Restrukturisasi Pendidikan Tinggi di Eropa
DEWASA ini, restrukturisasi ekonomi global yang sejalan dengan proses neoliberalisasi telah berdampak terhadap perubahan struktur pasar tenaga kerja di Eropa. Terkait langsung di dalamnya sistem pendidikan tinggi, yang merupakan bagian terpenting proses menyiapkan angkatan kerja dengan kualifikasi tinggi sesuai dengan konteks restrukturisasi ekonomi. Jika tidak, kualitas sumber daya manusia dari negara-negara tertentu akan menurun. Hal ini akan berdampak pada hilangnya keunggulan kompetitif angkatan kerja yang dimiliki masing-masing negara.
RESTRUKTURISASI sistem pendidikan tinggi di Eropa paling tidak distimulasi oleh empat fenomena. Pertama, transformasi aktivitas industri (sektor sekunder) menuju sektor tersier membutuhkan kualifikasi tenaga kerja yang tidak saja terampil, namun harus mampu menguasai sistem teknologi baru yang dipakai secara luas dalam dunia profesional. Penguasaan dan pemahaman teknologi amat diperlukan, terutama untuk membantu mempercepat proses pengambilan keputusan dengan akurasi tinggi, guna meningkatkan pelayanan di berbagai bidang jasa baru (Kjell Rubenson & Hans G, Schuetze, Transition to the Knowledge Society, 2000).
Kedua, proses neoliberalisasi telah meningkatkan arus mobilitas tenaga kerja yang berkualitas (highly educated). Hal ini terjadi khususnya di antara negara-negara maju dengan tingkat pendapatan per kapita serta kekuatan daya beli yang cukup tinggi. Gejala ini, seperti diungkap Saskia Sassen (The Global City, 2000), telah membentuk gejala polarisasi sosial/spasial baru berdasarkan brain power. Proses polarisasi ini telah meningkatkan fenomena kompetisi luar biasa, terlihat dengan kemunculan aglomerasi-aglomerasi ekonomi terutama di kawasan metropolitan area (London, Randstad, Frankfurt, Milan, Paris, dan Barcelona). Karena itu, sistem pendidikan tinggi pun terus melakukan proses diversifikasi dan spesialisasi dalam menghadapi kompleksitas baru ini.
Ketiga, bersatunya kekuatan ekonomi dan politik di Eropa meningkatkan arus kerja sama antarnegara dalam berbagai bidang. Peningkatan aktivitas itu telah membawa proses kerja sama yang kian intensif yang variatif, baik dalam skala lokal maupun global. Banyak aspek baru yang jauh lebih dinamis dengan kompleksitas tinggi tentu membutuhkan ruang-ruang studi baru, selain tentunya tenaga-tenaga ahli baru. Pendidikan tinggi dalam hal ini tetap merupakan tulang punggung riset yang mampu melakukan inovasi-inovasi dalam pengembangan pendekatan- pendekatan sosial, ekonomi dan politik; begitu juga dengan inovasi di bidang ilmu-ilmu dasar dan teknologi sesuai perkembangan itu.
Keempat, proses neoliberalisasi, sebagaimana disampaikan oleh Francis Fukuyama (The End of History and the Last Man, 1992) maupun Ulrich Beck (World Risk Society, 1999), telah berdampak pada memudarnya nation-state. Dinamika ini telah memberi konsekuensi pada berkurangnya investasi publik untuk sektor-sektor strategis jangka panjang (welfare state system), seperti sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sistem pensiun).
Perlahan-lahan institusi pendidikan tinggi di Eropa akan (bahkan telah) memasuki proses privatisasi karena berkurangnya pendanaan negara untuk sektor pendidikan. Proses inilah yang disebut Beck sebagai pudarnya public realm yang menuju proses individualisasi. Gejala privatisasi ini membawa pengaruh pada restrukturisasi sistem pendidikan tinggi di Eropa yang semakin hari menuju pada proses komodifikasi ketimbang mempertahankan esensi bahwa pendidikan merupakan bagian sistem kesejahteraan masyarakat untuk jangka panjang.
Transformasi sistem pendidikan tinggi di Belanda
Berbagai fenomena itu selanjutnya bisa dilihat melalui proses restrukturisasi pendidikan tinggi di Belanda. Sistem pendidikan tinggi di Belanda sebelum proses restrukturisasi berlangsung terdiri dari empat lembaga pendidikan tinggi, yaitu universitas (wetenschappelijk onderwijs/WO), lembaga pendidikan profesional/kejuruan (hogeschool/HBO), universitas terbuka (vrij universiteit dan academie), serta institusi pendidikan internasional (instelling voor internationaal onderwijs).
Universitas sendiri terdiri dari tiga bagian utama, yaitu pertama universitas untuk ilmu-ilmu sosial, ekonomi, dan politik (universiteit). Kedua, untuk bidang ilmu dasar dan teknologi (technische universiteit). Ketiga, universitas khusus di bidang pertanian (landbouw universiteit). Masa studi di tingkat universitas pada awalnya diselesaikan dalam waktu minimal lima tahun atau lebih dengan gelar Ir (ingenieur, dalam bidang teknologi dan pertanian) atau Drs (doctorandus, untuk bidang sosial). Sementara itu, untuk pendidikan kejuruan yang lebih menekankan dunia profesional (hogescholen), waktu studi berkisar tiga hingga empat tahun, dengan gelar Ing (ingenieur, untuk bidang teknologi) dan baccalaureus (untuk bidang studi sosial dan ekonomi).
Sistem pendidikan tinggi itu dalam dua tahun terakhir mengalami perubahan. Pendidikan sarjana di tingkat universitas saat ini bisa dicapai hanya dalam tiga tahun dengan gelar yang sama. Setelah itu, mahasiswa memiliki pilihan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat master (dua tahun). Perubahan ini membawa dampak lanjutan pada lembaga pendidikan seperti hogescholen yang juga dapat ditempuh dalam tiga tahun. Dengan waktu yang sama, lulusan universitas akan jauh lebih diminati ketimbang lulusan hogescholen. Karena itu, untuk menjaga kuantitas siswa di lembaga-lembaga seperti hogescholen, mereka mulai melakukan diversifikasi dan kerja sama dengan universitas-universitas dari luar Belanda, dengan tujuan menciptakan keunggulan komparatif.
Sementara itu, universitas yang mulai mengubah sistem dari lima tahun menjadi tiga tahun, ditambah dua tahun pendidikan master, kini juga mulai menerapkan bahasa Inggris sebagai pengantar di tingkat master. Hal ini bertujuan agar universitas di Belanda bisa mulai membuka pasaran pendidikan untuk level internasional. Dengan demikian, peluang siswa asing untuk melanjutkan studi di Belanda jauh lebih besar karena bahasa pengantar yang dipergunakan adalah Inggris. Meski demikian, tidak semua negara melakukan hal serupa. Jerman meski melakukan restrukturisasi serupa, namun bahasa pengantarnya tetap Jerman. Hal ini cukup beralasan mengingat Jerman tetap sebuah bahasa yang digunakan secara luas, baik di Eropa Barat maupun Eropa Timur.
Antara komodifikasi dan kesejahteraan publik
Restrukturisasi pendidikan tinggi ini juga dilandasi strategi untuk tetap menjaga keunggulan kompetitif dan komparatif kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki masing- masing negara di Eropa. Hal ini menjadi penting di tengah situasi bersatunya kekuatan ekonomi dan politik di Eropa. terutama kompetisi dalam menarik arus modal asing amat ditentukan kualitas SDM yang dimiliki setiap negara (Luigi Orsenigo, Innovation, Organizational Capabilities and Competitiveness in a Global Economy, 2000). Ketersediaan SDM berkualifikasi tinggi mencerminkan tingkat pendapatan yang tinggi serta kuatnya daya beli pasar. Hal ini tentu menjadi salah satu daya tarik investasi dalam memanfaatkan gaya hidup kelas menengah baru yang tercermin pada pola konsumsi mereka yang amat dinamis (Pascal Petit, Employment in a Knowledge-Based Economy, 2000).
Lebih jauh, studi aktual yang dilakukan universitas di Utrecht telah mengindikasikan kawasan metropolitan Belanda barat (Randstad: Amsterdam, Rotterdam, Den Haag, dan Utrecht) sedang terjadi krisis kualitas maupun kuantitas SDM. Jika hal ini terus berlanjut, Randstad akan kehilangan daya tariknya dibandingkan dengan London dan Frankfurt Metropolitan Area. Hilangnya daya tarik SDM itu berarti akan membawa pertumbuhan negatif. Situasi ini secara langsung memberi implikasi terhadap munculnya kompleksitas baru serta risiko sosial yang tinggi, sebagaimana diungkapkan pemikir Jerman, Ulrich Beck, dalam buku Risikogesellschaft und Gegengifte (1986).
Secara singkat, proses neoliberalisasi yang mendorong restrukturisasi sistem pendidikan tinggi di Eropa merupakan hal menarik untuk dicermati. Bukan saja karena situasi ini merupakan bagian dari proses rasionalisasi yang harus dilakukan tanpa pilihan, melainkan ekses yang ditimbulkan menjadi sedemikian kompleks serta mengindikasikan fenomena individualisasi yang mengandung risiko tinggi.
Restrukturisasi sistem pendidikan tinggi di Eropa semakin hari terus mengarah proses komodifikasi. Hal ini tentu kian jauh dari esensi dan komitmen sosial dalam tradisi Eropa, yang selalu menempatkan pendidikan tinggi dalam konteks kesejahteraan publik (public welfare). Situasi dilematis ini bagai telur di ujung tanduk karena memiliki risiko yang amat signifikan dalam konteks pembangunan jangka panjang.
Jürgen Rosemann Profesor di Department of Urbanism (Urban Renewal and Management), TU-Delft serta Chairman Board of Governors Berlage Institute, Rotterdam, Belanda; Andrea Peresthu staf riset di departemen yang sama
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0404/29/PendLN/995350.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar