Tulisan ini saya awali dengan mengutip pernyataan AA Gym yang sangat menarik di sebuah surat kabar tanggal 22 Mei 2003 yang lalu, bahwa seharusnya Perguruan Tinggi memberanikan diri untuk tidak memberikan ijazah kepada lulusannya. Saya sepenuhnya setuju dengan beliau karena proses pendidikan atau proses pembelajaran adalah bukan sesuatu yang bisa diukur dengan selembar kertas. Proses pendidikan adalah proses membantu membentuk seseorang menjadi manusia seutuhnya, dalam pengertian sederhana mengenalinya diri sendiri, siapa saya, apa kebisaan saya, apa kelemahan saya, dan apa potensi diri saya…
Kenyataannya, selama ini, hal itu tidak pernah terjadi, yang terjadi justru sebaliknya. Peserta didik selama ini hanya dibimbing dan dinilai dengan fokus angka-angka-angka ulangan, rapor, NEM, IP… Apapun nama dan istilahnya, tetaplah mereka hanya angka-angka yang tidak merepresentasi proses menemukan diri tersebut.
Masyarakat kita saat ini memang terjebak dalam lomba mengejar ijazah, mengejar gelar… yang akhirnya adalah semata-mata mengejar status. Sudah tidak ada lagi pengertian belajar untuk membangun kemampuan / kompetensi diri untuk berkarya menghasilkan sesuatu, memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Yang ada adalah mencari ijazah untuk bekal bekerja… Timbul pertanyaan lagi, bukankah untuk hidup orang harus bekerja? Bisa ya, bisa juga tidak. Ini terjadi karena pemahaman makna hidup sekarang begitu sempit, dan memang masyarakat kita terjebak dalam pragmatisme yang demikian… belajar untuk bekerja… Bisa kita amati begitu banyak institusi pendidikan yang mempromosikan programnya pendidikannya untuk menghasilkan lulusan siap kerja… Lalu apa yang bisa kita amati setelah sekian lama masyarakat kita ini dibangun sebagai pasukan siap kerja? Hasilnya adalah ketergantungan dan ketidak-mandirian yang luar biasa… dari tingkat pribadi, masyarakat, bahkan negara sekalipun. Tidak sulit mencari jawaban kenapa negara kita tidak berhasil keluar dari krisis selama ini. Negara dengan potensi sumber daya yang begitu luar biasa. Sederhana saja, karena selama ini, masyarakat kita tidak dibentuk menjadi manusia, tetapi difabrikasi menjadi robot… Di 'pabrik'nya, sejak seorang anak masuk sekolah hingga universitas pada saat mahasiswa, anak-anak kita hanya semata-mata diprogram … diisi hafalan ilmu pengetahuan, rumus dan teori. Setelah selesai, tanpa operator, tanpa kendali dari luar, si robot hanya bisa diam tidak bergerak…
Apa yang dihasilkan pendidikan tinggi selama ini adalah hanya sarjana… sekedar manusia-manusia bergelar… Lalu apa yang bisa mereka lakukan memang tanda tanya besar… Karena apa yang mereka hasilkan selama di pendidikan tinggi memang nyaris tidak ada. Kita bisa bertanya kritis, apa sih kontribusi pendidikan tinggi kita ke masyarakat? Apa sih gagasan, solusi, inovasi yang dihasilkan pendidikan tinggi kita untuk masyarakat? Apakah betul pendidikan kita mampu membangun manusia yang seutuhnya. Saya kira tidak, toh mahasiswa hanya kuliah untuk memperoleh nilai, mengejar IP dan kemudian memperoleh gelar… SKS yang banyak diistilahkan Sistem Kebut Semalam saya kira bukan gurauan, karena bagi mahasiswa yang penting toh nilainya… tidak penting apa yang dipelajari… Setelah ujian, entah apa yang dipelajari… Jangankan punya minat dan antusiasme mempelajari sesuatu, kebanyakan mahasiswa kita tidak tahu apa yang harus dipelajari, dan untuk apa harus mempelajarinya… Betulkah pendidikan kita bermasalah? Ah, tidak… toh kita tetap mewisuda begitu banyak sarjana setiap tahun… Betul, tetapi seharusnya kita cari tahu lebih jauh seberapa tinggi kualitasnya…
Kalau kita mundur ke titik awal dimana seorang anak mulai masuk dunia pendidikan formal, masuk TK… disini adalah titik awal masalah yang sesungguhnya… saat potensi dan talenta manusia yang sedang berkembang dimatikan lewat apa yang diperoleh anak di sekolah. Bagaimana sih seharusnya pendidikan di TK itu? Bagaimana dengan SD? Apa makna sesungguhnya dengan istilah pendidikan dasar? Bukankan di usia dini, di TK dan di SD anak belajar membaca, menulis, belajar berhitung, mengenal musik dan seterusnya… Bukan, sebetulnya yang seharusnya diperoleh anak adalah pengembangan kemampuan untuk belajar. Dimana anak mulai dikenalkan dengan dunia yang harus dieksplorasinya di kemudian hari lewat cara-cara yang sederhana. Dimana anak harus dibangun minatnya untuk bertanya, untuk berpikir kritis, untuk menggali dan mencari tahu tentang lingkungannya. Untuk dibangun minatnya terhadap dunia keilmuan… tentang teknologi sederhana, tentang sains, tentang bahasa dan musik… tentang lingkungan sosialnya… Dan semua ini tidak mungkin dilakukan lewat penjejalan ilmu pengetahuan dari buku-buku paket yang diterima anak sejak dia mulai duduk di bangku sekolah. Bagaimana mungkin minat belajar, kemampuan anak belajar bisa tumbuh apabila alam lingkungan dia yang begitu luar biasa direduksi hanya dalam lembaran-lembaran buku pelajaran yang begitu menyederhanakan dan memilah-milah situasi dunia nyata dimana anak hidup dari hari ke hari. Dimana pelajaran di sekolah, di dalam kelas begitu mengambil jarak dari kenyataan hidupnya sehari-hari. Sekolah akhirnya jadi penjara yang membosankan, membunuh potensi dan antusiasme anak terhadap dunia keilmuan, karena memang tidak bermakna untuk hidupnya sehari-hari… Bayangkan kondisi ini berjalan bertahun-tahun sampai anak menginjak dunia universitas. Bagaimana mungkin anak bisa tumbuh menjadi seorang intelektual yang punya semangat untuk menggali dan mengeksplorasi dunia keilmuannya, bila sudah terpatri bahwa belajar adalah demikian adanya… membosankan dan tidak bermakna… Bahwa belajar adalah memang untuk mencari nilai dan memperoleh tanda kelulusan, hanya itu…
Apa yang dituangkan dalam tulisan ini diharapkan membangun kesadaran tentang pentingnya orang tua menyadari betapa pentingnya pendidikan usia dini dan pendidikan dasar dalam kerangka pendidikan formal seorang anak. Sekolah yang 'salah' bisa sangat membunuh kemampuan anak untuk tumbuh menjadi seorang manusia yang utuh. Dan ini sudah harus menjadi kesadaran orang tua sejak muncul minat untuk memasukkan anaknya ke sebuah sekolah, bahkan untuk jenjang PlayGroup atau Kelompok Bermain sekalipun.
Apabila di tahap awal orang tua berhasil memilihkan sekolah yang tepat, yang bisa membangun kemampuan dan antusiasme anak untuk 'belajar seumur hidup', besar peluang anak akan bisa terus belajar sepanjang hidupnya, walaupun harus berada di luar lingkungan pendidikan formal. Dan sebagai seorang otodidak, dia akan jauh lebih berhasil daripada seorang sarjana yang selama prosesnya di sekolah hanya mengejar nilai…
Bandung, 15 Juni 2003
A Andy Sutioso
tulisan ini pernah dimuat di FORIS buletin edisi khusus pendidikan (Juli 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar