Rabu, 20 Mei 2009

Menyongsong Bahasa Jawa di SMA/ SMK

-- Makna apakah yang dianggap sebagai substansi terpenting pengajaran bahasa Jawa di sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK)? Selama ini, bisa jadi pelajaran yang terlegitimasi sebagai salah satu ''momok'' bagi siswa itu lebih bernuansa ''romantisme'' ketimbang pembelajaran tentang nilai-nilai. Padahal, dengan muatannya, seperti yang dikatakan Kepala SMAN 9 Dra Hj Sri Nurwati MPd, bahasa Jawa akan kembali mengenalkan siswa terhadap unggah-ungguh, tata krama, dan budi pekerti yang sudah mulai luntur di kalangan generasi muda. Bahasa Jawa dapat diposisikan sebagai substitusi pelajaran budi pekerti yang kini sudah tidak ada lagi, yang terbukti tidak tergantikan oleh mata pelajaran seperti bahasa Indonesia maupun PPKN.

-- Mulai tahun pelajaran 2005/ 2006, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah akan memasukkan bahasa Jawa sebagai muatan lokal wajib di SMA/ SMK. Langkah strategis ini merupakan implementasi hasil-hasil Kongres Bahasa Jawa pada 1991, 1996, 2001, yang salah satunya mengamanatkan untuk menjadikan bahasa Jawa lebih bermakna, dengan mengajarkannya hingga SMA, bahkan perguruan tinggi. Tiga gubernur, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sudah menandatangani kesepakatan, bahkan di DIY sudah diperdakan. Sejak tahun 1980-an, bersama-sama pelajaran budi pekerti, bahasa Jawa tidak lagi diajarkan di SMA/ SMK. Namun dalam dinamikanya, rupanya muncul kebutuhan penyerapan nilai-nilai luhur yang disadari termuat di balik pelajaran ini.

-- Draf kurikulum bahasa Jawa untuk SMA dan SMK kini sedang diajukan ke Gubernur Jateng, yang salah satu pedoman pembelajarannya disusun dengan lebih menekankan pada pendekatan sosiolinguistik. Artinya, bagaimana bahasa itu digunakan sehari-hari oleh masyarakat, sehingga diharapkan pengajarannya dapat lebih membumi, selaras dengan semangat otonomi, yang memberi ruang kepada dialek-dialek lokal. Pendekatan tersebut dipilih sebagai strategi pelestarian budaya daerah. Dan, semangat menampilkan subragam bahasa daerah ini menjadi penting dilihat dari upaya memberi ruang ekspresi yang berorientasi otonomi bahasa, sehingga ''kebenaran bahasa Jawa'' tidak hanya menjadi monopoli daerah-daerah tertentu yang selama ini telah terlegitimasi sebagai ''pusatnya''.

-- Sejak pewacanaan pentingnya kembali menoleh ke pengajaran bahasa Jawa, baik sebagai strategi pelestarian budaya maupun medium penyerapan nilai-nilai, hingga ketika draf kurikulum dibahas dan diajukan, sudah disadari bakal muncul problematika dalam kesiapan pengajarannya. Hal itu khususnya menyangkut perangkat ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) tenaga pengajar. Memang, misalnya Jurusan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah FBS Unnes menyatakan siap memasok, karena sejak 15 tahun lalu sudah memiliki Program Studi S1 Pendidikan Bahasa Jawa. Namun kesiapan itu tentu perlu dukungan pematangan kompetensi, karena tanpa kreativitas dalam pengajaran yang magnitude, justru berpotensi untuk membunuh spirit apresiasi pelajaran ini.

-- Perlu ditekankan semangat dan apresiasi memelihara budaya daerah sebagai local genius budaya nasional. Bukan berarti mempersempit visi anak didik, melainkan justru memperkaya serapan budaya melalui jiwa dan nilai-nilai yang memancar dari bahasa tersebut. Jadi upaya awal yang berorientasi pada internalisasi dalam membentuk kompetensi siswa adalah bagaimana mengajaknya ''terlibat''. Apalagi disadari, pola pengajaran dan kurikulum di SD maupun SMP sejauh ini masih kurang merangsang untuk mendekati bahasa daerah sebagai materi yang ''menyenangkan'', sehingga jangan sampai terjadi ''kekagetan budaya'' begitu mereka memerolehnya di SMA/ SMK. Untuk itu, dibutuhkan kelas-kelas percontohan di sejumlah daerah yang dianggap lebih dahulu siap.

-- Boleh jadi bakal dinilai terlalu normatif ketika kita mengangkat obsesi menjadikan bahasa Jawa sebagai substitusi pelajaran budi pekerti di sekolah-sekolah. Di tengah kehidupan yang serbaindustrial sekarang, tantangan bagi angkatan muda adalah bagaimana menyiasati diri berada di tengah information booming lewat simbolisasi multimedia, MTV, dan infotainment. Tantangan menginternalisasikan nilai-nilai kehidupan dari keadiluhungan budaya Jawa mestilah dengan mengkreasi pola pengajaran untuk ''berselancar'' di tengah fenomena infotainment itu. Jadi dibutuhkan dukungan kompetensi SDM pengajarnya, kekuatan kurikulumnya, sarana penunjangnya, juga bagaimana apresiasi lingkungannya. Semua terkait dengan muatan kurikulum berbasis kompetensi.


http://www.suaramerdeka.com/harian/0501/13/opi2.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar