Rabu, 20 Mei 2009

Birokrasi jangan Justru Mandekkan Otonomi Pendidikan

Menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pendidikan, kini telah banyak tumbuh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Lembaga ini siap menjadi jembatan yang menyambungkan aspirasi masyarakat dan birokrasi pendidikan. Adalah Eki Yuliadi Riki alias Riki Dhamparan Putra yang kini aktif merangsang partisipasi masyarakat dalam pendidikan. Ia aktif di Yayasan Manikaya Kauci dan Yayasan Selakunda. Apa katanya soal pendidikan partisipasif?

Menurut penyair asuhan Umbu Landu Paranggi ini, pendidikan idealnya menjadi kendaraan utama untuk melakukan pencerdasan kehidupan lahir batin secara bersama, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 45. Tidak boleh melulu hanya jadi pertunjukan hegemoni negara. Kesadaran serupa itulah sedikit banyak mendasari ide perubahan dari konsep pendidikan sentralistik ke konsep pendidikan otonomi.

Namun dalam penerapannya, katanya, sering kali mendatangkan banyak kesangsian. Terbukti, pelaksanaan otonomi pendidikan telah berjalan sejak setahun lebih, tetapi belum menunjukkan hasil yang berarti. Di tingkat pengajaran saja, menurutnya, berdasarkan data dari Dinas Pendidikan sendiri, hingga pertengahan 2002 baru ada 40 sekolah yang sanggup mereformasi kurikulumnya sesuai dengan kebebasan yang diberikan pemerintah. Sementara sejumlah kalangan pendidikan mengatakan, penyebab dasar mandeknya pelaksanaan otonomi pendidikan adalah keragu-raguan penyelenggara formal untuk bekerja sesuai dengan prinsip otonomi itu.

Masih kuatnya peranan birokrasi dalam pelaksanaan pendidikan adalah wujud dari keragu-raguan tersebut. Sehingga, katanya, banyak upaya otonom yang telah dilakukan lembaga pendidikan di beberapa tempat terhalang oleh apa yang disebut Ignas Kleden sebagai ekstrem birokrasi. Berbelit-belitnya sistem birokrasi ini juga paling berpeluang hambat proses pendidikan.

Ia menegaskan, ekstrem birokrasi memang menjadi salah satu penyebab dasar kacaunya sistem pendidikan dan pengajaran kita. Sebuah sistem yang didominasi oleh birokrasi sekaligus menunjukkan dominasi negara yang terlalu kuat dalam sistem itu. Produknya adalah iklim yang formalistik dan cenderung menolak independensi, partisipasi, serta tidak memberi ruang pada sisi informal.

Padahal, katanya, dalam paradigma otonomi, dominasi negara tersebut terlebih dulu mesti dikurangi. Sistem pendidikan pada akhirnya mesti berbasis pada partisipasi masyarakat secara luas. Tidak hanya dalam penanggulangan pada problem finansial pendidikan, akan tetapi juga dalam penentuan arah. Perluasan pengertian pendidikan itu sendiri dari sekadar pengertian formal belaka.

Sebab, menurutnya, apabila kita mau objektif dan jujur, akar pendidikan kita sebenarnya tidak datang dari konsep-konsep formalistik atau dari sistem yang diproduksi negara. Tetapi, justru dari sekolah-sekolah rakyat, yang telah memiliki sejarah panjang. Namun, keberadaannya kemudian dipinggirkan dalam perkembangan sosial yang dikendalikan dalam dominasi negara itu. "Basis-basis pendidikan rakyat itulah yang hari ini kita sebut sebagai pendidikan informal," tandasnya.

Menurutnya, tidak semua dari kita bisa mencapai standar formal dalam pendidikan. Ada banyak orang yang belum tentu suka sekolah-sekolah formal, karena mungkin kultur yang membentuk cita-cita dan orientasi hidupnya mengarahkan dia pada pilihan seperti itu.

Akibatnya, mereka kesulitan dalam memperoleh kerja, tidak bisa masuk ke dinamika sosial yang hanya memberi ruang pada lulusan sekolah formal. Sangat terbatas dalam memperoleh akses-akses sosial ataupun kesetaraan status sosialnya dengan orang lain.

''Bukankah tidak sedikit jumlah mereka yang secara pendidikan hanya lulus dari sebuah ashram di pedesaan, sebuah surau, pesantren, atau sekolah-sekolah berbasis komunitas. Apakah objektif kalau konstruksi sosial yang kita bangun meniadakan keberadaan sekolah-sekolah informal tersebut,'' katanya.

Basis Pendidikan Informal

Kalau begitu persoalannya, lanjutnya, bagaimana menyegarkan kembali konstruksi sosial yang telah terbangun selama ini, khususnya untuk memberi tempat pada basis-basis pendidikan informal itu, sehingga kelak kita memiliki banyak pilihan dalam pendidikan. Tidak tergantung hanya pada sekolah-sekolah formal dan mahal.

Menurutnya, untuk terlepas dari sekolah-sekolah formal agaknya sangat sulit. Sebab, sebagaimana dikatakan tadi, untuk mencapai hal tersebut diperlukan suatu gerakan bersama untuk merefleksikan, serta keberanian untuk melakukan perubahan terhadap cara pandang sosial kita selama ini dalam bidang pendidikan. "Singkatnya, diperlukan semacam perubahan kognitif," katanya.

Namun, Riki menegaskan, gagasan seperti ini bukannya tidak berdasar. Sebab, bukankah tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Dasar negara kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa? Karena itu, setiap upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, meskipun ia datang dari sebuah ashram atau pesantren di pojok gunung yang tidak memiliki legalisasi negara, tetap mendapat jaminan dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar.

Ia mengatakan, kata "kehidupan" dalam tujuan pendidikan sebagaimana dikatakan UUD 45 tersebut sebenarnya mengandung nilai partisipatif. Tidak mungkin dimonopoli oleh sepihak saja, sekalipun oleh negara. "Melainkan oleh siapa saja yang memiliki hidup dan menginginkan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan itu," ujarnya.

Logikanya, katanya, yang bertanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa tentu menjadi tanggung jawab bersama dan bangsa. Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya tanggung jawab negara. Negara dalam hal ini, bertanggung jawab untuk melakukan ataupun memfasilitasi setiap upaya ke arah itu. "Bukannya melakukan hegemoni terhadap Undang-Undang Dasar menyangkut pencerdasan kehidupan bangsa tersebut," tandasnya. (ole)

http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2003/2/24/f3.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar