Rabu, 27 Mei 2009

Resume Buku

JUDUL BUKU : “POLITIK PENDIDIKAN”

PENGARANG : M.SIROZI, Ph.D.
-Ed.1,-2-Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007, 268 halaman


Nama : EKA NURSARI
No.reg : 8135070416
Prodi : Pendidikan Tata Niaga (reg’07)
Jurusan / Fakultas : Eko& Adm / Ekonomi


POLITIK PENDIDIKAN

I. Hubungan politik pendidikan
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik disetiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering disebut sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu negara. Lbih dari itu keduanya saling mengisi dan saling menunjang. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat disuatu negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik disuatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut.ada hubungan erat dan dinamis antara politik dan pendidikan disetiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuwan.
Plato mendemontrasikan dalam bukunya bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembaga-lembaga politik. Ia menjelaskan bahwa setiap budaya mempertahankan kontrol atas pendidikan di tangan kelompok elite yang secara terus-menerus menguasai kekuasaan politi, ekonomi, agama dan pendidika. Plato menggambarkan bahwa ada hubungan dinamis antara aktivitas pendidikan dan aktivitas politik. Albernethy dan Coombe mengungkapkan bahwa menurut mereka hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok, masalah pengangguran dan peranan politik kaum cendekia.
Penulis mencatat beberapa karakteristik kebijakan pendidikan pada pemerintah kolonial Belanda : kolonialistik, intelektualistik, heterogen, deskriminatif, dan self serving, diarahkan semata-mata karena kepentingan kolonialisme. Kebijakan pendidikan tersebut berdapak pada kehidupan masyarakat pada waktu itu, (1) yaitu menimbulkan konflik keagamaan antara kelompok muslim dan kelompok non-muslim; (2) menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara kelompok minoritas angkatan muda yang berasal dari kelas menengah ke atas dan kelompok kelompok angkatan Muda Indonesia yang berasal dari keluarga biasa;(3) menciptakan polarisasi sosial tanpa mempedulikan kemampuan kerja mereka; dan (4) menghambat perkembangan kaum pribumi.

Pendidikan dan sikap kelompok
Bertahan atau tidaknya sistem pendidikan tunggal dalam masyarakat pluralis umumnya tergantung pada dua hal, yakni sistem tersebut memberi kesempatanyang sama pada semua kelompok masyarakat, dan generasi muda mengalami behwa bwlajar bersama dapat mencairkan perbedaan-perbedaan sosial mereka. Kesempatan yang sama telah memungkinkan anak-anak negeri yang memiliki latar belakang sosial budaya berbeda-beda untuk belajar bersama san mencairkan perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi diantara mereka.

Pendidikan dan dunia kerja
Pendidikan dan dunia kerja memiliki hubungan yang sangat kompleks. Salah satu inovasipaling redikal yang disebabkan pendidikan adalah meningkatnya ambisis pribadi. Namun, tingkat pendidikan dan keterampilan yang tidak memadai sering kali membuat mereka gagal dan pemburuan mereka ke wilayah perkotaan sering berakhir dengan kekecewaan. Akibatnya semakin hari semakin banyak warga yang menyandang predikat pengangguran. Kelompom pengangguran ini sering menjasi”dinamit politik” yang dengan mudah dapat dipicu oleh kelompok-kelompok politik tertentu untuk mendapatkan keuntungan politik. Para buru sering kali menjadi elemen utama dalam berbagai unjuk raa politik. Hanya dengan sumber daya manusia yang terlatih dan kesempatan kerja yang memadai pemerintah dan birokrasinya dapt memenuhi tuntutan publik dan hanya publik yang terdidik yang dapat diminta turut serta bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa. Albernethy dan Coombe menulis sebagai berikut, ”suatu pemerintahan merefleksikan dan terkadang merusak pandangannya atas keyakinan politik. Sebagai fungsi pemerintahan, formulasi kebijakan secara esensial merupakan bagian dari proses politik, sebagai tuntutan publik terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan. Albernethy dan Coombe juga mencatat ada empat aspek kehidupan masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah, yaitu lapangan kerja, mobilitas sosial, ide-ide, dan sikap.Dalam kutipannya emnggambarkan tiga hal. Pertama, eratnya hubungan antara dunia pendidikan dengan dunia politik. Kedua, besarnya pengaruh hubungan tersebut terhadap tatanan kehidupan sosial masyarakat. Ketiga, besarnya peranan persekolahan modern dalam keruntuhan kolonialisme. Mereka juga menambahkan, inti persoalan adalah dari generas kegenerasi para pemimpin nasionalis adalah mereka yang mengennyam di sekolah-sekolah kolonial dan universitas-universitas metropolotan. Nilai-nilai , kosa kata dan metode-metode organisasi yang mereka contoh dari tradisi politik di Barat mereka terapkan dan sukses dalam jangka waktu lama untuk menyerang kolonial. Pada satu sisi, kebijakan politik pemerintah kolonial, politik etis, misalnya telah memperluas akses pendidikan bagi kaum pribumi, khususnya para aktivis nasionalis.

Format hubungan
Hubungan antara politik dan pendidikan dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda, sesuai karakteristik setting sosial politik di mana hubungan itu terjasi. . di banyak negara berkembang, di mana pengaruh modernisasi sangat kuat, pola hubungan pendidikan dan politik di negara-negara Barat. Dalam masyarakat modern pada umumnya, pendidikan adalah komoditi politik yang sangat penting. Proses dan lembaga-lembaga pendidikan memiliki aspek dan wajah politik yang banyak, serta memiliki beberapa fungsi pentingyang berdampak pada sistem politik, stabilitas dan prektek sehari-harinya. Dalam masyarakat modern pendidikanmerupakan wilayah tanggung jawab pemerintah yang besar. Pendidikan publik bersifat politis karena dikontrol oleh pemerintah dan memengaruhi kredibilitas pemerintah. Karena besarnya nuansa politik dari kebijakan-kebijakan pendidikan, maka berbagai faktor politis yang tidak ada hubunganya dengan pendidikan turut mrmpengaruhi bagaimana kontrol terhadap pendidikan dan bagaimana kebijakan-kebijakan pendidikan dibuat. Sebagai tanggung jawab pemerintah, pendidikan sering ”dipaksa” menyesuaikan diri dengan pola-pola administratif umum dan pola-pola yang berlaku. Akibaynya, pendidikan publik dibiayai dan dikontrol pemerintah seperti pemerintah mengkontrol dan membiayaai bidang-bidang lainnya, seperti pertanian, kesehatan atau pelayanan sosial. Jika politik dipahami sebagai ”politik kekuatan, kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan-keputusan otoratif tentang alokasi dan sumber daya dan nilai-nilai sosia.”(Harman,1974: 9), maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik. Semua lembaga pendidikan baik pemerintah maupun non pemerintah, dalam masyarakat-masyarakat tertentu tidak lepas dari bisnis pembuatan keputusan-keputusan yang disertai otoritas dan yang dapat diberlakukan. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam praktek kekuatan, kekuasaan, dan otoritas. Hal ini menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling memengaruhi.

Ide non-political school
Pemahaman tentang karakteristik hubungan antara politik dan pendidikan adalah satu prasyarat yang diperlukan untuk dapat untuk dapat memahami politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian akademik dan beberapa mitos yang mengitarinya. Thomas H.Eliot, menjelaskan logika pandangannya bahwa semua sistem sekolah telah ”dirusak oleh berbagai aspek politik yang masuk secara paksa, khusunya penggunaan petronase dalam pengangkatan (staf) dan penentuan kontrak-kontrak (kerja) dengan mengabaikan kemungkinan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak.” menurut Bailey dan Rosenthal, berkembangnya ide pemisahan antara pendidikan dan politik di Amerika dilatar belakangi oleh keinginan para praktisi pendidikan untuk mempertahankan otonomi profesional yang lebih besar bagi mereka, dan untuk melindungi kontinuitas program-program pendidikan mereka dari kepentingan para politisi dan pengaruh proses politik, seperti pemilihan umum. Harman mengidentifikasikan empat faktor utama yang memungkinkan munculnya keyakinan, pandangan dan sikap non-political school di Australia. Pertama, keyakinan tersebut mungkin bagian dari hasil konflik yang tajam antara gereja dan sekolah pada abad ke-19. kedua konflik tersebut memunculkan pandangan yang meluas bahwa politik sektarian tidak boleh mengganggu pendidikan dan bahwa sistem sekolah pemerintah dan penarikan bantuan dari sekolah-sekolah gereja harus terus berjalan. Ketiga, sistem pendidikan negeri yang sangat tersentralisasi mungkin telah menimbulkan keyakinan yang kuat dikalangan kepala sekolah dan guru-guru. Keempat, sala satu pandangan populer orang Australia bahwa politik adalah sesuatu yang cenderung kotor dan tidak begitu terhormat karena berkaitan tentang korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kurang baiknya gambaran tentang partai politik.

Hambatan ke depan
Dalam kampanye pemilu legislatif dan pemilu presiden, misalnya, pendidikan menjadi salah satu isu sentral dalam materi kampanye atau rumusan visi dan misi para kandidat. Dalam rangka memperingati hari pendidikan tanggal 2 Mei tahun 2005, guru-guru di berbagai daerah, baik guru tetap maupun guru bantu beramai-ramai turun ke jalan menuntut hak-hak mereka, suatu pemandangan yang tidak pernah terlihat pada masa orde baru. Untuk memahami persoalan pendidikan di tengah masyarakat tidak hanya diperlukan dasar pengalaman dan pengetahuan pendidikan, tetapi juga diperlukan pengetahuan aspek-aspek dan konteks politik dari persoalan-persoalan kependidikan tersebut.

Perkembangan Indonesia
Krisis yang terjadi saat ini sedang melanda bangsa ini (Indonesia) bersumber dari akumulasi keputusan-keputusan politik yang tidak tepat yang terjadi pada masa lalu. Kita tidak akan pernah bisa lari dari politik. Politik adalah realitas kehidupan. Persoalanya adalah bagaimana menangani para politisi yang buta politik. Memasuki politik keruang kelas adalah hal biasa, sistem pendidikan yang memandang politiksebagai sesuatu yang kotor membuat banyak orang tidak mau jadi politisi. Jika hal ini terus berlanjut Indonesia akan dipimpin oleh para pengamat politik. Dapat ditarik beberapa pemahaman, bahwa, pertama adanya kesadaran erat antara hubungan erat antara pendidikan dan politik. Kedua, adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. Ketiga, adanya kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang hubungan anatra politik dan pendidikan. Keempat, diperlukan pemahaman yang luas tentang politik. Kelima, pentingnya pendidikan kewarganegaraan. Dalam dua dekade terakhir, mamasuki abad ke-21 dan pemberlakuan otonomi daerah, lingkungan pendidikan di Indonesia mengalami beberapa perubahan. Perubahan tersebut ditandai paling tidak tiga kecenderungan utama. Pertama, terjadinya perubahan peranan pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan pendidikan. Kedua, semakin terfragmentasinya pendidikan, baik secara politik maupun dalam bentuk program. Ketiga, muncul kembalinya kepentingan-kepentingan non kependidikan, terutama dari wilayah bisnis dalam kependidikan. Hingga disini dikatakan meskipun ada kecenderungan pada sebagian masyarakat untuk memandang bahwa pendidikan dan politik terpisah dan tidak berkaitan, realitas membuktikan bahwa disemua masyarakat keduannya sangat terkait. Lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi-fungsi yang memiliki konsekuensi penting dalam sistem politik dan terhadap perilaku politik dalam bentuk yang berbeda-beda.

II. FUNGSI POLITIK INSTITUSI PENDIDIKAN

Institusi pendidikan sebagai alat kekuasaan
Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran terutama kurikulum dan bahan-bahan bacaanseringkali diarahkan pada kepentingan politik tertentu. Eliot menambahkan, bahwa suatu komponen penting pendidikan, kurikulum, misalnya dapat menjadi sosialisasi media politik. Menurutnya kurikulum di suatu bidang pendidikan memiliki tiga sumber utama. Pertama, pendapat kelompok profesional pendidikan sangat dipengaruhi oleh institusi-institusi pelatihann guru dan sering kali merefleksikan atau mengadaptasi ide individu-individu yang didewa0dewakan. Kedua, kebutuhan akan dana. Ketiga, akivitas kelompok-kelompok terpengaruh , seperti asosiasi-asosiasi industri , perserikatan dan beberapa organisasi kebangsaan yang memiliki semangat patriotik. Menurut Massialas, proses pembelajaran bisa bersifat kognitif(misalnya mendapatkan pendidikan dasar tentang suatu sistem), bisa bersifat afektif ( mengetahui sikap-sikap positif dan negatif terhadap penguasa atau simbol-simbol ), bisa bersifat evaluatif (misalnya, menilai peran-peran politik berdasarka standar tertentu), atau bisa bersifat motivatif (misalnya, penanaman rasa ingin berpartisipasi). Sebagian besar unsur-unsur pembelajaran tersebut dapet dirancang dan diarahkan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan politik tertentu. Dibanyak negara totaliter dan negara berkembang, pemimpin politik sangat menyadari fungsi pendidikan dalam mencapau tujuan-tujuan politik. Mereka malakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem pendidikan dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode atau bahan ajar pendidikan. Di negara-negara komunis misalnya, metode brin washing digunakan secara luas untuk membentuk pola pikir kaum muda, agar sejalan dengan doktrin komunisme.

Sosialisasi politik atau politisasi
Salah satu jalan yang menghubungkan sekolah dan politik, kata massialas adalah melalui sosialisasi politik anak-anak dan para pemuda. Sekolah dengan berbagai perangkatnya, yaitu kurikulum, buku-buku teks, metode pengajaran dan organisasi-organisasi yang ada dilingkungan kelas, siswa, guru, struktur administrasi dan lain-lainnya., bisa saja secara ekplisit dan emplisit terkait dengan transmisi orientasi dasar terhadap lingkungan. Orientasi dasar, menurutnya terbentuk pada usia sangat dini. Dalam kultur politik paroki, biasanya rakyat kurang memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mengubah situasi politik. Mereka kurang berusaha mengubah pemerintah dengan usaha mereka sendiri. Pada bangsa-bangsa seperti ini, warga negara tidak berharap apapun dari sistem politik. Mereka cenderung nrimo, pasif dan apatis. Selain pada tingkat nasional, sosialisasi politik juga dapat berlangsung pada tingkat internasional. Pada tingkat ini sosialisasi politik memiliki dua pengertian. Pertama, istilah ini merujuk pada proses transmisi pengetahuan tentang dan sikap tergadap komusitas internasional. Kedua, istilah sosialisasi politik internasional merujuk pada proses transmisi orientasi politik diberbagai negara.

Orientasi dasar politik
Orientasi dasar politik menurut Easton, mencakup tiga elemen utama. Pertama, objek politik atau kesan yang dipersepsikan. Karena kita tidak dapat bertindak dalam kevakuman, maka manakala kita melakukan tindakan politik kita harus mangarahkan diri kita pada objek politik tertentu. Kedua, nilai-nilai atau kesan-kesan yang yang diinginkan. Mengetahui kesan yang didinginkan sama halnya dengan pencarian suatu aspek sistem kepercayaan dalam sistem politik. Ketiga, sikap politik. Anggota-anggota dari suatu sistem memperlihatkan beragam sikap dalam objek-objek politik.
Guru-guru adalah kelompok politik yang sangat signifigan, selain karena partisipasi langsung mereka dalam politik., juga karena posisi mereka sebagai penghubung komunikasi antara kelompok politik modern. Melalui guru-guru ide tentang nasionalisme ditransmisi dari pemimpin politik kepada pers.

Civic education
Studi studi politik pendidikan dapat diarahkan pada wilayah permasalahahan (problem areas)yang cukup luas .Dan yang tidak kalah pentingnya ,para ilmuan pendidikan juga akan mampu membandingkan efek pendidikan terhadapilmu pengetahuan ,nilai dan sikap individu dengan tujuan -tujuan yang diartikulasikan dalam filsafat pendidikan dimana sistem pendidikan sistem pendidikan mereka jalankan. Institusi pendidikan walaupun pada dasarnya didesain untuk menjalankan fungsi-fungsi pendidikan semata, dalam perkembangannya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu, baik disadari maupun tidak disadari oleh para pengelolanya,. Ada tiga alasan untuk hal ini. Pertama, karena keberadaan dan perkembangan institusi pendidikan tidak lepas dari dinamika sosial politik masyarakat lingkungannya. Kedua, karena kuatnya kecenderungan para politisi untuk mengekploitasikan peran institusi pendidikan untuk kepentingan politik mereka. Ketiga, karena para pengelola sekolah pada dasarnya adalah juga adalah para politisi yang senantiasa di hadapkan pada dinamika internal maupun eksternal.

III. KONTROL NEGARA TERHADAP PENDIDIKAN

Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan bahwa semua pihsk memandang pendidikan sebagai wilayah strategis bagi kehidupan manusia, sehingga program-program dan proses yang ada didalamnya dapat dirancang, diatur dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatkan output yang diinginkan. Inilah salah satu alasan mengapa banyak orangtua yang sanggup mengorbankan harta mereka yang berharga untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka . banyak negara yang menempuh segala cara, untuk terus mengontrol berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan yang berkembang dalam masyarakatnya. Memperketas birokrasi, memperbanyak perundang-undangan, mendikte kurikulum, menerapkan sistem akreditasi, dan membuat skema subsidi merupakan beberapa cara yang sering digunakan oleh suatu negara dalam upaya mengontrol aktivitas pendidikan masyarakat.

Negara dan perangkatnya
Ada sebagian anggota masyarakat yang cendrung mengidentikan negara dengan pemerintah, padahal tidak demikian halnya. Negara terdiri dari berbagai institusi yang masing-masing memiliki funsi dan peran tersendiri dalam tatanan kehidupan kenegaraan. Semua institusi negara memiliki keterikatan dengan publik.. dalam menjalankan peranannya, berbagai institusi negara baik pada tingkat lokal maupun nasional, didanai oleh publik. Setiap aktivis negara selalu disertai oleh kepentingan-kepentingan kelompok penguasa. Mengembangkan satu sistem pendidikan adalah salah satu langkah penting yang diambil oleh negara-negara modern sebagai upaya untuk dapat mengontrol dan keluar dari bisnis motivasi tersebut. Dengan mengemban nilai-nilai, ideologi dan kepentingan-kepentingan negara,banyak sistem pendidikan telah memberikan kontribusi yang signifigan pada negara dalam upayanya mengatasi krisis motivasi tersebut.

Kontrol terhadap pendidikan
Kontrol negara terhadap pendidikan, umumnya dilakukan melalui empat cara. Pertama, sistem pendidikan diatur secara legal. Kedua, sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas. Ketiga, penerapan wajib pendidikan. Keempat, reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung di sekolah berlangsung dalam konteks politik tertentu.
Dale mencatat setidaknya ada tiga problem pokok yang selalu ada dalam agenda pendidikan, yaitu; (1) dukungan langsung terhadap proses akumulasi kapital;(2)memberikan konteks sosial lebih luas yang tidak saling bertentangan dengan akumulasi kapital yang berlangsung terus-menerus; (3) legitimasi kegiatan negatradan sistem pendidikan. Krisis yang dihadapi oleh negara secara langsung dan vital mempengaruhi sistem pendidikan karena sistem pendidikan :
menyediakan tenaga kerja terlatih dan menghasilkan pengetahuan teknis untuk sistem ekonomi
adalah mekanisme yang nyaman, yang dapat digunakan oleh negara untuk mendemontrasikan kontrol rasional terhadap kejadian-kejadian ekonomi melalui perencanaan tenaga kerja dan rasio pengeluaran pribadi dan publik
adalah agensi penting sosialisasi dalam rangka melegitimasi tatanan ekonomi dan politik
adalah krusial dalam pengembangan motivasi dan komitmen di kalangan generasi muda.

Mengutip David Hogan, Apple menulis; ”terlalu banyak orang , termasuk banyak dari kalangan kiri, telah mengabaikan pentingnya pendidikan sebagai kondisi bagi aktivitas politik lain dan telah mengabaikan pertarungan yang telah dan dapat menentukan isi, bentuk, tujuan-tujuan pendidikan.
Selain merefleksikan ideologi pendidikan para penguasa negara, berbagai laporan dan peraturan kependidikan yang dibuat oleh negara juga merefleksikan jalur, bentuk dan skala kontrol negara terhadap dunia pendidikan. Wirt mencatat tujuh skala kontrol negara terhadap pendidikan, yaitu ; tidak ada otoritas negara (1) ; otonomi lokal yang permisif (2) ; otonomi lokal yang dituntut (3) ; banyaknya opsi lokal yang ditentukan melalui persyaratan yang ditentukan oleh negara (4) ; opsi lokal terbatas yang ditentukan oleh negara (5) ; tidak ada opsi lokal di bawah persyaratan yang ditentukan oleh negara (6) dan asumsi negara secara total (7). Menurut Kirst dan Wirt, peranan negara dalam pendidikan dapat dilihat melalui aspek-aspek, antara lain administrasi bantuan dana ditingkat pusat, keuangan pendidikan, persyaratan bagi akuntabilitas pendidikan, spesifikasi dan program untuk anak-anak cacat, dan upaya-upaya untuk menstimulasi eksperimentasi dan inovasi. Analisis berbagai persoalan kenegaraan akan berimplikasi terhadap pendidikan. Menurut pengamatan Dale, ada tiga implikasi utama analisis negara terhadap pendidikan.
sistem pendidikan tidak bisa diharapkan tetap kebal terhadap politisi yang terus meningkat dalam berbagai wilayah kehidupan yang terjadi melalui intervensi negara yang lebih besar. Tempat duduk dan rentang kontrol terhadap pendidikan juga dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi terhadap negara.
sebagamana perangkat lainnya, sistem pendidikan dapat mencegah timbulnya masalah dengan menyajikan nilai, pendidikan dapat terus memenuhi janji-janji yang secara ekplisit maupun emplisit diberikan kepada publik, dan untuk melayani harapan-harapan yang diberikannya.
sistem pendidikan diharapkan memberikan kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan legitimasi, politik dan ekonomi negara, dan pada setiap jenjang pendidikan, sebagaimana juga di dalam negara secara keseluruhan, tidak ada solusi terus-menerus bagi problematika tersebut.

Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program pendidikan tidak mungkin berhasil jika hanya dilakukan dengan menjelaskan makna, manfaat dan tujuan pendidikan. Masyarakat harus dikenalkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatu dunia pendidikandan dibiasakan untuk sensitif dan kritis terhadap berbagai peraturan perundang-undangan tersebut.

Pendidikan sebagai fungsi negara
Dengan kontrol yang kuat terhadap kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik pendidikan, maka tidaklah sulit bagi negara untuk memposisikan pendidikan sebagai fungsi negara. Dalam konteks ini menurut Albernethy dan Coombe, politik dapat dipahami melalui tiga pengertian. Pertama, politik adalah berbagai aktifitas yang terfokus pada perebutan dan penggunaan kekuasaan melalui kontrol terhadap berbagai institusi pemerintah. Kedua, politik adalah berbagai aktifitas di mana isu-isu publik didiskusikan dan berbagai tuntutan terhadap pemerintah dieksresikan, melalui partai-partai, kelompok penekan, gerakan-gerakan atau individu-individu penguat. Ketiga, politik adalahaksi-aksi dari berbagai institusi formal pemerintah yang menetapkan, menginterprestasikan dan menerapkan hukum melalui birokrasi.Untuk memahami pendidikan sebagai fungsi negara diperlukan pengenalan terhadap berbagai tuntutan yang saling bertentangan dan ditetapkan padany. Namun yang terpenting tentu saja, diperlukan pemahaman apa itu negara. Menurut Dale, negara adalah seperangkat institusi yang didanai oleh publik yang belum tentu harmonis, baik secara terpisah maupun kolektif, yang dihadapkan pada berbagai problem mendasar yang muncul dari hubungannya dengan kapitalisme, dengan satu cabang, pemerintah yang bertanggung jawab memastikan bahwa problem-problem tersebut sering menjasi agenda penting bagi negara.
Dengan berbagai perangkat yang dimilikinya dan potensi konflik internal yang selalu ada antara berbagai perangkat tersebut, maka pola, skala, dan mekanisme kontrol negara terhadap pendidikan sering kali berubah, bervariasi dan berkontradiksi, seiring dengan dinamika internal yang ada dalam negara.

Pendidikan dan kontrol sosial
Tugas pendidikan untuk memulai perubahan gradual menuju tradisi demokrasi yang lebih sempurna. Keyakinan tersebut berdasarkan suatu klaim bahwa pendidikan dapat melakukan identifikasi, penanaman dan promosi bakat-bakat dari latar belekang sosial, rasial atau agama apapun. Alih-alih menjadi pusat pencerahan dan intelektualisasi sekolah-sekolah justru menjadi pusat indoktrinasi. Kandungan dari kurikulum pembelajaran terus mangalami perubahan, bukan hanya merespon perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan tantangan baru, tetapi dalam rangka menjawab tuntutan-tuntutan tertentu dari negara terhadap peran politik sekolah-sekolah..

III. PROSPEK KAJIAN POLITIK PENDIDIKAN

Sebagai suatu bidang kajian yang relatif baru dan merupakan pengembangan dari bidang kajian yang telah mapan, yaitu kajian politik dan kajian pendidikan sebagai suatu bidang kajian yang banyak dipertanyakan, baik oleh para sarjana ilmu politik maupun oleh para sarjana ilmu pendidikan. Para peminat kajian politik pendidikan juga memilikimperspektif relatif yang berbeda entang fokus dan orientasi kajian mereka.karena itu untuk mendiskusikan signifikansi, relevansii dan prospek kajian politik pendidikan.

Wacana politik pendidikan
Menurut Archer, politik pendidikan harus dibedakan dengan politik kependidikan. Politik pendidikan menjelaskan aspek-aspek politik dari pendidikan. Politik kependidikan adalah upaya-upaya sadar dan terorganisasiuntuk mempengaruhi input, proses dan autput pendidikan, baik melalui legislasi, kelompok penekan atau aksi kelompok, eksperimentasi, investasi pribadi, transaksi lokal, inovasi internal atau propaganda. Dalam praktekny, politik pendidikan terimplementasi dalam tiga jenis negoisasi yang berbeda-beda, yang terjadi antara berbagai kelompok. Ketiga jenis negoisasi tersebut bersifat universal dalam sistem pendidikan disuatu negara walaupun signifikasinya berbeda-beda dari suatu sistem kesistem lain. Negoisasi jenis pertama adalah inisiasi internal. Negoisasi jenis ini melibatkan pengenalan dari dalam sistem oleh para personil pendidikan, mungkin dalan kaitanya dengan peserta didik.
Negoisasi jenis kedua, adalah transaksi eksternal. Transaksi ini meliputi hubungan antara kelompok penekan internal dan kelompok penekan eksternal.transaksi ini biasanya dipicu oleh unsur-unsur di luar pendidikan,oleh kelompok-kelompok yang menghendaki pelayanan pendidikan tambahan atau baru. Transaksi eksternal adalah suatu bentuk negoisasi yang hanya terbuka bagi kelompok yang memiliki sumber daya yang cukup.transaksi eksternal dan internal melibatkan relasi antara pendidikan dan bagian-bagian dari stuktur sosial yang agak terbatas.
Negoisasi bentuk ketiga adalah manipulasi politik. Bentuk ketiga ini adalah lahan penting bagi mereka yang tidak punya cara lain untuk memuaskan tuntutan pendidikan mereka, walaupun ternyata mereka kurang berhasil mamanipulasi mesin politik. Inilah tentunya yang mendorong berbagai jenis kelompok yang populer untuk menggunakan saluran politik apabila tidak tersedia jalur alternatif.
Dale mengungkapkan tiga ciri utama studi pendidikan, yaitu (1) mempertanyakan proses pembuatan keputusan,(2) mereduksi politik menjadiadministrasi, (3) terfokus pada perangkat kerja.
Menurut Kimbrough, politik pendidikan adalah proses pembuatan keputusan-keputusan penting dan mendasar dalam bidang pendidikan di tingkat lokal maupun nasional. Pada dasarnya pendidikan publik adalah para politisi manakala mereka menuntut keputusan melalui proses politik.

Perkembangan kajian politik pendidikan
Kirst dan Mosher menambahkan bahwa kajian policy-science menyajikan sesuatu yang berbeda, karena kajian ini menyajikan tiga isu, yakni : afek alokatif dari aspek-aspek politik-siapa mendpatkan apa, kapan dan bagaimana; situasi educational-political system yang sedang berjalan dan perubahan karakteristik dari waktu ke waktu; efektifitas sistem dalam mencapai tujuan yang diharapkan dalam mencapai kebijakan seperti inovasi, bertambahnya dukungan fiskal, partisipasi masyarakat dan sebagainya.

Minat kajian politik pendidikan
Meskipun keterkaitan politik dan pendidikan meiliki sejarah yang panjang, secara umum dapat dikatakan bahwa perhatian para ilmuwan politik terhadap persoalan-persoalan kependidikan dan perhatian para ilmuwan terhadap aspek-aspek penddikan bergerak sangat lamban. Menurut Albernethy dan Coombe, signifikansi politik pendidikan meningkat seiring dengan perubahan sosial ekonomi. Namun demikian, interaksi antara pendidikan dan proses serta lembaga politik (terutama antara politik dan pendidikan formal), dan nilai penting interelasi ini juga tergantung pada beberapa variabel termasuk komitmen pemerintah pusat dalam penyediaan fasilitas pendidikan publik dan dalam menjalankan kontrol terhadap lembaga-lembaga pendidikan, jumlah belanja publik untuk pendidikan, struktur perkembangan sistem dan lembaga kependidikan, sikap-sikap komunitas terhadap pendidikan, harapan dan tuntutan pada pendidikan formal, tujuan lembaga-lembaga pendidikan formal dalam pandangan para administrator pendidikan dan guru-guru, dan materi serta penekanan aktivitas belajar. Faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan dalam menjelaskan nilai penting interaksi pendidikan dan politik.
Easton memberikan dua alasan tentang permasalahan politik pendidikan. Pertama, adanya peningkatan spesialisasi disiplin keilmuwan dan penelitian dalam ilmu-ilmu politik.. para ilmuwan politik cenderung bahwa melaksanakan studi-studi tentang peranan pendidikan adalah tugas para ilmuwan pendidikan, bukan tugas mereka. Kedua, karena hingga akhir tahun 1950-an para ilmuwan politik erlalu banyak memperhatikan persoalan-persoalan kekuasaan atau teori politik normatif. Adapun menurut Harman, tidak tertariknya ilmuwan politik pada persoalan pendidikan disebabkan oleh empat hal. Pertama, karena terlalu banyak mereka terlibat studi tentang institusi-institusi formal pemerintah dan politik nasional dan internasional. Kedua, karena status profesional dan intelektual pendidikan yang rendah. Ketiga, kurangnya perdebatan yang serius tentang kebijakan pendidikan. Keempat, karena adanya kepercayaan didalam masyarakat bahwa pendidikan harus dikeluarkan dari politik.
Dalam disiplin ilmu pendidikan salah satu alasan kurangnya minat terhadap politik pendidikan adalah karena para peneliti peneliti pendidikan tidak tertarik pada penyelenggaraan kegiatan persekolahan dalam konteks sosial yang lebih luas.
Mitcheell menambahkan, pendidikan adalah kunci utama kemajuan masyarakat, bukan suatu pelayanan yang diberikan untuk merespon kepentingan masyarakat atau keluarga. Berdasarkan catatan Mitcheell, menginginkan dibuangnya politik dari proses pendidikan agar tidak ada intervensi terhadap perkembangan sistem bisnis. Pada tahun 1950-an dan 60-an, di Amerika muncul empat peristiwa yang terkait dengan kepentingan nasional dan mengubah politik sekolah. Empat kejadian ini menurut Mitcheell, secara bersama-sama mengikis reformasi urban, pendidikan progresif, dan scientific management anti politik yang telah mendominasi kebijakan pendidikan selama setengah abad. Mitcheell mencatat lima perubahan besar pada era memasuki akhir tahun 1950-an, yaitu berkembangnya pengaruh pengadilan dalam pelaksanaan sekolah, berkurangnya dukungan federasi bagi program dan kebijakan sekolah, internasionalisasi, restrukturisasi organisasi sekolah, dan restrukturisasi pengelolaan sekolah di tingkat lokal. Perdebatan –perdebatan pendidikan ternyata mengikuti kecenderungan tertentu berkaitan dengan konteks politik kultural jamannya. Pada awal abad dua puluh, Mitcheell mencatat, politik pendidikan dikontrol oleh tujuh keputusan penting, yaitu (1) produktivitas ekonomi atau sosialisasi civc;(2) otoritas sentralistik atau otonomi lokal; (3) sekolah sebagai budaya atau instrumen reformasi; (4) dikelola oleh birokrasi atau oleh komunitas profesional; (5) pilihan swasta atau kepentingan publik;(6) hak milik atau identitas budaya;(7) dan teknologi sebagai problem atau sebagai solusi.
Salah satu sebab menurunnya minat para ilmuwan politik terhadap masalah pendidikan, menurut Easton adalah bergesernya minat mereka dari kajian filosofis moral politik kekajian-kajian aspek-aspek empiris dari politik. Easton memperlihatkan bahwa sekolah memainkan beberapa fungsi politik penting dan membuktikan secara singkat peran sekolah sebagai agen sosialisasi politik. Memasuki tahun 1980-an, berdasarkan catatan Harmanpenelitian-penelitian berbagai aspek politik pendidikan dilaksanakan di jurusan ilmu politik dan ilmu pendidikandibanyak universitas dan pusat penelitian diseluruh dunia, terutama Amerika, Inggris, New Zealand, dan Australia. Hal ini ditandai dengan banyaknya universitas yang menyajikan mata kuliah politik pendidikan dab banyak jurusan ilmu-ilmu politik diberbagai universitas yang menyajikan perkuliahan politik pendidikan.perkembangan politik pendidikan sebagai bidang penelitian dan pengajaran adalah fenomena menarik, karena ada beberapa alasan. Pertama, hal itu menandakan perubahan fundamental yang telah dan terus terjadi dalam ilmu-ilmu politik dan studi pendidikan. Dalam ilmu politik, menurutnya, pertumbuhan minat pada masyarakat politik negara berkembang, juga telah mendorong peningkatan kesadaran tentang pentingnya pendidikan dalam sistem politik pada umumnya.selain itu, perkembangan minat dalam riset kebijakan telah mengarahkan perhatian pada pendidikan dan bidang kebijakan penting lainnya. Para sarjana pendidikan telah tertarik untuk mempelajari aspek-aspek politik dari pendidikan karena pesatnya pertumbuhan bidang administrasi pendidikan.mereka menyadari bagaimana sistem sekolah terstruktur dan dikontrol serta memiliki pengaruh penting terhadap apa yang terjadi di ruang kelas dan bagaimana sekolah-sekolah mampu menyesuaikan diri pada perubahan sosial dan menjadi agen perubahan. Perkembangan minat terhadap politik pendidikan dibanyak negara juga terkait dengan perkembangan perhatian publik dan kerusuhan tentang pendidikan dan problem tentang pendidikan terkait. Demonstrasi mahasiswa, keluhan terus menerus dari para orangtua tentang fasilitas pendidikan, perdebatan tentang bantuan keuangan negara terhadap sekolah-sekolah nonpemerintah, berkembangnya militansi dalam profesi keguruan, dan membengkaknya biaya pendidikan publik, semuanya telah memberikan kontribusi dalam menjadikan pendidikan menjadi isu besar dalam politik dan menarik perhatian ilmuwan politik dan para pendidik terhadap masalah-masalah pendidikan.

Fokus dan manfaat kajian
Sebagai suatu bidang akademik yang perkembangannya relatif baru, kajian politik pendidikan tertinggal jauh dari kajian bidang lainnya. Namun demikian harus diakui bahwa kajian politik pendidikan telah berkembang secara pesat, dengan dua fokus utama yaitu fungsi-fungsi politik pendidikan dan aspek-aspek pendidikan dari politik. Salah satu tugas kajian politik pendidikan menurut Easton adalah mengungkapkan cara-cara yang digunakan oleh kelompok-kelompok kependidikan dalam upaya mereka untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka dan untuk memaksimalkan alokasi dana dari pemerintah untuk mereka. Menurut Easton diantara berbagai institusi dan praktek yang secara signifikan mampengaruhi stabilitas dan transformasi sistem politik adalah pendidikan. Salah satu tujuan penelitian politik pendidikan ,menurutnya, adalah bagaimana signifikansi peran pendidikan dalam transformasi politik. Easton (1957: 309) menilai,adanya fakta bahwa beberapa aksi dari institusi –institusi ke pendidikan memengaruhi proses politik sudah cukup menjadi alasan untuk memasukkan aksi-aksi tersebut,paling tidak sebagianbagian dari sistem politik yang berlaku .bidang pengajaran ,kata Harman (1974 :1),politik pendidikan dapat membangkitkan minat para mahasiswa politik untuk mengkaji masalah kebijakan pendidikan dan keterkaitan antara pendidikan dan kehidupan politik .Ia percaya bahwa memahami hubungan antara pendidikan dan politik akan membawa kita pada suatu keyakinan bahwa berbagai proses dan lembaga pendidikan adalah elemen penting yang diperlukan dalam setiap upaya menjelaskan fenomena politik .Berbagai persoalan yang mencuat didunia pendidikan ,seperti unjuk rasa yang dilakukan oleh guru –guru dan mahasiswa serta perdebatan yang luas tentang berbagai isu pendidikan,seperti alokasi anggaran belanja negara dan daerah, otonomi lembaga pendidikan ,kenaikan gaji guru ,kenaikan biaya pendidikan dan kebijakan pada era otonomi daerah , tidak hanya membutuhkan pemahaman superficial tentang kontekspolitik di mana sekolah diselenggarakan ,tetapi juga membutuhkan pemahaman tentang proses-proses yang menghasilkan berbagai keputusan mendasar tentang pendidikan di semua jenjang administratif.

Problem Pengakuan
Pada masa awal perkembangannya, politik pendidikan menghadapai dua masalah yang terkait.Pertama ,mendapatkan pengakuan sebagai satu bidang kajian baik dalam ilmu politik maupun dalam ilmu pendidikan .Kedua perkembangan sense of identity dan community sesama sarjana yang terlibat dalam penelitian dan pengajaran bidang ini .salah satu penghambat bagi adanya pengakuan terhadapa keotentikan kajian politik pendidikan pada masa awal perkembangannya ,menurut Harman (1974) adalah konservatisme dikalangan ilmuwan .dari dua problem tersebut ,menurut Harman (1974:1920),problemkedua tampaknya lebih banyakmenghambat perkembangan politik pendidikan sebagai satu bidang kajian .problem pertama lebih mudah diatasi jika problem kedua teratasi .Banyak sarjana terlibat dalam penelitian tentang aspek-aspek dan fungsi-fungsi politik pendidikan masih belum memikirkan tentang politik pendidikan sebagai sebuah bidang kajian yang terpisah,dan tidak melihat diri mereka sebagai bagian dari komunitas sarjana yang terlibat dalam riset di bidang ini. Selain itu ilmuwan –ilmuwan politik yang terlibat dalam riset politik pendidikan sering menggunakan pendekatan.dan tujuan-tujuan yang berbeda dengan sarjana –sarjana pendidikan banyak di antara mereka ,misalnya ,melihat pendidikan hanya sebagai salah satu wilayah kebijakan publik utama di mana mereka dapat melanjutkan riset mereka tentang birokrasi ,kelompok penekan ,proses pengambilan kebijakan dan sebagainya. Di pihak lain , para mahasiswa pendidikan cenderung tertarik pada pencarian solusi terhadap persoalan-persoalan pendidikan yang aktual, atau pada upaya mamberikan pengertian-pengertian baru tentang lembaga-lembaga dan proses pendidikan. Dapat dipahami jika mereka terus berpikir dalam kerangka bidang kajian awal mereka dan sering melihat studi politik pendidikan yang mereka lakukan sebagai bagian atau suatu perluasan logis dari bidang kajian mereka sebelumnya. Di Amerika Serikat, misalnya, para sarjana yang meneliti politik sekolah-sekolah urban terkadang tidak melihat adanya kesamaan dengan mereka yang tertarik pada pengambilan kebijakan atau struktur politik yang ada kaitannya dengan pendidikan pada tingkat negara bagian dan federal, atau dengan mereka yang terlibat dalam riset survey tentang sikap-sikap politik anak-anak.

Tantangan ke depan
Setelah memahami masa perkembangan yang cukup berarti, hambatan-hambatan di atas berangsur-angsur dapat diatasi, namun demikian hambatan-hambatan baru terus bermunculan dan menghambat para guru dan administratur pendidikan untuk lebih mandalami aspek-aspek dan dimensi politik pendidikan dan menghambat upaya-upaya untuk memahami tekanan-tekanan dan realitas politik yang baru. Hambatan-hambatan baru tersebut menurut Harman,meliputi problem makna, kurangnya perspektif, keraguan terhadap penelitian sistematik, dan perasaan ketidakberdayaan profesional.

The Problem Of Meanings
ketika seorang administrator atau seorang guru berkata bahwa sebuah kebijakan pendidikan bersifat politik, dia mungkin mangira bahwa makna pernyataan ini cukup jelas, terutama jika pernyataan ini disampaikan para pendidik profesional lainnya. Tergantung pada persepsi si pembicara tentang apa itu politik, pada konteks tertentu pada partisipan yang terlibat dan juga pada audiens tertentu. Mengatakan bahwa suatu kebijakan bersifat politik bisa juga berarti bahwa seorang menteri atau pejabat tertentu membuat suatu keputusan dalam rangka meningkatkan kekuasaan atau pretise dirinya, atau suatu keputusan dibuat sebagai perhitungan pemerintah terhadap tuntutan dari suatu kelompok penekan yang kuat. Mengatakan bahwa suatu kebijakan bersifat politik bisa juga berarti bahwa kebijakan tersebut dibuat oleh pemerinah dalam rangka mendapatkan dukungan politik dari para pemilih atau dalam rangka memojokan pihak opsisi. Terlepas dari berbagai penggunaan diatas, para ilmuwan sosial menggunakan istilah politik dalam pengertian yang khusus atau teknis dan sering mendefinisikan politik secara lebih luas berkaitan dengan urusan kebijakan publik dan pemerintahaan, dan berkaitan dengan semua proses dalam masyarakat di mana terdapat kekuaasaan, pengaruh dan otoritas. Robert A.Dahl mengatakan, bahwa politik akan muncul ’manakala ada sekelompok orang hidup bersama dalam asosiasi, manakala mereka terlibat dalam konflik, dan manakala mereka terkait dengan kekuasaan, penguasaan dan otoritas.’

Kurang Perspektif
Ketika seorang pendidik berbicara bahwa sebuah kebijakan pendidikan bersifat politis, dan tidak mampu menjelaskan dari pernyataan tersebut, maka dia bisa saja menunjukan rasa frustasi atau bahkan sinisme. Harus dikatakan bahwa tanpa perspektif tentang berbagai persoalan tersebut akan sulit bagi para guru dan administrator pendidikan untuk memahami berbagai tampilan politik dalam pendidikan.dengan kata lain kurangnya perspektif tentang hubungan antara politik dan pendidikan akan menghambat pemahaman kita tentang unsur-unsur politik dalam dunia pendidikan.. para peneliti politik pendidikan menggunakan berbagai kerangka untuk memeta hubungan politik dan pendidikan. Dalam pandangan Harman, yang dimaksud dengan pendidikan dalam kajian politik pendidikan utamany, tatapi tidak eklusif, adalah pendidikan formal disemua jenjang, baik pada institusi pemerintah maupun pada institusi non pemerintah.adapun yang dimaksud politik dalam kajian politik pendidikan bukan hanya semua urusan-urusan pemerintah dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijakan publik dan partai-partai politik, tetapi juga semua proses sosial yang ada kaitanya dengan kekuasaan, pengaruh dan otoritas. Kaitan antara politik dan pendidikan menurut Harman, terjasi dalam empat cluster yang satu sama lain saling berhubungan:
pendidikan sebagai arena kebijakan publik dan aktivitas pemerintah
politik internal institusi dan sistem kependidikan
pengaruh proses dan institusi pendidikan terhadap perilaku dan kehidupan politik
proses dan institusi politik terhadap pendidikan

Keraguan tentang investigasi sistematik
hal ketiga yang menghambat pemahaman tentang hubungan antara politik dan pendidikan adalah keraguan tentang bisa tidaknya dilakukan investigasi sistematis dalam kajian politik pendidikan.hambatan ketiga ini tentang berkaitan dengan keraguan fisibilitas dan desirabilitas investigasi sistematik tentang perilaku dan proses politik dalam pendidikan. Hambatan ini sulit diatasi tetapi menurut Harman, apabila para pendidik menolak keputusan-keputusan karena dinilai bersifat politis, seringkali walaupun tidak sepenuhnya, mereka memperlihatkan keraguan apakah apakah perilaku dan proses politik dapat dieksplorasi secara sistematis dan sama halnya dengan kependidikan, mereka ragu apakah keputusan-keputusan yang ada merupakan tugas yang tepat bagi seorang pendidik atau para peneliti pendidikan. Harman yakin bahwa investigasi terhadap politik pendidikan tidak hanya diperlukan (desirable), tetapi layak juga untuk dijalankan (feasible). Dikatakan desirable karena peneliti politik pendidikan dapat memahami secara lebih baik berbagai konteks pekerjaan para pendidik, berbagai hambatan yang ada dan berbagai kemungkinan da cara untuk menangani dan mencapai perubahan. Dikatakan feasible karena peneliti politik pendidikan telah memiliki konsep-konsep, pendekatan dan metode penelitian. Harus diakui bahwa metode-metode penelitian tersebut relatif berbeda dengan metode-metode yang digunakan dalam penelitian empiris pendidikan tradisional. Pada pokoknya, tulis Harman, politik dalam institusi dan sistenmpendidikan adalah tentang kebijakan kandungan (content) kebijakan dan nilai-nilai yang ada di dalamnya; tentang bagaimana dan bila keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dan siapa yang berpartisipasi dalam keputusan-keputusan tersebut; dan tentang implementasi kebijakan. Kebijakan secara mendasar dapat dipandang sebagai ”suatu rangkaian aksi atau inaksi dalam rangka mencapai tujuan yang telah diharapkan dan dimaksudkan. Kebijakan mencakup apa yang sebenarnya dimaksudkan dan apa yang terjadi sebagai hasil dari suatu maksud”. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai ”sutu tuntunan (guide) untuk mengambil langkah-langkah ke depan dan untuk membuat keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan yang tepat dalam rangka mencapai tujuan-tujuan, dan sebagai perangkat solusi sustu masalah”. Harman menambahkan tiga hal yang perlu diperhatikan tentang kebijakan. Pertama, kebijakan tidak selalu dinyatakan; ada saatnya kebijakan tidak tertulis atau teridentifikasi secara jelas pada dokumen. Suatu kebijakan dapat diidentifikasikan misalnya, , dengan mereviu serangkaian keputusan yang telah dibuat dalam suatu bidang.selain itu, inaksi atau keputusan secara konsisten tidak melakukan aksi dapat juga menggambatkan kebijakan. Kedua, kebanyakan kebijakan cenderung bersifat perspektif sehingga memerlukan interpretasi. Kurangnya spesifikasi dalam maksud atau aksi sering memberi ruang untuk manuver bagi pihak pembuat kebijakan, dan terutama para administrator. Ketiga, banyak sarjana yang perlu mengelompokan kebijakan berdasarkan tingkatan dan jenis. Salah satu kategoro tersebut misalnya adalah antara kebijakan umum atau kebijakan dasar dan kebijakan administrstif. Kebijakan pertama mencakup keseluruhan dan mengidentifikasi keterkaitan berbagai tujuan. Mengingat begiu banyak aspek yang terlibat dalam dinamika suatu organisasi atau institusi yang dapat memengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengannya, maka untuk memahami latar belakang, karakteristik dan tujuan suatu kebijakan diperlukan kemampuan untuk memilah antara kebijakan dan konsep-konsep lain yang ada dan berlaku dalam suatu organisasi atau institusi. Kebijakan harus dibedakan dari konsep-konsep lain yang terkait, yang sering dipersamakan dengan kebijakan. Konsep-konsep tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. tujuan, yaitu tujuan akhir yang ingin dicapai. Tujuan itu sendiri biasanya tidak memberikan arah bagi pencapaiannya.
2. proposal, yaitu cara-cara khusus untuk mencapai tujuan
3. keputusan, yaitu tindakan spesifik yang dilakukan untuk merancang tujuan, mengembangkan perencanaan, mengimplementasikan dan mengevaluasi program.
4. efek, yaitu beberapa dampak dari program yang dapat diukur, baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan, baik yang primer maupun yang sekunder
5. hukum, peraturan, perangkat formal, atau ekspresi legal dari program dan keputusan-keputusan.

Rasa ketidakberdayaan profesional
Ketika seorang profesional pendidikan menilai suatu keputusan bersifat politis, bisa jadi perilaku ini muncul dari rasa frustasi dan ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan profesional dapat melahirkan hambatan baru. Para profesional bisa saja menjadi patah semangat, terganggu, frustasi; mereka tidak mampu bekerja sebagaimana apa yang menurut mereka harus mereka kerjakan karena sering kali keputusan-keputusan dibuat orang lain. Karena tidak dibuat oleh profesional atas landasan teknis, lalu keputusan tersebut dibuat oleh non profesional atas landasan politis. Dan reaksi dari sebagian profesional adalah membuat garis pemisah antara dunia profesionalisme dan dunia politik, dan menetapkan kegiatan mereka dalam wilayah profesionalisme. Bagi para profesional pendidikan, mengisolasi diri dari dunia politik adalah menyesatkan dan tidak menguntungkan. Menyesatkan karena domain profesionalisme dan politik tidak dapat dipisahkan begitu saja, dan dalam konteks apapun keputusan-keputusan tentang pendidikan jarang dibuat semata-mata atas dasar pertimbangan-pertimbangan teknis. Tidak mengunungkan karena input dari para profesioanal dalam proses kebijakan sangat diharapkan. Langkah-langkah penting untuk mengatasi hambatan-hambatan di atas adalah terus berupaya mengatasi liku-liku dan kompleksitas hubungan antara pendidikan dan politik . perkembangan kajian politik pendidikan ke depan akan banyak ditentukan oleh sejauh mana hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi.

Prospek Indonesia
Sangat sulit menemukan profram-program atau kebijakan-kebijakan kependidikan yang tidak dilatarbelakangi oleh interest politik, diboncengi oleh agenda politik tertentu atau terinspirasi keyakinan ideologis tertentu. Sangat sulit menemukan kebijakan-kebijakan dan sikap politik yang tidak bergandengan dengan agenda-agenda kependidikan. Manakala terjadi perkembangan positif pada aspek kependidikan, lambat atau cepat, nyata atau tidak nyata, langsung maupun tidak langsung, aspek-aspek kehidupan politik juga akan bergerak kearah positif. Sebaliknya manakala terjadi perkembangan negatif pada aspek kependidikan, aspek kehidupan politik juga akan mengalami hal yang sama.
Selain dapat dilihat dari kerangka kebijakannya, agenda-agenda politik dalam kebijakan pendidikan deskriminatif pemerintah kolonial Belanda juga dapat dilihat dari struktur kelembagaan pendidikan yang sangat sentralistik dan besarnya intervensi pemerintah kolonial dalam bidang pendidikan, khususnya dalam pengangkatan guru, penyusunan kurikulum, dan penentuan akses pendidikan. Begitu juga halnya dengan kebijakan politik etis yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu, sangat sarat dengan implikasi-implikasi kependidikan. Mengapa rezim orde baru yang begitu tiranik dan otoriter dapat bertahan begitu lama di negeri ini; mengapa korupsi, kolusi dan nepotisme begitu mambudaya; mengapa perilaku masyarakat begitu brutal; mengapa nilai-nilai demokrasi begitu sulit ditegakkan; mengapa supremasi hukum sulit dijalankan; dan mengapa etos kerja dan produktivitas masyarakat brgitu rendah? Semua pertanyaan ini tidak mungkin dijawab tanpa menempatkannya dalam konteks kependidikan, tanpa dikaitkan dengan situasi rill sistem pendidikan di tanah air. Sistem pendidikan sentralistis yang dikembangkan oleh rezim orde baru sangat tidak efisien dan birokratis. Hal ini memperlihatkan betapa erat kaitan antara pendidikan dan politik. Mengapa sebagian besar daerah di negeri ini tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang cukup dalam menyambut otomisas, mengapa alokai dana untuk sektor pendidikan begitu kecil,?, mengapa mutu pendidikan di negeri ini begitu rendah?, mengapa begitu sulit bagi daerah-daerah-daerah untuk tidak tergantung pada kebijakan pusat; mengapa begitu sulit bagi daerah-daerah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan pembangunan? Semua ini tidak mungkin di jawab jika tidak mengaitkannya dengan situasi pendidikan masyarakat. Pengalaman tersebut membuktikan bahwa aktifitas politik tidak hanya terjadi dalam organisasi-organisasi politik atau di gedung parlemen, tetapi juga terkait di sentra gedung masyarakat lainnya. Meskipun terpusat di gedung parlemen, berbagai aktifitas politik berdampak langsung terhadap kehidupan politik dalam berbagai bidang termasuk bidang pendidikan. Kepedulian dan komitmen terhadap persoalan-persoalan kependidikan dapat melambungkan popularitas seorang anggota parlemen atau satu partai politik. Begitu juga sebaliknya, kegagalan dalam menangani persoalan-persoalan kependidikan dapat membuat seorang anggota parlemen atau satu pertai terpuruk. Berbagai pengalaman telah memperlihatkan bahwa dalam ilmuwan pendidikan di negeri ini membutuhkan wawasan politik yang memadai untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan pendidikan yang ada. Begitu juga sebaliknya, para ilmuwan politik di negeri ini membutuhkan wawasan kependidikan untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan politik dengan baik kepada masyarakat. Pada konteks inilah kita pantas optimis bahwa pada masa-masa mendatang, kajian-kajian politik pendidikan akan semakin dibutuhkan sehingga kajian-kajian dalam bidang ini akan berkembang sangat pesat.

IV. PROBLEM METODOLOGI PENELITIAN POLITIK PENDIDIKAN

Tanpa penjelasan landasan metodologis yang memadai, ternyata sangat sulit bagi peminat kajian politik pendidikan untuk meyakinkan audiens mereka tentang relevansi, signifikansidan prospek perkembangan bidang kajian ini sehingga perdebatan metodologis terus berjalan berlarut-larut. Baik ilmu politik maupun ilmu pendidikan menurut Kirst dan Mosher tidak memberikan konsep-konsep yang jelas, yang sudah siap dan metode-metode yang telah teruji untuk studi politik pendidikan dan formulasi kebijakan. Ilmu politik, tegas merek, kurang memiliki kesepakatan tentang metode-metode dan tidak memiliki kerangka teori yang diterima secara luas. Selain itu adanya keterbatasan metodologis pada disiplin induknya, yaitu ilmu pendidikan dan ilmu politik. Perkembangan metodologis kajian politik pendidikan juga dipersulit oleh munculnya kecenderungan untuk memisahkan administrasi pendidikan dari politik pada awal 1900-an. Kirst dan Mosher menggambarkan keyakinan sebagai berikut, pendidikan adalah fungsi unik pemerintah yang harus memiliki struktur tersendiri yang bebas dari politik. Administrasi pendidikan tidak boleh terlibat dalam politik dan norma mereka seharusnya adalah norma profesional.

Perkembangan penelitian politik pendidikan
Sudah menjadi aksioma dalam ilmu-ilmu sosial bahwa institusi atau organisasi yang tertutup menghadapi kesulitan dalam melakukan koreksi diri secara obektif untuk reformasi dan pembaruan. Pada tingkat prakti, para ilmuwan sosial dari berbagai disiplin khususnya dari disiplin ilmu politik, memberikan stimulus dan signifikn terhadap penelitian kebijakan pendidikan. Tuntutan terhadap semua jenis pelayananpublik yang luar biasa setelah Perang Dunia II melahirkan kompetisi yang intens untuk dukungan fiskal sesama badan-badan pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan. Terperangkap dalam situasi yang serba sulit, para anggota legislatif di Amerika pada waktu itu tidak mau lagi menerima justifikasi dari para pendidik tentang kebutuhan mereka yang terus bertambah. Mereka mulai meminta dilakukannya evaluasi yang sungguh-sungguh terhadap hasil yang dicapai oleh sekolah dan membandingkan potensi kontribusi pendidikan secara luas dengan kebijakan kompetitif dan alternatif-alternatif fiskal seperti pelatihan sumber daya manusia, aksi komunitas, makanan dan pembayaran pajak. Perkembangan penelitian pada bidang kajian ini ternyata berkaitan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem politik yang berlaku, khususnya dari perubahan sistem politik yang tertutup ke sistem politik yang terbuka. Jika sistem politik yang tertutup membatasi aktivitas penelitian, sistem politik yang terbuka memberikan peluang lebih luas bagi aktivitas penelitian. Sebagaimana para peneliti pesan sponsor yang memerhatikan isu-isu administrasi, pengajaran, keuangan dan kurikulum, para mahasiswa pendidikan meneliti persoalan-persoalan yang menjadi kebutuhan mendesak atau penting bagi para administrator pendidikan. Pada akhir tahun 1960-an, peneliti politik pendidikan mendapat momentum perkembangan kerangka konseptual dan metodologi analisis. Perkembangan ini merupakan pengaruh Teori Perilaku Politik. Teori ini berpengaruh besar terhadap perkembangan penelitian politik pendidikan.

Survey dan studi kasus
Beberapa peneliti lebih banyak menggunakan pendekatan survei, di mana seperangkat variabel terbatas, yang umumnya rentan terhadap pengukuran angka, diisolasi dan diterima sebagai dari indikator dari konsep-konsep yang lebih umum. Variabel-variabel tersebut lalu dikaji dalam suatu populasi sampel yang besar dan representatif. Misalnya, ”belanja rata-rata tahunan untuk setiap peserta didik” adalah ukuran yang biasa digunakan untuk melihat suatu sekolah di daerah, dan
”jumlah pemilih yang memberi suara dalam pemilu” adalah ukuran yang digunakan untuk melihat tingkat perhatian masyarakat terhadap pelayanan publik. Tingkat hubungan antara semua ini, dan biasanya indikasi angka serupa, dihitung dijumlah sekolah yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Para peneliti lainnya lebih menyukai studi kasus, dimana semua karekateristik pendidikan olitik yang relevan dalam suatu masyaraka, institusi, kelompok kepentingan, atau serangkaian kejadian, dikaji secara mendalam. Studi kasus bisa jadi hanya terfokus pada satu periode kepemimpinan sekolah atau mencakup sistem pendidikan disuatu kota atau negara. Rosenthal, misalnya menggunakan studi dan teori awal untuk memilih empat kategori variabel bebas ( kemampuan organisasi, kesempatan organisasi, perilaku organisasi dan pengaruh organisasi) dan empat variabel terikat sebagai produk kebijakan (gaji personil, kurikulum, dan organisasi sekolah) untuk studinya untuk studinya tentang sembilan organisasi guru di lima kota. Sebagian besar teknik tersebut belum terbantahkan atas dasar para elite tersebut tidak bisa diidentifikasi hanya dengan peranan asosoasional atau status sosio ekonomi.

Analisis sistem dan studi politik
Karena semakin meningkatnya penggunaan analisis sistem dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya dalam ilmu politik, tidak mengherankan bahwa nilai potensialnya juga harus diteliti oleh para mahasiswa politik pendidikan. Model sistem dapat digunakan untuk mendorong kanvas yang lebih besar, gambaran yang menyeluruh dari suatu studi, tetapi merupakan suatu kepingan . Selain itu, analisis sistem memberikan cara untuk menata situasi yang komplek agar dapat dikelola untuk dianalisis, dan juga memunculkan pertanyaan-pertannyaan tentang aktor-aktor yang ada dalam sistem. Kaplain menambahkan, bahwa nasihat untuk ilmuwan politik yang menggunakan teori sistem untuk menyelesaikan suatu masalah, walaupun hal itu adalah metodologi yang tepat, yang akan membawanya pada kemajuan, tetapi tidak akan lebih jauh dari fisikawan yang menggunakan metode-metode sains. Sikap kritis dan kemampuan para peneliti dalam bidang kajian ini melakukan improvisasi telah turut memacu perkembangan metodologi perkembangan politik pendidikan. Harman selanjutnya mencatat enam ciri penting yang menandai pesatnya perkembangan penelitian politik pendidikan pada periode 1973 dan 1979. pertama, terjadinya peningkatan variasi dan pendekatan penelitian. Kedua, dimulainya kajian politik pendidikan untuk kasus-kasus di luar Amerika Serikat, seperti Australia, Inggris dan Canada. Ketiga, terjadinya perubahan penting dalam penekanan dan keseimbangan. Keempat, pesatnya proyek-proyek penelitian tingkat tinggi. Kelima, terjadinya perkembangan bangunan teori untuk penelitian empiris. Keenam, meskipun mengalami barbagai kemajuan, penelitian politik pendidikan pada periode 1973-1979 mengabaikan beberapa hal yang dinilai penting olehbeberapa sarjana. Telah banyak sarjana yang menjadikan politik pendidikan sebagai wilayah kajian mereka, atau mereka yang menilai politik pendidikansebagai suatu bidang kajian yang terpenting.

Beberapa problem
Harman manambahkan, bahwa problem serius yang dihadapi politik pendidikan adalah masih belum jelasnya wilayah, fokus dan batasan bidang kajian in, dan adanya kekhawatiran bahwa kajian ini tidak dapat mealhirkan konsep-konsep dan metodologi yang khas. Harman berpendapat bahwa perkembangan penelitian dalam suatu bidang kajian tergantung pada upaya para peneliti dalam bidang tersebut untuk ;(a) secara kritis meninjauhasil-hasil penelitian yang ada beserta jalur dan jenis penelitian yang telah diikuti.;(b) menangani problem metodologi, teoritik dan praktikal yang dihadapi oleh bidang kajian tersebut dan para sarjananya; dan (c) secara serius mendiskusikan prioritas-prioritas untuk penelitian ke depan.

Beberapa prioritas
Dalam rangka meminimalisasi berbagai problem metodologis yang ada dalam studi politik pendidikan, maka perlu dikembangkan prioritas-prioritas dalam bidang kajian in. Menurut Harman, ada enam prioritas yang mendesak untuk dilakukan. Pertama, studi dengan penekanan pada teori dan pengembangan teori. Kedua, melakukan studi komparatif. Keempat, membuat summary atau melakukan studi interpretatif. Keempat, melakukan studi dengan fokus utama pada tingkat makro. Kelima, melakukan studi pemerintah pusat dan pendidikan. Keenam, melakukan studi tentang persoalan di seputar kebijakan. Dengan memfokuskan kajian politik pendidikan pada enam prioritas sebagaimana disarankan oleh Harman di atas, selain memperkuat basis metodologis kajian-kajian mereka, para peminat kajian politik pendidikan juga dapat membuat konteks studi mereka lebih bervariasi dan mengembangkan dimensi-dimensi praktis dari hasil-hasil yang mereka capai, agar kajian politik pendidikan tidak berada di menara gading, tetapi benar-benar memberi kontribusi bagi upaya-upaya pengembangan sistem pendidikan.

Langkah ke depan
Meskipun penelitian dalam kajian politik pendidikan sudah cukup berkembang, masih diperlukan pengembangan dari analisis mikro ke analisis makro. Dibutuhkan kombinasi yang tepat antara pendekatan survei dan studi kasus. Di butuhkan juga satu peneliti bersama di mana beberapa politik pendidikan menggunakan agenda yang sama, sistem pelaporan yang sama dan satu perencanan penelitian . skema tersebut mungkin akan melahirkan temuan-temuan yang reliable secara simultan disemua tempat. Upayaupaya tersebut akan sangat terbantu jika didukung oleh teori-teori yang dipinjamkan dari disiplin ilmu. Disiplin ilmu pendidikan menurut Landau, disiplin politik pendidikan ditandai oleh tingkat informasi yang tinggi dan produk teoritik yang rendah. Pada masa-masa mendatang, ada beberapa fokus yang dapat dikembangkan dalam kajian politik pendidikan, yaitu menyangkut studi komparatif terhadap pengaruh negara, manajemen atau kontrol terhadap pendidikan, sejarah peraturan perundang-undangan pendidikan, studi banding atas negara-negara yang memikili pemerintah kesatuan, kontrol fiskal sentralistik dan sentralisasi kurikulum, dampak proses hukum terhadap pendidikan, hubungan antara kurikulum dan minat serta pelatihan guru dengan nilai-nilai politik masyarakat. Untuk konteks ke Indonesiaan, kajian politik pendidikan dapat dikembangkan dengan beberapa fokus yang berkaitan erat dengan perkembangan mutakhir kehidupan sosial dan politik di negeri ini, seperti aktivitas dan kultur politik mahasiswa, gerakan guru, otonomisasi dan desentralisasi pendidikan, anggaran pendidikan, otonomi kampu, manajemen keuangan perguruan tinggi, manajemen sekolah, akreditasi dan lain-lain. Para peminat kajian politik pendidikan si Indonesia perlu memprioritaskan kajian-kajian teoritik untuk mengembangkan dasar-dasar teori bagi kajian politik pendidikan, menggalakan studi komparatif cross-regional maupun cross-national, meninjau dan menganalisis hasil-hasil penelitian yang telah ada, dan mengembangkan studi-studi terhadap isu-isu pendidikan yang bersifat mikro maupun makro. Diera otonom pendidikan sekarang ini, perlu digalakkan studi tentang kebijakan, otoritas, dan peran kependidikan pemerintah pusat dan daerah, dan analisis tentang latar belakang, isi, aktor dan implementasi dan implikasi dari berbagai kebijakan pendidikan, baik yang dibuat untuk skala nasional naupun yang dibuat untuk skala nasional maupun yang dibuat untuk skala daerah.

V. SKETSA POLITIK PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH

Pendahuluan
Setiap perioe perkembangan pendidikan nasional adalah persoalan penting bagi suatu bangsa karena perkembangan tersebut memerlukan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknolog, karakteristik dan kesadaran politik yang banyak memengaruhi masa depan bangsa tersebut. Setiap periode perkembangan pendidikan adalah faktor politik dan kekuatan politik karena pada hakikatnya pendidikan adalah cerminan aspirasi, kepentingan dan tatanan kekuasaan kekuatan-kekuatan politik yang sedang berkuasa. Menurut kartono,”kebijakan perencanaan, atribut edukasi, pelaksanaa, tujuan pendidikan, relasi struktural dengan lembaga nonedukatif lai, pembiayaan, manajemen pendidikan, semua diputuskan berdasarkan konsensus dan keputusan politik pemerintah (yang nonedukatif sifatnya)”. Di negara otoriter, sistem pendidikan nasional cenderung manjadi sarana pengebirian hak-hak dan aspirasi politik rakyat. Akan tetapi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia akan menjadi sarana pembebasan dan emansipasi politik. Sketsa penyelenggaraan pendidikan di negeri ini dapat dapat dibagi menjadi enam periode perkembangan. Periode pertama, adalah periode awal atau periode prasejarah yang berlangsung hingga pertengahan tahun 1800-an. Periode kedua adalah periode kolonial. Periode ketiga adalah periode pendudukan Jepang. Periode keempat adalah periode orde lama yang berlangsung dari tahun 1945 hingga tahun 1966. periode kelima adalah periode orde baru yang berlangsung dari tahun 1967 hingga tahun 1998. periode keenam adalah periode reformasi yang dimulai pada tahun 1998, seiring dengan tumbangnya pemerintahan orde baru.

Tujuan
Dalam perspektif Pemerintahan Republik Indonesia ada dua tujuan utama kebijakan otonomi daerah. Pertama ”untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan mamperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Kesatuan Negara Indonesia”. Kedua, untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah. Adapun menurut Hidayat, ada tiga alasan strategis penerapan otonomi daerah. Pertama, untuk mengembangkan kesetaraan politik guna meningkatkan partisipasi politik masyarakat daerah dalam rangka demokratisasi dan penyelenggaraan pembanguna. Kedua, untuk meningkatkan akuntabilitas lokal dalam rangka meningkatkan komitmen dan tanggungjawab daerah. Ketiga, untuk menumbuhkan sikap responsip terhadap persoalan-persoalan lokal agar pemerintah daerahlebih sensitif dan respon akan masalah-masalah pemerintahan dan pembangunan di daera, sehingga dapat menjalankan program-program pembangunan sesuai dengan potensi, kebutuhan, aspirasi, tradisi dan kultur masing-masing daerah.

Tiga faktor penting
Perubahan ruang lingkup kewenangan, hak dan kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam kebijakan otda memunculkan tiga faktor penting dalam proses perumusa, implementasi, dan evaluasi kegiatan pemerintahan dalam berbagai bidang.
Faktor pertama adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Faktor kedua adalah pemerintah yang memiliki kewenangan lebih luas dalam berbagai bidang pemerintahan. Faktor penting ketiga dalam proses otonomi daerah adalah tersedianya sumber pendapatan yang dikuasai oleh pemerintah daerah dengan tetap memerlukan subsidi dari pemerintah pusat: ” kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah” dan sumber pendapatan daerah terdiri atas tiga sumber utama. Sumber pertama adalah pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari hasil pajak pemerintah daerah, hasil restribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Sumber kedua dana perimbangan yang terdiri atas dana bagi hasi, alokasi umum dan dana alokasi khusus. Sumber ketiga adalah lain-lain pendapatan daerah yang sa, yaitu seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan yang meliputi hibah, dana darura, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan pemerintah.

Aspek pendidikan otda
Komitmen bangsa Indonesia dengan pendidikan sangat jelas tercermin pada konstitusi negar, UUD 45 khususnya pasal 31, yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasa, dan pemerintah wajib membiayainya. Skema pembiayaan oleh pemerintah tersebut diatur dalam ayat 4 yang berbunyi: ”Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Lalu pada ayat 5 juga ditegaskan bahwa pemerintah harus memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kesatuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Landasan konstitusional inilah yang membuka peluang sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia untuk berbuat yang terbaik bagi sistem pendidikan nasionalnya melalui berbagai kebijakan dalam bidang pemerintah dan pembanguna, termasuk kebijakan otonomi daerah (otda). Dalam hal paradigma, penyelenggaraan pendidikan diharapkan lebih bersifat desentralistik, otonom dan partisipatif. Dalam hal manajemen, penyelenggaraan pendidikan nasional diharapkan lebih mudah diakses, profesional, bervariasi, efektif dan efisien, terarah, terpadu dan bermut. Dan dalam hal pembelajaran, penyelenggaraan pendidikan nasional diharapkan lebih relevan dengan potensi peserta didik, kebutuhan masyarakat dan tantangan kehidupan masyarakat era globalisasi.

Strategi
Semua harapan, tujuan, dan target pembangunan pendidikan diera otonomi daerah sebagaimana telah diuraikan di atas diharapkan terwujud melalui empat strategi pokok pembangunan pendidikan nasional sebagai mana diuraikan satu persatu berikut ini. Strategi pertama adalah peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan. Strategi kedua adalah peningkatan relevansi pendidikan dengan pembangunan. Strategi ketiga adalah peningkatan kualitas pendidikan. Strategi keempat adalah peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan.

Prospek
Aspek-aspek pendidikan era otonomi daerag sebagaimana diuraikan diatas menggambarkan kesadaran, komitmen dan tekat bangsa Indonesia untuk menjadikan era otda sebagai momentum peningkatan mutu pendidikan nasional, pemberdayaan lembaga-lembaga pendidikan sebagai instrumen peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam rangka keluar dari krisis multidimensi yang berkepanjangan dan peningkatan daya saing bangsa Indonesia untuk berkompeten diera global. Secara teoritis, kesadaran, komitmen, dan tekad tersebut cukup beralasan karena kebijakan aoatda membuka peluang bagi bangsa Indonesia untuk melakukan empat upaya meningkatkan mutu sistem pendidikan nasional. Pertama, otda membuka peluang bagi para perancang dan praktisi pendidikan untuk mengembangkan konteks lokal dalam program-program pendidikan, sehingga lebih relevan dengan potensi dan kebutuhan masyarakat lokal. Kedua, otda membuka peluang bagi para perancang dan praktisi pendidikan untuk mengembangkan sistem pendidikan yang terbuka terhadap berbagai model keberhasilan pendidikan disemua jalur, jenis dan jenjang dari manapun datangnya, di tingkat lokal, nasional dan internasional. Ketiga, otda membuka peluang bagi pemerintah dan masyarakat daerah untuk mengoptimalisasi peran institusi pendidikan dalam menunjang pembangunan daerah. Keempat, otda membuka peluang bagi para perancang dan praktisi pendidikan di daerah untuk mengembangkan ide dan eksperimen baru dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan.

Tugas dan kewajiban pemerintah
Sejalan dengan semangat demokrasi, berbagai kebijakan pengelolaan pendidikan di era otda menekankan sinergi dan keterpaduan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjalankan hak dan kewajiban masing-masing. Peran dan fungsi pemerintah daerah dalam pembangunan keunggulan lokal dalam dalam dunia pendidikan dan mengembangkan budaya ilmu pengetahuan di daerah benar-benar diperluas. Pemerintah daerah ”wajib merumuskan priooritas serta kerangka kebijakan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya. Pemerintah daerah harus mempertimbangkan masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta membentuk membentuk Dewan Riset yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi didaerahnya.

Partisipasi masyarakat
Ketidakmampuan pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan alokasi dana untuk sektor pendidikan diperburuk oleh rendahnya partisipasi masyarakat dalam pendanaan pendidikan. Dijelaskan pada pasal 55 UUSPN 2003, bahwa ”masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non-formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk masyarakat”. Dijelaskan pula bahwa ”penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan serta manajemen dan pendanaanya sesuai dengan standar nasional pendidikan”, pastisipasi masyarakat dalam pendidikan berbasis masyarakat meliputi partisipasi bidang pendanaan.

Perencanaan berbasis informasi
Sebelum diberlakukannya kebijakan otda, perencanaan berbagai aspek pembanguna, termasuk pendidikan bersifat sentralistik dan berbasis kekuasaan, dibuat berdasarkan kemauan, kepentingan dan pandangan para pemegang otoritas bidang pendidikan dan atau para perencana / ahli yang manut pada mereka sehingga sarat dengan vasted interests, kurang relevan dengan potensi dan kebutuhan rill masyarakat luas, serta kurang sejalan dengan kebutuhan pembangunan, khususnya pembangunan dalam bidang SDM. Selain menekankan pentingnya perencanaan, pola pelaksanaan kegiatan berbagai program pembangunan, termasuk pembangunan pendidikan era otda sangat menekankan perlunya perencanaan berbasis informasi. Berbagai perencanaan pengembangan program pendidikan diharapkan mengacu pada informasi akurat yang diperoleh melalui riset ilmiah, bukan pada kemauan atau kepentingan para pejabat. Informasi yang akurat tentang berbagai aspek keutuhan dan potensi pendidikan potensi masyarakat daerah hendaknya menjadi fondasi bagi semua jenis dan tindakan perancanaan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah daerah. Dalam prakteknya, penyusunan kebijakan pendidikan berbagai riset dapat dilakukan melalui dua model, yaitu model rasional dan politis. Menurut model rasional, kebijakan berbagai riset dibuat melalui tahapan kronolodis yang meliputi definisi masalah, klarifikasi nilai, perumusan tujuan jangka pendek dan jangka penjang, identifikasi pilihan-pilihan untuk mencapai tujuan, analisis biaya/manfaat, dan modifikasi program. Adapun menurut model politis, kebijakan berbasis riset dapat dikembangkan melalui tiga tahapan kerja, yaitu problem setting, mobilisasi struktru, dan penyelesaian dilema dan konflik nilai-nilai. Model apapun yang digunakan, proses penyusunan kebijakan pendidikan akan dipengaruhi oleh berbagai elemen, antara lain keputusan politik tentang nilai yang akan dialokasikan, determinasi rasional untuk melewati tahapan yang ada, struktur birokrasi, kejelasan tujuan, kompleksitas proses implementasi dan komitmen pada penyediaan sumber daya.

Catatan akhir
Kebijakan daerah membuka peluang bagi berkembangnya proses penyelenggaraan pendidikan nasional yang dinamis dan demokratis, sehingga membuka ruang politik yang lebar bagi berbagai kelompok kepentingan untuk mempresentasikan nilai-nilai atau kepentingan pendidikan mereka dalam berbagai kebijakan pendidikan., baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat. Ruang politik yang lebar membuat proses kebijakan pendidikan pada era otonomi daerah menjadi sangat dinamis dan rawan konflik, baik secara horizontal maupun vertikal. Konflik horizontal dapat terjadi dalam skala besar, seperti antara berbagai departemen yang terlihat langsung dalam pengelolaan pendidikan dan dapat juga terjasi dalam skala kecil, seperti antar provinsi, kabupaten / kota, atau antar sekolah. Konflik antar departemen misalnya dapat terjadi, antara departemen pendidikan nasional (depdignas) dan departemen agama (Depag) menyangkut pengelolaan pendanaan dan pengelolaan pesantren dan madrasah.
Secara vertikal, konflik pendidikan di era otonomi daerah dapat terjadi antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi, antara kepala sekolah dan guru-guru, dan antara pihak sekolah dan masyarakat. Sebagaimana konflik-konflik horizontal, konflik vertikal ini juga dapat dipicu oleh terjadinya benturan kepentingan dalam berbagai aspek penyelenggaraan pendidikan, seperti aspek padagogi, kurikulum organisasi dan evaluasi. Konflik vertikal dan horizontal menyangkut masalah pendidikan bisa terjadi pada tingkat instrumental berkaitan dengan akses dan sarana pendidikan, dan bisa juga terjadi pada tingkat ideologis, berkaitan dengan nilai-nilai dan ideologi pendidikan. Konflik-konflik pendidikan yang bersifat instrumrntal dapat diatasi melalui dialog, lobbying, konsensus dan kompromi politik. Namun konflik pendidikan yang bersifat ideologis lebih sulit diatasi dan dapat berkembang menjadi konflik sosial politik berskala besar, terutama jika konflik tersebut melibatkan unsur-unsur lain, seperti partai politik, aparat penegak hukum, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, dan organisasi profesi.

VI. ASPEK-ASPEK POLITIK DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Pendahuluan
Sejak awal kemerdekaan hingga tahun 2000 sistem pemerintah dan pembangunan dalam berbagai bidang termasuk bidang pendidikan, menggunakan paradigma sentralisasi, bahwa pemerintah pusat mendominasi proses perencanaan, evaluasi, dan evolusi kerja pemerintahan dan pembangunan. Pemerintah pusat menjadi pemain utama yang menentukan orientasi dan tujuan berbagai kebijakan pendidikan. Setelah mengalami krisis multidimensi yang sangat serius dan berkepanjangan, muncullah gerakan reformasi yang sangat kritis terhadap paradigma sentralisasi dan persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah dengan menerapkan paradigma desentralisasi dalam sitem pemerintahan dan pembangunan. Diyakini bahwa pola penerapan sentralistik telah membuat pola pemerintahan dan pembangunan berjalan kurang efektif san efisien, rawan kebocoran, menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan regional, memaksa keseragaman, mematikan potensi dan karakteristik daerah, menyulitkan pengawasan mutu dan jaminan mutu, mematikan kreatifitas pemerintah daerah, dan menghambat partisipasi masyarakat. Para penganjur reformasi meyakini bahwa sistem pemerintah dan pembangunan desentralistik dapat membantu bangsa Indonesia mengatasi masalah regional, mandayagunakan otonomi lokal, memangkas hirarki manajemen, memangkas jalur distribusi, mendorong demokratisasi, melimpahkan masalah fiskal ke daerah, dan mempercepat pemulihan ekonomi. Mereka juga yakin bahwa sistem pemerintah dan pembangunan dengan paradigma desentralisasi dapat memperbaiki mutu, menghidupkan kreatifitas pemerintah daerah, meningkatkan efisiensi administrasi dan keuangan, mendorong partisipasi masyarakat.

Pengertian dan jenis desentralisasi
Menurut Bray, desentralisasi adalah proses ketika tingkat-tingkat hirarki dibawahnya diberi wewenang oleh badan yang lebih tinggi untuk mengambil keputusan tentang keputusan penggunaan sumber daya organisasi. Menurut Burnett et al, desentralisasi pendidikan adalah otonomi untuk menggunakan input pembelajaran sesuai dengan tuntutan sekolah dan komunitas lokal yang dapat dipertanggungjawabkan oleh orang tua dan komunitas. Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilihat dari sasarannya, desentralisasi pendidikan bisa bersifat politik atau demokratik dan juga bersifat adminitratif. Desentralisasi pendidikan bersifat politik atau demokrasi manakala penyerahan kekuasaan untuk membuat keputusan tentang keputusan diberikan oleh pemerintah kepada rakyat atau wakil-wakilnya ditingkat pemerintahan yang lebih rendah, di dalam dan di luar sistem.desentralisasi administrasi atau birokrasi merupakan suatu administrasi manajemen bahwa kekuasaan politik tetap berada ditangan pejabat-pejabat pusat, tetapi tanggung jawab dan wewenang untuk perencanaan, manajemen, keuangan dan kegiatan-kegiatan lainnya diserahkan pada pemerintah di tingkat-tingkat yang lebih rendah atau badan-badan semi otonom yang berada di dalam sistem. Dilihat dari jenis wewenang yang diberikan desentralisasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis, dekonsentrasi, delegasi dan devolusi. Dekonsentrasi adalah bentuk terlemah dari desentralisasi karena tidak lebih dari sekedar memindahkan tanggung jawab manajemen dari pusat ke provinsi atau tingkat-tingkat yang lebih rendah sedemikian rupa, sehingga pemerintah pusat tetap mempunyai kontrol penuh. Delegasi adalah jenis desentralisasi dalam bentuk yang lebih ekstensif, di mana lembaga-lembaga pusat meminjamkan wewenang di tingkat-tingklat yang lebih rendah atau bahkan keorganisasi-organisasi otonom. Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang paling besar pengaruhnya, yakni menyerahkan wewenang keuangan administrasi atau urusan padagogi secara permanen dan tidak dapat dibatalkan secara tiba-tiba oleh pejabat di pusat begitu saja.

Tujuan dan ruang lingkup desentralisasi
Tujuan utama desentralisasi pendidikan adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Karena mutu pendidikan ditentukan oleh banyak faktor yang saling terkait, maka desentralisasi pendidikan melibatkan pendelegasian pengambilan keputusan tentang beberapa faktor. Studi-studi tentang desentralisasi pendidikan cenderung terfokus pada isu-isu sebagai berikut: aspek-aspek apa yang terlibat, apa yang perlu didesentralisasi, bagaimana melakukan desentralisasi keuangan, dan apa dampak desentralisasi. Menurut Burki et al, ada empat jenis keputusan pendidikan yang dapat didesentralisasikan, yaitu menyangkut organisasi pembelajaran, manajemen personil, perencanaan dan struktur, serta sumber daya. Menurut sinnette dalam Jalal dan Musthafa, ada dua asumsi dasar yang berkaitan dengan desentralisasi pendidikan. Asumsi yang pertama, bahwa struktur administrasi sekolah adalah bagian terpenting dalam peningkatan mutu pendidikan. Asumsi kedua, bahwa hal itu dapat diperbaiki dengan membuat pengambilan keputusan dan akuntabilitas lebih dekat kepada masyarakat dan sekolah.
Konsep
Ada dua konsep yang melandasi desentralisasi pendidikan, yaitu equity dan efsiciency. Menurut winker, desentralisasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan efisiensi teknikal. Karena melibatkan transfer otoritas dari pemerintah ke pemerintah daerah dan meningkatkan otonomi masyarakat dan sekolah untuk memutuskan input pembelajaran sesuai dengan situasi lokal, desentralisasi juga menuntut adanya tanggung jawab yang lebih besar dari masyarakat terhadap keberhasilan pendidikan anak-anak merekaa. Dalam hal pendanaan, misalnya, peran serta masyarakat sangan dibutuhkan, tetapi sangat tergantung pada kemampuan negara dalam bidang pendidikan. Persepsi tentang peran negara dalam bidang pendidikan akan menentukan tingkat kesadaran dan komitmen masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendanaan. Jika penyediaan pendidikan yang bermutu dipersepsikan sebagai tugas dan tanggung jawab pemerintah semata, maka masyarakat hanya menunggu dan menuntut komitmen dan tanggung jawab pemerintah untuk mendanai berbagai program pendidikan. Di tingkat sekolah, paradigma tersebut dimanifestasikan melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan pembentukan Komite Sekolah/ Madrasah.

Dampak desentralisasi
Meskipun diyakini membawa perubahan kearah penyelenggaraan pendidikan yang lebih efektif dan efisien, demokratis dan bermutu, desentralisasi tetap saja satu bentuk kebijakan yang diterapkan secara sangat hati-hati karena selain potensi positif yang dimilikinya, paradigma ini juga menyimpan beberapa potensi negatif yang dicermati dan diantisipasi dapat menimbulkan masalah baru dalam dunia pendidikan. Di satu pihsk khususnya bila diterapkan dalam bidang administrasi, desentralisasi pendidikan telah terbukti dibanyak negara dapat membawa pengaruh positif terhadap prestasi siswa. Karena penerapan paradigma ini dalam sistem penyelenggaraan pendidikan dapat meningkatkan kualitas dan efisiensi kegiatan pendidikan. Burke menegaskan bahwa desentralisasi mendorong berkembangnya proses seleksi yang lebih kompetitif dalam peningkatan guru dan kepala sekolah. Desentralisasi dapat memfasilitasi dan memperkuat fokus guru-guru pada kegiatan belajar siswa dengan cara menyajikan informasi yang dibutuhkan dalam menilai problematika belajar, memberikan pilihan padagogi yan tepat untuk sekolah, dan mengalokasikan sumber daya ke sekolah-sekolah yang memiliki kebutuhan khusus. Desentralisasi pendidikan juga dapat menghasilkan efisiensi administrasi, karena desentralisasi dapat menghilangkan lapisan-lapisan prosedur birokrasi yang tidak efisien sehingga membuat para administrator pendidikan lebih produktif. Akan tetapi di pihak lain, desentralisasi dapat menciptakan ketidaksetaraan antar sekolah dan antardaerah. Jika dibiarkan berlarut-larut, ketidaksetaraan tersebut dapat berkembang menjadi isu sosial dan isu politik, baik di tingkat mikro (sekolah), maupun di tingkat makro (masyarakat luas) yang dapat merugikan perkembangan dunia pendidikan. Oleh karena itu, tantangan utama penerapan desentralisasi pendidikan adalah mengoptimalkan sisi positifnya untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan sekolah dan meminimalkan sisi negatifnya dalam menimbulkan ketidaksetaraan atau kesenjangan antarsekolah maupun antardaerah. Ketidaksetaraan ini dapat diatasi dengan memperbanyak pilihan pendidikan.

Aspek politik desentralisasi
Desentralisasi pendidikan adalah satu aktivitas politik. Desentralisasi pendidikan tidak terjadi begitu saja, tetapi terjadi karena ada tekanan dari konstituen yang kuat, seperti orangtua, kelompok komunitas, anggota legislatif, kalangan dunia usaha, dan guru-guru untuk meningkatkan kontrol dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan serta adanya kemampuan birokrasi untuk secara cepat merespon berbagai tuntutan mereka. Desentralisasi pendidikan menjadi perhatian para pemimpin politik dan pembuat kebijakan karena desentralisasi pendidikan sangat politis, satu isu yang mempengaruhi masa depan sebagian besar masyarakat. Para pembuat kebijakan, kata Fiske, dapat menggunakan isu pendidikan sebagai alat untuk memperbanyak dukungan publik dan memperoleh kekuasaan. Secara keseluruhan, Jallal dan Musthafa menyimpulkan, desentralisasi pada umumnya, termasuk desentralisasi pendidikan, adalah suatu aktivitas politik yang berkaitan dengan transfer otoritas dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan dari pemerintah ke masyarakat.

Strategi politik ?
Apapun jenis, sasaran, dan konsep yang menyertainya serta dari mana awalnya, pelaksanaan desentralisasi tidak bisa dilihat sebagai strategi pembangunan semata, tetapi juga harus dilihat sebagai strategi politik. Pelaksanaan desentralisasi dalam berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan, sangat terkait dengan pertimbangan-pertimbangan, agenda-agenda dan kepentingan-kepentingan politik. Para praktisi pendidikan seharusnya tidak mengabaikan berbagai persoalan politik yang terkait dengan profesi atau tugas-tugas mereka dan semua pejabat negara tidak akan pernah mengkesampingkan atau menganaktirikan pendidikan diantara berbagai kebijakan publik yang mereka buat. Dalam kerangka hubungan mutualisme simbiosis antara pendidikan dan politik, kebijakan desentralisasi pendidikan dapat dilihat sebagai bagian dari stratefi politik penguasa untuk menata sistem pendidikan nasional dan dapat juga dilihat sebagai bagian dari strategi pendidikan untuk menata sistem politik nasional.

Konflik kepentingan
Karena sangat politis dan erat kaitannya dengan kebutuhan pendidikan serta dinamika kehidupan masyarakat luas, maka perubahan-perubahan fundamental dalam proses penyelenggaraan pendidikan dari sentralisai ke desentralisai tentu saja menjadi perhatian berbagai kelompok kepentingan pendidikan dari berbagai kalangan, terutama pihak oposisi, organisasi-organisasi profesi, para penyelenggara pendidikan swasta, orang tua murid, tokoh-tokoh pendidikan, agamawan, para pengusaha, dan organisasi kemahasiswaan / kepemudaan. Kontrofersi atau konflik pendidikan ditingkat apapun tidak bisa diabaikan begitu saja atau dibiarkan berlarut-larut. Konflik yang berlarut-larut akan memicu sikap anarkis dikalangan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, sehingga dapat menghambat penegakan peraturan perundang-undangan bidang pendidikan.

Catatan akhir
Desentralisasi pendidikan di Indonesia memerlukan dukungan instruksional. Salah sati prinsip desentralisasi adalah bekerjanya institusi0institusi yang ada secara demokratis. Prinsip tersebut dapat berjalan apabila, masyarakat daerah sudah siap menerima nilai-nilai demokrasi dan telah tersediannya proses sosial dan politik yang memungkinkan anggota masyarakat berperan lebih besar dalam pengambilan kebijakan dan menuntut akuntabilitas institusi-institusi pandidikan yang ada ditingkat daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar