Menggagas Mutu Pendidikan Tinggi
Kamis, 17 Juli 2008 07:35:18 - oleh : redaksi
SEBASTIANUS GUDAT *)
Di era globalisasi sekarang ini, persaingan dunia pendidikan menjadi sangat ketat dan lebih frontal. Peningkatan atas mutu diyakini memegang faktor kunci dalam ”invisible competition” antar negara karena kualitas produk dan jasa ditentukan oleh cara para manajer, dosen, pekerja maupun pakar berpikir, bertindak dan membuat keputusan tentang kualitas.
Dimensi-dimensi kualitas ini antara lain tangibles (peralatan yang memadai, modern, kemudahan akses, lingkungan yang menarik), competence (staf akademik yang memadai, kualifikasi dosen), attitude (ketersediaan konseling dan keramah-tamahan), content (relevansi kurikulum dengan profesi), delivery (ketepatan waktu, konsistensi, umpan balik dari mahasiswa) dan reliability (memecahkan masalah, menangani komplain).
Manajemen kualitas perguruan tinggi yang berfokus pada dimensi tersebut dapat difasilitasi dengan sejumlah model. Ada beberapa model yang dapat diadopsi, diadaptasi atau dipadukan oleh setiap institusi pendidikan, yaitu, goal and specification model, resource-input model, process model, satisfaction model, legitimacy model, absense of problems model, dan organizational learning model.
Perguruan tinggi didirikan untuk membentuk individu yang memiliki pengetahuan yang luas, kemampuan berpikir kritis, bermoral, dan peka terhadap situasi lingkungan, serta kematangan emosional. Tujuan tersebut harus tetap diemban oleh perguruan tinggi di masa depan. Melihat perkembangan yang terjadi saat ini, perguruan tinggi harus siap berbenah diri untuk tetap bisa mewujudkan misi tersebut.
Dalam mengantisipasi perubahan-perubahan yang telah, sedang dan bakal terjadi, diperlukan perubahan pardigma dalam pengelolaannya. Dalam era globalisasi, desentralisasi pengelolaan perguruan tinggi dalam bentuk otonomi tak dapat dielakan. Situasi ini dibarengi dengan tuntutan dari masyarakat dan komunitas pendidikan akan kualitas lulusan yang semakin meningkat.
Dalam rangka mengakomodasi hal tersebut, maka perlu melakukan perbaikan pengelolaan perguruan tinggi yakni, pertama meningkatkan peran program strudi dalam perancangan dan pengelolaan kurikulum, proses pembelajaran, dan seleksi penerimaan tenaga pengajar(dosen baru). Kedua, adanya mekanisme yang lebih jelas dan transparan mengenai seleksi penerimaan dosen baru dan evaluasi proses pembelajaran.
Ketiga, meningkatkan networking dengan perguruan tinggi lain dan dengan dunia industri/bisnis. Keempat, mengurangi unit-unit yang merupakan cost center dan menggabungkannya dengan unit lain sehingga dapat merampingkan struktur organisasi. Kelima, membentuk unit yang mampu mendorong diperolehnya sumber-sumber pendapatan baru bagi perguruan tinggi di luar pendapatan dari mahasiswa.
Keenam, menyediakan fasilitas dan infrastruktur pembelajaran yang meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi secara optimal. Ketujuh, orientasi anggaran lebih ditujukan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan penyediaan fasilitas pembelajaran yang lebih baik, seperti laboratorium dan perpustakaan. Dengan demikian, kompetensi pengajar maupun mahasiswa dapat ditingkatkan secara terus menerus.
Masalahnya bagaimana mungkin bisa menjamin lulusan yang kompeten dan mampu bersaing dalam dunia kerja global apabila para staf pengajarnya sendiri tak pernah mengasah kapaknya? Padahal dalam kompetisi global saat ini, mindest faster, harder, smarter yang selama ini dominan sudah tidak lagi memadai. Hal ini tentu diganti dengan pola pikir richer (mengeluarkan potensi), deeper (memperluas penghargaan), dan wiser (menciptakan berbagai kemungkinan baru).
Fakta menunjukkan bahwa sebagian staf pengajar terlampau sibuk dengan urusan-urusan di luar bidang kompetensinya sehingga hampir-hampir tidak ada waktu untuk “mengisi baterai”, misalnya dengan membaca jurnal, hasil penelitian dan buku-buku terbaru yang berkaitan dengan bidang keahliannya. Alih-alih memfasilitasi para mahasiswa agar mampu mengalami learning to know, learning to do, learning to be dan learning live together, mengenal mahasiswanya saja tidak(!).
Pendidikan tinggi terutama PTS yang ingin tetap survive memang harus mengutamakan kualitas pendidikan yang sebenarnya dan menjadi organisasi belajar bagi generasi muda. Upaya peningkatan mutu, pelaksanaannya memang tidak mudah, membutuhkan waktu lama, meminta kesadaran para pelakunya, dan tidak menghendaki arogansi dan ketidakterbukaan diri.
Selain itu, semua pihak harus ikut ambil bagian untuk mewujudkan dengan mengutamakan pemberdayaan diri dan sanggup berbagi pengetahuan dengan sesama pelaku pendidikan tinggi. Keberadaan pimpinan perguruan tinggi dalam menangani soal mutu sangat penting. Peran pemimpin yang penting adalah memotivasi para dosen untuk tetap belajar dan terus belajar dalam meningkatkan bidang kompetensinya masing-masing. Memotivasi para dosen untuk terus belajar dan belajar untuk mengeliminir segala kekurangannya.(*)
*) Dosen Unika Widya Karya Malang
http://www.koranpendidikan.com/artikel/1150/menggagas-mutu-pendidikan-tinggi.html
Di era globalisasi sekarang ini, persaingan dunia pendidikan menjadi sangat ketat dan lebih frontal. Peningkatan atas mutu diyakini memegang faktor kunci dalam ”invisible competition” antar negara karena kualitas produk dan jasa ditentukan oleh cara para manajer, dosen, pekerja maupun pakar berpikir, bertindak dan membuat keputusan tentang kualitas.
Dimensi-dimensi kualitas ini antara lain tangibles (peralatan yang memadai, modern, kemudahan akses, lingkungan yang menarik), competence (staf akademik yang memadai, kualifikasi dosen), attitude (ketersediaan konseling dan keramah-tamahan), content (relevansi kurikulum dengan profesi), delivery (ketepatan waktu, konsistensi, umpan balik dari mahasiswa) dan reliability (memecahkan masalah, menangani komplain).
Manajemen kualitas perguruan tinggi yang berfokus pada dimensi tersebut dapat difasilitasi dengan sejumlah model. Ada beberapa model yang dapat diadopsi, diadaptasi atau dipadukan oleh setiap institusi pendidikan, yaitu, goal and specification model, resource-input model, process model, satisfaction model, legitimacy model, absense of problems model, dan organizational learning model.
Perguruan tinggi didirikan untuk membentuk individu yang memiliki pengetahuan yang luas, kemampuan berpikir kritis, bermoral, dan peka terhadap situasi lingkungan, serta kematangan emosional. Tujuan tersebut harus tetap diemban oleh perguruan tinggi di masa depan. Melihat perkembangan yang terjadi saat ini, perguruan tinggi harus siap berbenah diri untuk tetap bisa mewujudkan misi tersebut.
Dalam mengantisipasi perubahan-perubahan yang telah, sedang dan bakal terjadi, diperlukan perubahan pardigma dalam pengelolaannya. Dalam era globalisasi, desentralisasi pengelolaan perguruan tinggi dalam bentuk otonomi tak dapat dielakan. Situasi ini dibarengi dengan tuntutan dari masyarakat dan komunitas pendidikan akan kualitas lulusan yang semakin meningkat.
Dalam rangka mengakomodasi hal tersebut, maka perlu melakukan perbaikan pengelolaan perguruan tinggi yakni, pertama meningkatkan peran program strudi dalam perancangan dan pengelolaan kurikulum, proses pembelajaran, dan seleksi penerimaan tenaga pengajar(dosen baru). Kedua, adanya mekanisme yang lebih jelas dan transparan mengenai seleksi penerimaan dosen baru dan evaluasi proses pembelajaran.
Ketiga, meningkatkan networking dengan perguruan tinggi lain dan dengan dunia industri/bisnis. Keempat, mengurangi unit-unit yang merupakan cost center dan menggabungkannya dengan unit lain sehingga dapat merampingkan struktur organisasi. Kelima, membentuk unit yang mampu mendorong diperolehnya sumber-sumber pendapatan baru bagi perguruan tinggi di luar pendapatan dari mahasiswa.
Keenam, menyediakan fasilitas dan infrastruktur pembelajaran yang meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi secara optimal. Ketujuh, orientasi anggaran lebih ditujukan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan penyediaan fasilitas pembelajaran yang lebih baik, seperti laboratorium dan perpustakaan. Dengan demikian, kompetensi pengajar maupun mahasiswa dapat ditingkatkan secara terus menerus.
Masalahnya bagaimana mungkin bisa menjamin lulusan yang kompeten dan mampu bersaing dalam dunia kerja global apabila para staf pengajarnya sendiri tak pernah mengasah kapaknya? Padahal dalam kompetisi global saat ini, mindest faster, harder, smarter yang selama ini dominan sudah tidak lagi memadai. Hal ini tentu diganti dengan pola pikir richer (mengeluarkan potensi), deeper (memperluas penghargaan), dan wiser (menciptakan berbagai kemungkinan baru).
Fakta menunjukkan bahwa sebagian staf pengajar terlampau sibuk dengan urusan-urusan di luar bidang kompetensinya sehingga hampir-hampir tidak ada waktu untuk “mengisi baterai”, misalnya dengan membaca jurnal, hasil penelitian dan buku-buku terbaru yang berkaitan dengan bidang keahliannya. Alih-alih memfasilitasi para mahasiswa agar mampu mengalami learning to know, learning to do, learning to be dan learning live together, mengenal mahasiswanya saja tidak(!).
Pendidikan tinggi terutama PTS yang ingin tetap survive memang harus mengutamakan kualitas pendidikan yang sebenarnya dan menjadi organisasi belajar bagi generasi muda. Upaya peningkatan mutu, pelaksanaannya memang tidak mudah, membutuhkan waktu lama, meminta kesadaran para pelakunya, dan tidak menghendaki arogansi dan ketidakterbukaan diri.
Selain itu, semua pihak harus ikut ambil bagian untuk mewujudkan dengan mengutamakan pemberdayaan diri dan sanggup berbagi pengetahuan dengan sesama pelaku pendidikan tinggi. Keberadaan pimpinan perguruan tinggi dalam menangani soal mutu sangat penting. Peran pemimpin yang penting adalah memotivasi para dosen untuk tetap belajar dan terus belajar dalam meningkatkan bidang kompetensinya masing-masing. Memotivasi para dosen untuk terus belajar dan belajar untuk mengeliminir segala kekurangannya.(*)
*) Dosen Unika Widya Karya Malang
http://www.koranpendidikan.com/artikel/1150/menggagas-mutu-pendidikan-tinggi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar