Rabu, 20 Mei 2009

Merombak Pendidikan Agama Islam

Oleh: Rozihan

JIKA kredibilitas Departemen Agama dipertanyakan dalam mengelola pendidikan, maka Depag harus legawa (rela) melepaskan Universitas Islam Negeri (UIN) kepada Departemen Pendidikan Nasional. Hakikatnya UIN tidak berbeda dengan Perguruan Tinggi yang di dalamnya mengelola Fakultas Agama. Departemen Agama seyogianya dapat melepaskan beban politis ideologis; artinya, tidak perlu khawatir nilai dan pesan-pesan agama terdistorsi, karena sudah ada Undang-Undang Pendidikan Nasional yang menjamain tumbuh berkembangnya nilai-nilai agama dalam pendidikan formal.

Rumusan pemikiran di atas merupakan kata kunci yang disodorkan oleh DR Ahmadi dalam pidato pengukuhan guru besar Ilmu Pendidikan Islam pada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.

Ahmadi membuat perbandingan di negeri Belanda dalam penelitiannya tahun 1993-1994 tentang Studi Agama di Belanda, bahwa negara yang menganut paham sekuler, masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi yang bermuatan pesan-pesan spiritualitas dijembatani dengan peraturan perundang-undangan yang disebut dengan Duplet Ordo dengan produk pendeta-pendeta Kristen yang komit dengan agamanya. Jika Belanda mampu melaksanakan Pendidikan Agama di perguruan tinggi dengan pendekatan religius, Indonesia dengan Pancasilanya sudah pasti lebih mampu.

Ahmadi menolak dikotomi lembaga pendidikan Islam. Munculnya UIN, sebuah jelmaan IAIN/STAIN sebagai universitas yang berlabelkan Islam telah mendiskreditkan perguruan tinggi negeri lain yang tidak berlabelkan Islam menjadi tidak Islami.

Sederetan universitas yang dapat disebut seperti; UGM, Undip, ITB, dan UI serta PTN lain serta universitas Islam swasta, telah banyak memunculkan produk pakar santri dengan komitmen yang tinggi terhadap Islam dan ke-Indonesian.

Pemikiran Ahmadi tersebut merupakan catatan pertimbangan dalam pendirian UIN ke depan. Analisis itu ditunjukkan dalam konsep pengembngan kurikulum IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menggunakan pendekatan integratif dan interkonektif yang dimaksudkan untuk membangun kurikulum yang inklusif dan humanis.

Ahmadi lebih berpihak pada IAIN/STAIN agar tidak terburu-buru mengubah diri menjadi universitas. Karena, jika IAIN sebagai PTAI mampu meningkatkan kualitas dan pengembangan ilmu keislaman yang bergayut dengan problema kehidupan, IAIN akan menjadi pesan khusus yang dicari masyarakat.

Islam Suplemen

Posisi Khalifatullah fil Ardl tidak cukup hanya dengan bekal agama. Iman yang tidak disertai ilmu, mudah ditipu, demikian sebaliknya ilmu tanpa iman, menjadi penipu.

Dalam konteks ini, Ahmadi berpendapat bahwa Pendidikan Agama mempunyai peranan strategis dalam mengintegrasikan nilai-nilai dalam seluruh kegiatan pendidikan.

Implikasi dari pemaknaan pendidikan Islam adalah reposisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional.

Berikut ini adalah cuplikan sebagai tulisan atas Ahmadi dalam kertas pidato pengukuhan guru besarnya yang mengulas relevansi substansi antara pendidikan nasional dengan pendidikan Islam.

Pertama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar pendidikan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam (Tauhid); kedua, pandangan terhadap manusia sebagai makhluk jasmani-rohani yang berpotensi untuk menjadi manusia bermartabat (makhluk paling mulia); ketiga, pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi (fitrah dan sumber daya manusia) menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur (akhlak mulia), dan memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab sebagai individu dan anggota masyarakat.

Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada posisi konsep. Ditinjau dari tataran universalitas konsep Pendidikan Islam lebih universal karena tidak dibatasi negara dan bangsa, tetapi ditinjau dari posisinya dalam konteks nasional, konsep pendidikan Islam menjadi subsistem pendidikan nasional. Karena posisinya sebagai subsistem, kadangkala dalam penyelenggaraan pendidikan hanya diposisikan sebagai suplemen.

Mengingat bahwa secara filosofis (ontologis dan aksiologis) pendidikan Islam relevan dan merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional, bahkan secara sosiologis pendidikan Islam merupakan aset nasional, maka posisi pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional bukan sekadar berfungsi sebagai suplemen, tetapi sebagai komponen substansial.

Artinya, pendidikan Islam merupakan komponen yang sangat menentukan perjalanan pendidikan nasional. Keberhasilan pendidikan Islam berarti keberhasilan pendidikan nasional, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, pendidikan nasional sebagai sebuah sistem tidak mungkin melepaskan diri dari pendidikan Islam. Secara yuridis hal ini telah terakomodasi dalam Undang-Undang Sisdiknas no. 20 tahun 2003.

Dengan terintegrasikannya sistem pendidikan nasional Islam sebagai komponen substansial ke dalam system pendidikan nasional, maka konsep lama yang membatasi pengertian pendidikan Islam secara sempit hanya pendidikan keagamaan harus dihapuskan. Implikasi politisnya adalah, kebijakan lama yang sampai sekarang masih berlaku yaitu memisahkan antara pendidikan Islam (keagamaan) yang dikelola dan dibina oleh Departemen Agama dan pendidikan umum yang dibina dan dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional, harus ditinjau kembali.

Upaya peninjauan kembali peranan Depag sebagai pengelola pendidikan Islam memerlukan pikiran jernih, dengan menghilangkan kegamangan dari para elite muslim dan menanggalkan beban politis ideologis masa lalu yang selama ini menggelayutinya, serta memfokuskan pada pertimbangan pedagogis dan akademis.

Jika hal ini dapat dilakukan, maka akan lahir kebijakan yang reformatif, yaitu : pengelolaan pendidikan Islam yang selama ini berada di tangan Departemen Agama diserahkan kepada Departemen Pendidikan Nasional, dengan pertimbangan sebagai berikut.

Pertama, situasi dan kondisi sosio-kultural-politik sudah berubah. Kalau kekuatan sosio politik pada awal kemerdekaan terbelah tajam secara ideologis menjadi nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang keduanya terlibat dalam pergumulan politik ideologis sedemikian keras, maka sekarang sudah berubah. Kalau para tokoh nasionalis Islam di awal kemerdekaan memperjuangkan masuknya pendidikan Islam (keagamaan) dalam pengelolaan Departemen Agama merupakan keharusan sejarah (dlaruri), maka tidak demikian halnya di waktu sekarang.

Sekarang Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah merupakan common platform. Aspirasi politik umat Islam sudah menyebar ke semua partai politik yang ada dan tidak utuh lagi. Bahkan parpol yang berlabel Islam tidak memiliki kekuatan penentu. Oleh karena itu klaim bahwa Departemen Agama sebagai representasi kumpulan semua kekuatan sosio-politik Islam dan sebagai satu-satunya penyangga pilar pendidikan Islam sudah tidak relevan lagi.

Kedua, dualisme sistem kelembagaan pendidikan di Indonesia (pendidikan keagamaan oleh Departemen Agama dan pendidikan umum oleh Depdiknas) menurut Zamahsyari Dhofir merupakan suatu keunikan. Menurut hemat saya dualisme semacam itu dalam kondisi sekarang merupakan suatu keanehan yang perlu diluruskan. Manajemen modern mengenalkan prinsip efektivitas, efisiensi, dan fungsional sebagai kunci keberhasilan manajemen. Oleh karena itu, penyerahan otoritas pengeloilaan pendidikan Islam ke Depdiknas berarti melaksanakan prinsip ini.

Ketiga, secara teoritis pengembangan ilmu pengetahuan akan optimal, manakala bebas dari tekanan berbagai kepentingan lain terutama politik, sebagaimana kata syair Al-'ilmu la yumkinu an yanhadladla illa idza kana khurran (ilmu tak akan berkembang kecuali ada kebebasan). Kehidupan modern mengenal adanya bermacam-macam institusi seperti politik, ekonomi, budaya, agama, dan pendidikan. Masing-masing memiliki wilayah garapan dan penataan sendiri-sendiri. Lembaga pendidikan sebagai pranata ilmu pengetahuan harus terlepas dari tekanan institusi lain.

Keempat, wilayah garapan pendidikan yang selama ini dikelola oleh Depag sudah sedemikian luas, tidak hanya pendidikan agama dan keagamaan, tetapi mencakup hamper semua bidang ilmu pengetahuan, sehingga kelebihan beban (over loaded). Kalau hal ini diteruskan berarti pemaksaan diri karena memberikan beban tugas di luar batas kemampuannya.

Kelima, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutam yang berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti kebijakan Depdiknas. Depag sebagai pengikut konsekuensinya selalu di belakang, artinya menunggu kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas. Di kalangan dosen hal ini sangat dirasakan karena kenaikan pangkat lektor kepala dan guru besar ditentukan oleh Depdiknas. Sedangkan contoh paling mutakhir adalah mengenai pengembangan kurikulum dengan pendekatan kompetensi (KBK). Dengan demikian berarti Depag tidak memiliki otoritas, sehingga inovasi dan kreativitas menjadi terbatas.

Keenam, kalau kita sepakat perlunya mewujudkan pendidikan nondikotomik, maka dengan menempatkan pendidikan Islam pada satu atap di Depdiknas berarti sudah menghilangkan pendidikan dikotomik, sekurang-kurangnya dari aspek kelembagaan.(18)

-RozihanDosen Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Sultan Agung

http://www.suaramerdeka.com/harian/0501/07/opi3.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar