Senin, 16 Maret 2009

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=149787



PENDIDIKAN NON-FORMAL

Kembangkan Wirausaha,
Atasi

Rabu, 19 Juli 2006
Pendidikan non formal (PNF) sebenarnya bisa menjadi salah satu program efektif untuk menjawab sekaligus mengatasi masalah pengangguran di Indonesia saat ini. Karena itu, PNF terus meningkatkan pendidikan kecakapan hidup (life skill) bagi warga belajarnya.
"Life skill ini menjadi primadona bagi Pendidikan Non Formal (sebelumnya dikenal dengan pendidikan luar sekolah-red) karena tujuan utama dari pendidikan ini adalah meningkatkan kecakapan hidup masyarakat," ujar Dirjen Pendidikan Non Formal, Ace Suryadi kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (13/7).
Dijelaskan, pendidikan non formal sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional saat ini menghadapi berbagai tantangan pembangunan SDM, seiring dengan kompleksitas kehidupan masyarakatnya. Beberapa persoalan yang berkembang di masyarakat, antara lain, besarnya penduduk buta aksara sebanyak 14,6 juta, masih tingginya jumlah anak usia dini yang belum terlayani (10,5 juta anak) dan besarnya angka putus sekolah.
"Pendidikan keterampilan ini merupakan terobosan dalam mengatasi masalah penggangguran di kalangan anak-anak putus sekolah," kata Ace Suryadi.
Pendidikan kecakapan hidup bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan kecakapan hidup peserta didik, sehingga lulusannya menjadi tenaga terampil atau mampu berusaha mandiri. Kemandirian itu berbasis pada potensi unggulan daerah baik yang berspektrum pedesaan maupun perkotaan, serta berorientasi pada pasar local, nasional, dan global.
Dengan demikian, katanya, kualitas, produktivitas dan pendapatan masyarakat kelompok sasaran baik di pedesaan maupun di perkotaan semakin meningkat.
Dia mengatakan untuk pendidikan wirausaha, antara lain, bekerja sama dengan Departemen Kehutanan dengan menanam jarak di Aceh, Nilam di Subang, Jabar, ulat sutra di Bogor. Termasuk juga, menanam murbai.
Pola yang dilakukan dengan inti plasma. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai inti dan masyarakat sebagai plasmanya. PKBM menyediakan bibit, sarana dan prasarana seperti mesin, sekaligus membeli hasilnya dari petani. "Sekarang ini sekitar 120 orang menanam nilam di Subang yang hasilnya tiga kali lipat dibandingkan menanam padi. Harganya, di luar negeri mencapai 160.000/kg," katanya.
Untuk industri rumah tangga, kata Ace, sudah diterapkan di Sumedang, Jawa Barat dengan membuat makanan Opak yang bertujuan ekspor, antara lain, ke Jepang, Singapura, Brunai Darussalam. Industri kecil ini berlokasi di kampung dengan menyerap tenaga kerja sekitar 300 orang. "Kini tengah dicoba industri rumah tangga yang membuat rengginang dengan tujuan ekspor juga," katanya seraya menambahkan orang-orang di luar negeri menyukai makanan-makanan khas Indonesia, seperti tempe, oncom, opak, dan sebagainya.
Peluang-peluang seperti itu, kata Dirjen, tinggal ditangkap oleh pengusaha kecilnya dan dikelola dengan baik, sehingga bisa masuk pasar internasional. Kemampuan untuk memperoleh keterampilan membuatnya juga tidak terlalu sulit dan pendidikan pesertanya tidak terlalu tinggi, seperti banyak dimiliki masyarakat pedesaan.
Sedangkan, untuk di perkotaan pihaknya mengembangkan bengkel sepeda motor keliling dengan wadah koperasi jasa oto (Kasato). Peluang ini melihat begitu banyaknya jumlah kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor. Bahkan, sudah masuk ke pedesaan.
Contoh lainnya, kursus menjahit. Misalnya, kursus Gilang Tiara Bekasi, Jabar. Kursus ini disamping mendidik pesertanya berwirausaha, juga sekaligus mengentaskan mereka yang buta huruf. Bahkan, setiap tahunnya sekitar 1.200 orang buta huruf bisa melek dengan kursus ini. Pasalnya, bagi peserta yang ingin mengikuti kursus diwajibkan untuk bisa membaca terlebih dulu. Jadi, sebelum kursus menjahit mereka terpaksa harus belajar membaca dulu di sana.
Pada awalnya kegiatan kursus ini merupakan swadaya. Namun, melihat potensinya Ditjen PNF mengajak bekerja sama dengan memberikan bantuan dana block grant untuk mengembangkan kursus sekaligus memelekkan orang buta huruf.
"Tadinya, mereka tidak mau, karena merasa sudah mandiri. Namun, demi kepentingan lebih banyak masyarakat yang bisa diserapnya akhirnya bersedia juga. Toh, tujuannya sama, sama-sama ingin mencerdaskan dan memandirikan masyarakat," ujarnya.
Dana bantuan yang diberikan oleh Ditjen PNF bervariasi mulai dari Rp 25 juta-75 juta per lembaga. "Dana PNF tidak terlalu banyak, pemberian itu hanya semacam stimulus, agar warga yang memiliki dana membuat semacam kursus atau industri rumah tangga yang mampu menyerap anak-anak muda yang putus sekolah untuk memperoleh pekerjaan," ujarnya.
Program terkini Ditjen PNF adalah kursus para profesional di bidang Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Saat ini ada sebanyak 100 orang yang ikut program tersebut. Rencananya lewat pendidikan selama enam bulan ini mereka siap bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Saat ini PLRT baru diujicobakan di Bandung, Jawa Barat. Dalam waktu tiga bulan ke depan sudah banyak pesanan dari luar negeri terhadap calon lulusan PLRT ini. "Saat ini baru untuk 100 orang. Dalam tiga bulan ke depan sudah ada pesanan 1.000 tenaga PLRT, salah satunya untuk bekerja Malaysia," kata Ace.
Bahkan di Malaysia, tambahnya, juga memerlukan banyak guru ngaji. Pasalnya Negeri Jiran tersebut perkembangan di kota-kota besar sudah amat dinamis. "Banyak pasangan suami istri di sana yang bekerja, sehingga mereka perlu bekal spiritual bagi anak-anaknya. Tenaga guru ngaji menjadi perhatian kami juga untuk diprogramkan," kata Ace. (Tri Wahyuni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar