Menimbang Peran Pendidikan Non-Formal |
Ditulis oleh Darwis Lumalaga, S.Pd | |||||
Selasa, 13 Januari 2009 00:21 | |||||
(Catatan Atas Rakerda Dikpora Kabupaten Banggai)Oleh : Darwis Lumalaga, S.Pd Usulan penyediaan sarana, prasarana serta program-program peningkatan kualitas para tenaga kependidikan juga direkomendasikan pada rakerda itu. Sangat disayangkan kontribusi pemikiran terhadap penyelenggaraan pendidikan luar sekolah sangat minim. Hal ini terlihat dari semua arahan pejabat baik pemda maupun Dikpora Kabupaten dan Provinsi hanya sekali menyebut PLS yakni pada saat yang mewakili Kepala Dinas Pendidikan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah, Bapak Landri Tandung menjelaskan struktur baru dari Dinas Pendidikan Daerah Provinsi Sulteng. Dimana bidang PLS (Pendidikan Luar Sekolah) telah berubah namanya menjadi bidang PNF (Pendidikan Non Formal). Dihawatirkan bidang PLS hanya dipandang sebelah mata oleh penentu kebijakan pendidikan nanti. Lebih jauh jangan sampai terkesan PLS adalah hanya tempat menampung anak usia sekolah yang putus sekolah karena ekonomi lemah atau karena hal-hal lain, atau lebih sempit lagi, hanya dipandang sebagai penampungan anak-anak gagal UN (Ujian Nasional), padahal PLS tidak sesempit itu. Dengan demikian pasal yang menjamin penyelenggaraan pendidikan persekolahan (SD/MI, SMP/Mts/SMU/MA serta SMK) baik negeri maupun swasta adalah juga menjamin penyelengaraan pendidikan non formal (taman bermain, TPA, TPQ untuk PAUD, Keaksaraan Fungsional KF untuk buta aksara, keseteraan paket A,B dan C untuk SD, SMP dan SLTA serta penyelenggaraan kursus-kursus). Dengan demikian PNF adalah merupakan salah satu pilihan jalur pendidikan yang diminati oleh masyarakat. Jika seorang anak taman kanak-kanak tidak mampu belajar di taman kanak-kanak yang mewajibkan duduk belajar seperti di SD, mereka boleh memilih ketaman bermain atau TPQ, demikian juga untuk SD, SMP/Mts,SMA/MA jika anak usia sekolah tidak dapat mengikuti cara belajar di sekolah formal, yang selalu terikat dengan duduk berbanjar mendengarkan instruktur (guru) memberikan penjelasan dan harus patuh dengan aturan disiplin persekolahan, mereka boleh memilih jalur non formal KF, Paket A, Paket B dan Paket C yang mungkin lebih memberikan kesempatan belajar, yang sesuai dengan kerja otak manusia yang selalu acak. Sehingga multiple intelegensi (MI) nya, bisa terlayani. Lebih jauh lagi dihawatirkan PLS bisa dipandang sebelah mata dalam hal pendanaannya, penyiapan sarana-prasarananya oleh pemerintah Kabupaten Banggai, padahal peranan PLS setara dengan pendidikan formal. Kesalahan persepsi masyarakat terhadap pendidikan non formal ini, dapat merugikan masyarakat itu sendiri. Banyak tenaga kerja kita di Kabupaten Banggai dewasa ini yang bukan hasil kerja para guru di sekolah. Tukang kayu misalnya, adalah hasil didikan kepala bas (seniornya), begitupula para sopir yang dapat membongkar pasang alat-alat mesin kendaraan, bukan hasil didikan para guru di SMK melainkan hasil didikan sopir seniornya, melalui proses belajar dan yang acak-acakan. Demikian pula halnya dengan para pengusaha ekonomi dan para pedagang yang menguasai perekonomian di Kota Luwuk, secara umum mereka bisa trampil berdagang bukan karena diajar hitung dagang (teori ekonomi) dan tata buku (Akutansi) di SMK, melainkan lebih banyak diperoleh dari pengalaman yang diberikan orang tuanya dalam hal ini pendidikan informal. Lihat saja anak-anak yang putus sekolah pada pendidikan formal, kembali ke kampungnya dan bekerja di sawah, dengan pendidikan pertanian yang diperoleh secara informal dari orang tuanya. Begitupun seterusnya untuk bidang-bidang lain. Dengan demikian selama ini masyarakat kita lebih banyak menikmati hasil kerja dari para pekerja yang dihasilkan oleh pendidikan non formal dan informal. Atau dengan kata lain, subangsi pendidikan informal dan non formal dalam penyiapan tenaga kerja telah dirasakan di tengah-tengah masyarakat. Sangat disayangkan, dewasa ini masyarakat kita tetap mempersamakan pengertian pendidikan non formal dan informal dengan pendidikan formal, yang berorientasi sekolah dengan segala tata tertib dan disiplin, serta muatan kurikulum yang harus diselesaikan. Padahal prinsip penyelenggaraan pendidikan non formal memang berbeda dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan formal. Dengan begitu, bila penyelenggaraan pendidikan non formal maupun informal, dilaksanakan seperti pendidikan formal dapat dipastikan tidak dapat memberikan hasil apa-apa. Sebab, warga belajar pada pendidikan non formal/informal tidak dapat mengikuti cata belajar dalam pendidikan formal. Semua ini tergantung dari bagaimana kita mendesain pelaksanaan pendidikan formal sehingga mampu menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai tenaga kerja profesional. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar