacu pada pengertian pendidikan dalam UU no 20/2003 tentang Sisdiknas, nampaknya banyak kegiatan dan interaksi dalam keluarga tidak dapat tercakup dalam pendidikan, padahal sebagaimana telah dikemukakan di atas, pendidikan dalam keluarga amat penting dan punya pengaruh bagi perkembangan anak dalam menjalani kehidupannya di masyarakat. Hal ini sudah tentu memerlukan kaian mendalam dari para pakar pendidikan, agar diperoleh suatu pandangan tentang pendidikan yang komprehensif, dan dengan pandangan yang demikian, kemudian dikembangkan ilmu pendidikan yang lebih sesuai dengan konteks sosial budaya masyarakat dan bangsa indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar