Rabu, 04 Maret 2009

PROSES PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, Antara Wacana dan Pelaksanaan


Saturday, 30 June 2007
Kita, orang tua, guru, aparat pemerintah, atau orang dewasa lainnya, selaludihadapkan kepada interaksi dengan anak-anak usia dini. Kepedulian dan keteladanan kita kepada mereka selalu diuji.

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Agar anak tumbuh dan berkembang sesuai tingkat perkembangannya, sehingga ia memiliki kesiapan yang optimal dalam memasuki pendidikan dasar.
Elizabeth B Hurlock, ahli perkembangan anak dari USA, mengatakan, masa usia dini adalah masa keemasan (golden age) bagi perkembangan kecerdasan setiap insan manusia. Di masa usia dini, beragam hal menggugah rasa ingin tahu, menantang keinginan bereksplorasi. Saat kita dihadapkan kepada interaksi dengan mereka, itulah jalan kita untuk mendukung perkembangan kecerdasannya. Nah, mari amati interaksi kita dengan anak usia dini di rumah, sekolah, serta tempat umum seperti mal atau pasar.

Anak Subyek PAUD

Saat kita berdiri dan bicara pada anak usia dini, kita hampir selalu tetap berdiri. Ia harus mendongak agar bisa kontak mata dengan kita. Andai kita dalam posisinya, terasa nyamankah? Sulitkah kita membungkukkan badan atau menekuk lutut guna menyamakan dengan tinggi anak? Upaya sepele ini menunjukkan kita peduli pada keberadaan anak. Menumbuhkan keyakinan bahwa dirinya berarti. Berkembanglah ikatan emosional antara kita dengan anak. Pengalaman ini membuat ia belajar percaya pada orang lain.

Berapa kali kita berseru semacam: “Pergi sana, kamu masih keci!” Mengapa menyudutkan mereka dengan kata masih kecil? Ukuran tubuh, daya pikir, dan perilaku yang begitu di masa usia dini adalah sesuatu yang diberikan olehNya. Tak sepantasnya mendiskriminasikan mereka karena masih kecil, karena keterbatasan daya pikir, atau karena perilaku mereka.

Rumah dan keluarga adalah tempat pembelajaran yang pertama dan utama bagi anak usia dini. Sudahkah kita menjadikannya sebagai tempat untuk membangun harga diri positif pada anak? Acapkali terjadi pemaksaan kehendak kepada anak, “Kaus Ini bagus, cocok untukmu.

” Hendaknya kita mendukung anak untuk berani mengambil pilihan. Memfasilitasi anak untuk mengenal jati dirinya, berlatih menghadapi kegagalan (bila ternyata kaus tidak pantas baginya), serta membangun rasa percaya diri. Menafikan keinginan dan minat anak menentukan pilihan, berarti menghilangkan suatu tahapan yang harusnya ia lalui agar memiliki percaya diri.

Menurut Nur Ainy F Nawangsari, SPsi Msi, Ketua Unit Psikologi PAUD Terapan Unair dan Ketua Program Anak Ceria, lompatan dan pemaksaan akan mengakibatkan tercederainya potensi alamiah anak. Ketika anak dipaksa patuh, ia bisa. Ketika ditekan, ia mau menurut. Ketika dituntut, ia manut. Namun ia akan tumbuh menjadi pribadi yang kehilangan jati dirinya.
Orang dewasa hanyalah berperan sebagai pembimbing. Dampingi, berdiri di sampingnya, dukung dari belakang dan berikan contoh yang benar.

Pada kasus lain: Ayah melihat anaknya memasang sepatu kiri pada kaki kanan. “Dudu, terbalik pakai sepatu.” Si anak tetap memasang sepatu kiri pada kaki kanan sambil berkata, “Coba dulu.” Ayah kembali berseru, “Keras kepala, ayo pakai sepatu yang betul.” Dan seberapa sering kita berkata, “Jangan lakukan itu, kamu belum bisa...”

PAUD menekankan pentingnya peran aktif anak dalam berinisiatif dan mengeksplorasi beragam hal di sekitar, untuk mendapatkan pemahamannya. Contoh di atas, Ayah mengabaikan pesan tersurat Dudu untuk bereksplorasi memakai sepatu kiri di kaki kanan. Kita abaikan minat anak memperkaya pengetahuan atau ketrampilan.

Masih menurut psikolog Nur Ainy F Nawangsari, rasa ingin tahu yang besar, sikap coba-coba, menggunakan kemampuan berpikir dari sudut pandangnya sendiri adalah naluri seorang anak. Seperti dikemukakan Vygotksy, ahli perkembangan kognitif, kemampuan berpikir anak akan optimal ketika bermitra dengan orang dewasa yang mampu memberikan pijakan (scaffolding) pada saat ia mengembangkan rasa ingin tahunya (bereksplorasi).

Kasus di kelas. Usai cerita tentang layang-layang, Guru meminta anak menceritakan kembali. Seorang anak mengawali cerita dengan peristiwa layang-layang putus, padahal Guru mengawali dengan peristiwa membuat layang-layang. Ah, sayang! Guru mengehendaki anak agar meniru cerita Guru. Keinginan anak berinisitif, memberdayakan kemampuan berpikir, dan imajinasinya dihambat. Menghendaki anak meniru Guru, masih banyak terjadi dalam dunia pendidikan di negeri kita.

Bagaimana komunikasi kita dengan anak usia dini? Apakah kita terbiasa menghampiri untuk bicara pada mereka, bertanya apa yang dialami, dan pertanyaan lain yang berpusat pada dirinya? Apakah kita tergolong yang pernah berseru, “Nak, diam dulu. Ibu sedang bicara… .”

Atau kita tetap pada kesibukan meski ada seorang anak mendekat. Ataukah kita merespon cerita anak dengan ungkapan, “lalu?”, “wow, asyik dong.”, “mengapa begitu?”, “lalu kamu bagaimana?”
Ketika kita perhatian pada cerita anak, pendapatnya, gagasannya, atau perasaannnya, anak merasa bahwa dirinya berarti. Respon berupa “mendengarkan” (bukan “terdengar”), membuat anak berani membuat perbedaan dan menjadi berbeda. Hal ini menjadi salah satu pondasi anak untuk berani menjadi diri sendiri.

Bila kita memberi tanggapan yang mengasah daya kritis dan kreativitas berpikir, komunikasi akan menjadi jalan bagi anak untuk mendengarkan sesuatu yang berbeda dari yang dipikirkan, mengetahui alternatif lain, menilai pendapat dan tindakannya, mengidentifikasi perasaannya. Menumbuhkan kemampuan anak menilai posisi dirinya di mata orang lain, mendorong
keberaniannya mengambil tindakan.

Tak Berbatas Ruang dan Waktu

Seorang nenek jeli menjadikan hobinya memasak sebagai wahana pembelajaran cucu. Ia libatkan cucunya melalui ajakan, “bisa tolong Nenek ambil telur?”, “Bagaimana ya rasa garam, yuk kita cicipi… .”, “Ayo tuangkan gula dua sendok makan”. Kegiatan masak jadi makan waktu, namun memberi kontribusi bagi perkembangan kecerdasan anak.

Anak belajar memahami perintah, memperkaya kosa kata, mengenal takaran, melihat perubahan bentuk, bahkan memahami wujud tanggung jawab terhadap pekerjaan rumah. Fungsi indrawi dan motoriknya pun kian terlatih.

Bila di tempat umum, misalnya mal, bagaimana kita? Apakah membiarkan anak membuang bungkus permen sesuka hati? Ataukah mengajak anak berusaha mencari tempat sampah? Pernahkan menjadikan telapak tangan atau tas kita sebagai keranjang sampah bungkus permen anak? Saat berada di tempat umum merupakan kesempatan kita untuk mengajarkan peduli pada fasilitas umum. Meneladankan cara menghargai dan memelihara fasilitas umum. Memberi pemahaman pentingnya manfaat fasilitas umum.

Kasus lain, di kebun binatang. Apa reaksi kita bila melihat anak dengan gembira melempar makanan ke dalam kandang? Kita harus tega menghentikan kegembiraannya. Binatang juga memiliki kebutuhan akan makanan yang sesuai serta jadwal makan. Anak-anak usia dini perlu memahami hal ini. Menghargai kebutuhan binatang serta kesehatannya. Ini langkah membangun kepedulian anak untuk memelihara sesuatu milik bersama.

Pernahkah kita sadari bahwa di pasar tradisional telah terjadi proses pendidikan anak usia dini? Pedagang memberi kesempatan anaknya bermain-main dengan barang-barang dagangan, semisal menghitung, memilah, membungkus, menimbang, atau membandingkan. Bahkan juga tentang kerjasama saat orang tuanya “nempil” (pinjam) barang dagangan pedagang lain.
Melibatkan anak pada pekerjaan kita dengan cara bermain tak ada salahnya.

Kasus seorang Penjaga Sekolah di Surabaya. Ia ajak anaknya pada pekerjaan menyiram kebun, untuk memfasilitasi kegiatan main air. Bukan sekedar main air, karena anak akan mendapat pengalaman tentang sifat air dan pertumbuhan tanaman. Memang anak akan menjadi basah. Dengan segera menyediakan air hangat untuk mandi, lalu minum teh manis hangat, kita mengajarkan menjaga keselamatan padanya.

Anak usia dini belajar dari apa yang dilihat dan dialami. Mengajarkan kehati-hatian bukan berarti anak harus mengalami akibat dari suatu tindakan. Contoh, bahwa api sumber panas dan harus hati-hati dengan api, bukan dengan cara mengajak anak memegang api. Namun dipahamkan dengan mengajak anak mengikuti proses mendidihkan air. Setelah suhu air suam-suam kuku, mencelupkan tangan agar dapat merasakan panas.

Sudahkah kita menyadari, anak memiliki kapasitas intelektual yang luar biasa. Bekal dari Sang Pencipta agar ia mampu berperan dalam kehidupan. Mereka belajar dari jiwa dan sikap orang tua, perilaku orang-orang di sekitar, peristiwa yang dilihat dan dirasakan serta pengalaman yang dimaknainya.

Keteladanan dan bimbingan yang benar mutlak diperlukan anak sejak usia dini (urai psikolog Nur Ainy F Nawangsari).

Proses PAUD dapat berlangsung di mana saja. Ini bukan sekedar wacana. Ini sesuatu yang ada di depan mata dan harus kita lakukan. Orang tua, guru, aparat pemerintah, dan orang dewasa lainnya, memikul tanggung jawab bersama untuk mengantarkan anak-anak usia dini melewati masa keemasan mereka menuju tahap usia selanjutnya


http://www.surya.co.id/web/Opini/PROSES-PENDIDIKAN-ANAK-USIA-DINI-Antara-Wacana-dan-Pelaksanaan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar