Rabu, 18 Maret 2009

" TIADA HIDUP TANPA KEGAGALAN ,KEKALAHAN , DAN KEJATUHAN............

AIR SUNGAI MENUJU LAUT MELEWATI JALAN YANG BERLIKU......

BERDIRILAH TEGAK KEMBALI.............................

JANGAN MEMANDANG KE BELAKANG , MASA LALU TELAH BERLALU....................

HIDUP BERJALAN TERUS............................

LANGIT YANG ABADI TETAP TIDAK BERUBAH DAN HIDUP BAGAIKAN BENTUKAN GERAKAN AWAN DI ANGKASA YANG SELALU BERUBAH-UBAH TIDAK MEMILIKI KETETAPAN DAN TIDAK ABADI . "





"CAHAYA MENTARI BILA DIFOKUSKAN AKAN MEMBAKAR KERTAS "

Merah Putih Merdeka

Tembaga hati,
merah putih pagi hari,
menatap langit kelabu,
menadah kefasihan rindu.
Kemanakah suara merdeka,
saat diri menyantun sepi,
saat hidup mencari mimpi.
Berucap kata seumpama baju putih,
sebersih apa bila hati merekah merah,
mengandung makna bertahta diam,
tak bersuara layaknya orang merdeka,
menyepi.

Brahmana kata menyulut api di tiap obor obor peristiwa cerita,
menerangkan kegelapan generasi abu-abu dengan tata bahasa yang murni,
sehati senyawa semangat,
bermanusia menuju kejujuran nurani,
untuk melanjutkan pemikiran para pemberani.

Aku bukan pengecut,
ketika merdeka berkumandang disaat aku diam.
Aku bukan takut,
ketika orang-orang mengenang disaat aku menulis kelam.
Aku hanya salut,
ketika merah putih berkibar di tiang disaat aku semakin tenggelam,
di keramaian hari ini,
hanya untuk menyepi.

Sekolah Informal Memanusiakan “Orang Asing Liar”

20 February 2009 No Comment

Cukup berat. Itu faktanya kalau bekerja sebagai buruh di kapal nelayan Thailand. Saw tahu itu namun harus menjalaninya. Dia bekerja sebagaimana umumnya terjadi yaitu menjadi orang asing tanpa dokumen resmi. Pria berusia 15 tahun itu berasal dari Myanmar.

Anak muda yang tidak suka memberikan nama lengkapnya itu punya satu hal yang selalu dinantikan: Dia menanti suasana Sabtu sore di gedung olahraga Gereja St. Anna. Di kota pelabuhan Samut Sakhon yang berjarak 40 kilometer barat daya Bangkok itu, gedung itu merupakan tempat nongkrong setelah berhari-hari bekerja. Setiap Sabtu itu, ketika tidak berada di kapal di Teluk Thailand, Saw menikmati sauasana di sana bersama teman-teman, sambil belajar baca-tulis dan bermain sepak bola.

“Sekolah” informal di gedung olahraga gereja itu dipakai oleh sekitar 20 anak usia 2 hingga 15 tahun. Mereka adalah anak-anak dari orang-orang asing liar asal Myanmar. Seorang frater, pastor setempat, dan dua guru agama Buddha mengelola sekolah itu dengan dana dari paroki itu telah setahun menyempatkan setiap hari Sabtu untuk berkarya bersama anak-anak muda sebagai bagian dari karya pastoralnya.

Frater tahun ke tiga itu mengajar mereka berhitung dan Bahasa Thailand, serta memberikan pendidikan etika dan pengetahuan umum. Ia juga bermain sepak bola, voli dan bulu tangkis dengan mereka, serta melakukan kegiatankegiatan ke luar seperti piknik.

Pastor Peter Theeraphol Kobvithayakul, kepala Paroki St. Anna, mengatakan kepada UCA News, dulu dia berkarya bersama para migran muda asal Myanmar. Mereka kerap tidak punya waktu untuk kegiatan bersama karena mereka harus bekerja. “Itulah sebabnya, kata Peter, “kami beralih menangani anak-anak seperti Saw.

Saw dan keluarganya tinggal di sebuah ruangan kosong. Pemerintah tahu bahwa mereka ada, namun secara teknis mereka tidak keluar. Mereka digolongkan sebagai orang asing liar, tidak punya hak atau dokumen-dokumen kerja resmi. Saw dan imigran asal Myanmar lain hanya diberikan toleransi kalau perusahaan dan majikan butuh buruh yang murah.

Menteri tenaga kerja memperkirakan bahwa Thailand memiliki 2 juta imigran liar dari Kamboja, Laos, dan Myanmar.

Di Thailand, seperti tempat manapun, pekerja asing liar menjadi pekerja kasar. Industri perikanan, khususnya, sangat terkenal dengan kondisi penuh bahaya dan perlakuan buruk terhadap para pekerja Myanmar.

Orang asing liar ini mengerjakan hal-hal yang tidak mau atau tidak akan dikerjakan oleh orang-orang Thailand. Menurut Kementerian Tenaga Kerja Thailand, di Provinsi Samut Sakhon saja ada 300.000-400.000 orang asing liar ini. Sebagian besar dari mereka itu bekerja sebagai buruh di kapal nelayan atau penyeleksi udang.

Menghadapi hidup keras dan diskriminasi, banyak yang jatuh ke dalam kebiasaan buruk. Begitu kata dua guru sekolah informal itu. Para guru itu berusaha melawan berbagai kebiasaan negatif orang-orang ini yaitu menggunakan obat-obat terlarang atau minum-minuman keras.

Dari awal, kata para guru setempat, mereka membantu para imigran untuk belajar bersikap etis. “Kami mengajar mereka tentang disiplin diri”, kata guru Thitimaphorn Chaisamut.

Ia dan koleganya Munthanee Serthong, keduanya beragama Buddha, bekerja dengan orang muda ini selama tiga tahun. Banyak dari mereka berbicara hanya bahasa Myanmar, katanya, tapi sekarang mereka belajar bahasa Thai. “Saw adalah seorang anak laki-laki yang baik,” kata Thitimaphorn. Dia tidak minum maupun merokok.

Ketika sedang duduk dan menulis karakter bahasa Thai, dia mengatakan kepada UCA News, “ Saya memberikan semua pendapatanku kepada ibuku.”

Orangtua Saw datang ke Thailand beberapa tahun lalu untuk mencari pekerjaan. Bapaknya bekerja di sebuah kapal dan ibunya bekerja di pabrik. Saw mengatakan ia bekerja berjam-jam menangkap ikan hanya agar bisa memperoleh 4.700 baht (US$130) setiap bulan. Upah minimum per hari yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja Bangkok dan Samut Sakhon adalah 191 baht. Saw dan orangtuanya tinggal di ruangan kecil di sebuah blok apartmen yang menampung puluhan migran Myanmar.

Pastor Theeraphol mengakui sejumlah orang di parokinya tidak senang dengan pelayanan yang ia lakukan. Katanya, “tidak ingin kami membangunkan anak-anak macan.”

Rupanya masyarakat lokal takut bahwa para imigran yang terdidik akan menuntut banyak uang dan memperoleh upah di atas para pekerja asal Thailand sendiri.Imam itu menjawab, dirinya hanya ingin anak-anak itu bertumbuh menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab. Mereka harus tumbuh menjadi anggota masyarakat yang baik.. “Kami berusaha melakukan apa yang bisa kami lakukan,” ujar Theeraphol. dan Keuskupan Agung Bangkok. Frater Wattana Sornnuchart, 27, mahasiswa di Seminari Tinggi Sam Phran, 30 kilometer barat Bangkok,

http://skbbombanakab.diknas.go.id/?p=52



Senin, 20 November 2006 23:27:37
Sentra Pendidikan Layanan Khusus Ditambah
Kategori: Umum (310 kali dibaca)
Pada tahun 2007, pemerintah berencana menambah dan mengembangkan sentra pendidikan layanan khusus, terutama di wilayah-wilayah bekas bencana, terpencil, dan perbatasan. Upaya ini merupakan bagian penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, khususnya dari jalur pendidikan luar biasa.

Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Dikdasmen Depdiknas, Eko Djatmiko, ditemui di sela-sela acara Spirit, ”Kreasi Gemilang Anak-anak Luar Biasa Indonesia", di Bandung, Kamis (16/11). Acara tahunan ini menghadirkan ratusan anak-anak berkebutuhan khusus dari 33 provinsi se-Indonesia.

Eko menjelaskan, sentra-sentra pengembangan yang dimaksud diantaranya wilayah Nunukan (Kalimantan Timur), Natuna (Kepulauan Riau), Sangihe Talaud (Sulawesi Utara), dan Rondo (NAD). Daerah-daerah yang menjadi pilot project ini dipilih berdasarkan permintaan dan analisis kebutuhan daerah.

”Program (pendidikan layanan khusus atau PLK) ini memang terbilang baru. Setahun terakhir bergulirnya. Sesuai dengan UU Sisdiknas, khususnya Pasal 31, PLK ini ditujukan bagi siswa-siswa yang berada di daerah pelosok, terpencil, komunitas adat terpencil (KAT), daerah konflik, maupun bekas bencana alam,” ungkapnya.

Berbeda dengan pendidikan luar sekolah (PLS), sasaran PLK ini adalah siswa-siswa usia wajar dikdas 9 tahun. Keunikan dari program ini, metoda pengajarannya tidak melulu bersifat akademis atau kognitif. Melainkan, dipadukan dengan pembekalan life skill yang tentunya disesuaikan potensi anak didik.

Tahun 2006 ini, PLK ini diujicobakan di sedikitnya 12 daerah yang ada di tanah air, diantaranya Lampung, Medan, Batam, Makassar, Sulawesi Tengah dan Mataram. Di antara sejumlah sentra, lokasi pengungsian di Atambua (Nusa Tenggara Timur) dan KAT Suku Anak Dalam (Jambi) menjadi salah satu indikator keberhasilan program.

Menurut Eko, program strategis ini diharapkan bisa efektif membantu pencapaian target wajar dikdas, khususnya di daerah yang sulit terjangkau pendidikan jalur reguler. ”Tahun 2006 ini, saya berutang 54.000 anak difabel usia sekolah (wajar dikdas) yang tidak bersekolah. Padahal, jumlah ini baru sepertiga dari seluruh siswa pendidikan khusus,” ujarnya kemudian.

Anggaran ditingkatkan

Untuk mendukung rencana tersebut, Depdiknas mengimbanginya dengan pengajuan penambahan alokasi anggaran dalam APBN 2007 mendatang. Kenaikannya, mencapai 35 persen dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi Rp 365 miliar. Dari total Rp 365 miliar anggaran PSLB, 30 persen diantaranya ditujukan untuk PLK.

Agus Prasetyo, penanggung jawab sebuah PLK yang beroperasi di daerah bencana khususnya NAD, menyambut baik penambahan alokasi anggaran tersebut. ”Ini tentunya sangat baik. Bisa mendukung operasional dan pengembangan kualitas tutor. Apalagi, selama ini kegiatan (PLK) ini sifatnya sukarela. Padahal, jangkauan daerah sangat luas,” ucapnya.(JON)
(uchie)
Anak Pengungsi Atambua Butuh Pendidikan Layanan Khusus
Ditulis oleh Rahmintama
Thursday, 27 March 2008

Mandikdasmen (Atambua, NTT): "Tatapan anak-anak itu begitu penuh harapan ketika kami datang" BEGITULAH petikan yang diutarakan oleh salah satu staf dari lima staf dari Direktorat Pembinaan SLB yang datang khusus melihat secara dekat kondisi anak-anak pengungsi di Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan dengan Timor Leste, awal Maret lalu.

Setelah Timor Timur (Timtim) berdaulat menjadi Timor Leste beberapa tahun lalu kemudian disusul dengan kondisi politik dan keamanan Timor Leste bulan Februari 2008 yang tidak kondusif, mengakibatkan banyak pengungsi yang 'lari' ke wilayah RI, Atambua.

Para pengungsi itu ditempatkan dibeberapa wilayah di NTT. Biasanya tempat tinggal mereka dekat dengan markas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Hal ini agar para pengungsi dapat dipantau lebih dekat oleh pihak keamanan.

Untuk perjalanan darat dari ibukota NTT yaitu Kupang menuju Atambua akan menempuh waktu enam hingga tujuh jam. Melewati empat kabupaten, yaitu Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Bone.

Sementara perjalanan lewat udara, kurang dari setengah jam. Namun jadwal perjalanan melalui udara terbatas. Pesawat kecil yang dapat mengangkut puluhan orang itu hanya ada dua minggu sekali.

Ribuan Anak Pengungsi

Ada tiga titik wilayah konsentrasi di Kabupaten Belu yang menjadi target pelayanan pendidikan di wilayah Kecamatan Kota Atambua ini yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin.

Anak-anak korban konflik dan anak pengungsi di wilayah ini mencapai ratusan. Bahkan kabarnya bisa lebih dari 1.000 anak.

Anak-anak ini merupakan anak berusia sekolah 7-18 tahun. Mereka terdiri dari anak-anak yatim-piatu, anak-anak yang terpisah karena orang tuanya masih berada di Timor Leste, dan anak pengungsi dari orang tua yang ekonomi tidak mampu.

Bantuan Alat

Pada dasarnya mereka sudah mengenal baca, tulis dan hitung. Sehingga tidak ada kesulitan dalam pengembangan pendidikan selanjutnya.

Sehingga pihak pengelola layanan pendidikan di ketiga kelurahan ini menginginkan pendidikan yang layak bagi anak-anak pribumi yang kurang mampu dan anak-anak pengungsi ini. Karena saat ini sarana dan fasilitas masih terbatas. Selain buku-buku pelajaran, diperlukan sarana keterampilan seperti alat bengkel otomotif, alat tenun, alat jahit, dan alat boga.

"Kami mohon bantuan untuk penye-diaan fasilitas proses belajar mengajar dan sarana keterampilan lainnnya. Pasalnya saat ini sarana belajar dan keterampilan belum memadai. Saat ini anak-anak belajar di ruang kelurahan," kata Mikhael Mali sekalu Kepala Kelurahan Fatubanao.

Anak-anak yang ditampung dalam proses belajar mengajar di Fatubanao ada sebanyak 60 anak. Mereka berusia antara 12-19 tahun ini merupakan campuran dari anak-anak pribumi Atambua dan anak-anak eksodus dari Timor Leste.

Sementara di Kelurahan Tenuki'ik ada sebanyak 20 anak yang berusia 13-17 tahun. Sebanyak 16 anak diantaranya merupakan anak pengungsi.

Sedangkan di Kelurahan Manumutin ada sebanyak 35 anak. Seluruhnya anak pengungsi. Sebanyak 33 orang merupakan usia sekolah yaitu 16-18 tahun. Dua orang lainnya berusia 19 tahun dan 30 tahun.

Layanan Tutor

Selama ini, anak-anak itu diberikan pembekalan pendidikan dan keterampilan oleh lima tutor yang dibina oleh Yayasan Purnama Kasih. Agar para tutor ini merasa nyaman dalam membina anak-anak pengungsi itu, mereka diberikan honor Rp 600.000 dan sejumlah asuransi yaitu jaminan kecelakaan, jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian senilai Rp 2juta per bulan.

"Ini belumlah sebanding dengan pengabdian mereka dalam membina anak-anak ini," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih.

Saat ini mereka belajar dua hari dalam seminggu. Satu hari mereka belajar formal dan hari lainnya belajar keterampilan selama 2-3 jam. Anak-anak yang ditampung dalam pelayanan pendidikan ini nantinya akan bergabung dalam Sekolah PLK di Atambua.

"Mereka akan memperoleh 20 persen muatan pendidikan formal dan 80 persen keterampilan dengan kearifan lokal," kata Ahryanto.

Anak Pengungsi Itu Jadi Penambang Batu

Ketiga kelurahan di Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu, yaitu Fatubanao, Tenuki'ik, dan Manumutin merupakan daerah rawan kriminal seperti pemalakan, penodongan, perampokan, perkelahian dan pembunuhan. Banyak juga yang suka mengemis.

"Pada dasarnya para pengungsi ini memiliki karakter yang mudah curiga dengan orang, terutama orang asing," ujar Ahryanto, Direktur Yayasan Purnama Kasih yang menjadi pemandu perjalanan ke Atambua. Namun hal tersebut dapat diminimalisir karena sebagian besar wilayah ini dikuasai oleh TNI-AD.

Anak-anak yatim-piatu dan mereka yang terpisah dengan orang tuanya, biasanya ditampung oleh para sanak keluarga yang berada di Atambua. Namun keluarga yang menampung anak-anak ini juga tidak sanggup untuk membiayai sekolah mereka.

Bagi anak-anak pribumi (Atambua) dari keluarga yang kurang mampu mereka mesti bertahan hidup bersama orang tuanya dengan berkebun atau berdagang, bahkan tak sedikit yang menjadi tukang ojek.

Sementara anak-anak pengungsi dan korban konflik tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sehingga hal ini yang menyebabkan kerawanan di daerah tersebut. Namun anak-anak yang mandiri, mereka akan ikut serta menjadi 'penambang' batu kali. Jumlah penambang batu ini mencapai ratusan anak usia sekolah.

Anak-anak tersebut menjadi penambang untuk menyambung hidupnya, karena kabarnya tidak banyak keluarga setempat yang mau memelihara mereka karena berbagai macam alasan.

Batu kali itu dikumpulkan dari sepanjang Sungai Talao, yaitu sungai besar yang melintasi Kota Atambua di wilayah Fatubanao. Setiap rit atau sekitar tiga kubik batu yang telah dipecahkan atau batu-batu kecil dihargai Rp 200.000. Lalu batu-batu itu dijual kepada agen digunakan sebagai pembangunan jalan, atau pengecoran bangunan.

http://mandikdasmen.aptisi3.org/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=34



DUNIA KAMPUS
SENTRA LAYANAN PENDIDIKAN KHUSUS
Tangani Anak di Daerah Sulit


Rabu, 19 Juli 2006
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB) mengubah paradigma layanan pendidikannya tidak saja mengurusi anak cacat yang selama ini disebut sebagai siswa luar biasa, tetapi juga siswa yang memiliki prestasi luar biasa seperti siswa pemenang lomba otak tingkat internasional siswa berbakat lainnya dalam bidang non-eksakta.
"Selama ini, PLB dikonotasikan sebagai direktorat yang menangani anak cacat. Padahal, mereka yang luar biasa itu termasuk anak-anak cerdas yang tergabung dalam kelas akselerasi. Mereka semua akan ditangani oleh layanan pendidikan yang disebut Sentra Layanan Pendidikan Khusus," kata Direktur PLB, Eko Djatmiko dalam penjelasannya kepada wartawan, di Jakarta, belum lama ini.
Perubahan paradigma ini sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang tidak menyebutkan satu pun mengenai sekolah luar biasa. Dalam UU Sisdiknas itu hanya ada pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.
Menurut dia, pendidikan khusus - pendidikan bagi siswa yang yang tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau punya potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Saat ini sedikitnya ada sekitar 66.000 siswa SD-SLTA di Indonesia yang belum terlayani oleh PLB. Dari jumlah tersebut, 54.000 di antaranya siswa dari kelompok wajib belajar - SD-SLTP. Untuk mengatasi hal ini pemerintah terus meningkatkan pelayanan, termasuk pendidikan inklusif.
Eko Djatmiko menyebut anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus, selain anak cacat yang selama ini telah ditangani PLB adalah mereka memiliki kecerdasan diatas rata-rata (IQ diatas 125), memiliki potensi bakat istimewa antara lain bidang musik, tari, bahasa, interpersonal hingga spiritual. Selain itu, mereka yang mengalami kesulitan belajar seperti dyslexia (baca), dysphasia (bicara), anak hiperaktif dan anak autis.
Menurut Eko, Sentra Layanan Pendidikan Khusus itu akan diujicobakan di 12 daerah di Indonesia. Ke-12 sentra pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tersebut berlokasi di Medan, Batam, Lampung, Jakarta, Sumedang, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Mataram, Banjarmasin dan Makassar.
Jumlah ini terdapat pada peserta didik Sekolah Luar Biasa sebanyak 81.434 siswa yang terdiri dari 3.218 siswa tunanetra, 19.199 siswa tunarungu, 27.998 siswa tunagrahita ringan, 10.547 siswa tunagrahita. Sedang 1.920 siswa tunadaksa ringan, 553 siswa tunadaksa, 788 siswa tunalaras, 450 siswa tunaganda, 1.752 siswa Autis dan berkebutuhan khusus 10.338 siswa serta program percepatan belajar 4.671 siswa.
Pelaksanaan Pendidikan Layanan Khusus diperuntukan bagi Sekolah yang kesulitan geografisnya itu seperti di wilayah Bengkulu dan Sulsel dan Sekolah untuk kesulitan etnis minoritas seperti Badui dan Kubu. Kemudian, sekolah untuk daerah bencana alam, sekolah untuk kesulitan hambatan sosial seperti anak jalanan, pekerja anak, dan pengungsi, serta Sekolah untuk kesulitan hambatan ekonomi seperti anak miskin.
Dijelaskan, pendirian Sentra Layanan Pendidikan Khusus ini akan memanfaatkan sekolah luar biasa (SLB) pembina yang biasanya ada di masing-masing kabupaten/kota. Sekolah tersebut akan ditambah aneka fasilitas yang menampung semua anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus.
Ia mencontohkan, fasilitas komputer yang ada di Sentra bukan hanya digunakan untuk kegiatan tulis menulis bagi lewat komputer, tetapi harus bisa memberi nilai lebih bagi anak sehingga lulusannya bisa menjadi seorang web designer dan membuat program komputer.
Satu kendala yang akan dihadapi pada pendirian Sentra Layanan Pendidikan Khusus ini adalah penyiapan tenaga pendidiknya. "Karena ini sekolah khusus, gurunya juga tidak bisa lagi yang standar seperti yang ada saat ini. Karena itu, selama masa persiapan kami akan memberi keterampilan tambahan kepada guru-guru yang akan terlibat dan Sentra Pendidikan Khusus," ucap Eko Djatmiko.
Keberadaan Sentra Pendidikan Khusus disambut Ketua Tim Pengerak PKK dan juga istri Menteri Dalam Negeri, RR Susyati Ma'ruf. Ia meminta kepada para istri Gubernur, Walikota dan Bupati di Indonesia untuk lebih memperhatikan hak azasi anak-anak untuk mendapat layanan pendidikan secara baik.
Pasalnya, sekarang ini angka putus sekolah terancam semakin meningkat menyusul sejumlah peristiwa bencana yang terjadi. "Anak jalanan, anak-anak korban gempa dan anak-anak yang kehilangan masa depannya karena konflik berkepanjangan di negeri ini tidak boleh sampai kehilangan haknya untuk tetap belajar dan memperoleh layanan pendidikan. Mereka menurut Undang Undang Sisdiknas dan UUD menjadi tanggungjawab negara dan kita bersama. Mereka sebaiknya ditangani secara khusus. Karena itu mereka menjadi tanggung jawab pendidikan khusus dan layanan khusus," katanya.
Menurut Susyati, istri dari pimpinan pemerintah daerah seharusnya menjadi pilar pertama dalam menyelamatkan anak-anak dari putus sekolah dan kehilangan masa depannya. Karena sebagai generasi penerus bangsa, negera ini membutuhkan manusia-manusia Indonesia yang berkarakter dan unggul.


http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=149788
Program Sosial Bagi Anak Pengungsi
Ditulis Oleh NFF
Sunday, 04 January 2009

PENYELENGGARAAN

PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

BAGI ANAK-ANAK KORBAN BENCANA BANJIR

DI KELURAHAN BERENG BENGKEL, KAMELOH BARU,

DAN DANAU TUNDAI, KECAMATAN SABANGAU PALANGKA RAYA

Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan Palangka Raya, yaitu sekitar Kecamatan Sabangau ada 3 Kelurahan yang sering terkena musibah banjir bila musim penghujan tiba. Kelurahan tersebut adalah Kelurahan Danau Tundai, Kelurahan Bereng Bengkel, dan Kelurahan Kameloh Baru. Di Kelurahan-kelurahan tersebut terdapat 3 SD Negeri dan 2 SMP dengan jumlah siswa seluruhnya 321 orang, sedangkan jumlah guru baik yang PNS maupun honor ada 47 orang. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah tersebut sering terhambat karena bencana banjir. Walaupun bangunan sekolah sudah ditinggikan namun bagi siswa yang tidak mempunyai jukung (perahu dayung) tidak bisa sekolah. Begitu pula bagi guru-guru mereka harus carter kelotok dengan biaya yang sangat memberatkan.

Lembaga Pendidikan Khusus “Melati Ceria” Palangka Raya mempunyai program Pendidikan Layanan Khusus diantaranya Program Remedial/Pengayaan bagi siswa yang memerlukan. Program tersebut bisa membantu siswa-siswa yang mengalami hambatan belajar, baik hambatan yang ada pada diri siswa maupun hambatan yang datang dari luar diri siswa seperti karena adanya bencana alam seperti banjir atau kebakaran, dan sebagainya. Khusus bagi siswa berbakat dan cerdas istimewa Lembaga ini juga mempunyai program pengayaan sehingga potensi yang ada pada anak tersebut dapat berkembang seoptimal mungkin.

Oleh karena itu Lembaga Pendidikan Khusus “Melati Ceria” Palangka Raya mengajukan permohonan bantuan subsidi kepada pemerintah yaitu Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Jakarta sesuai dengan kebutuhan yang sangat mendesak pada saat ini. Dan Alhamdulillah usulan tersebut dapat dikabulkan.

Tujuan penyelenggaraan pendidikan layanan khusus sebagai berikut :

  1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan pendidikan khusus.
  2. Membantu proses belajar mengajar pada pendidikan dasar.
  3. Memotivasi siswa dan guru dalam proses belajar mengajar.Sosialisasi

Kegiatan ini meliputi kegiatan – kegiatan :
  1. Sosialisasi Program PLK
  2. Pemberian Alat Bahan Ajar
  3. Kunjungan ke sekolah – sekolah rawan banjir
  4. Bimtek PLK bagi guru – guru sekolah rawan banjir
  5. Kegiatan Lomba bagi siswa – siswa sekolah rawan banjir
Kunjungan 1Kunjungan 2
Pemutakhiran Terakhir ( Sunday, 15 February 2009 )


http://melaticeria.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=23&Itemid=9

Minggu, 28 Januari 2007
Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus
Baru Sentuh 21 Persen ABK

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?



Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.



Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.



Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.



Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.



Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).



Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).



Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.



Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.



Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.



Di samping itu, untuk menambah SDM pendidik, pemerintah mulai menggandeng perguruan tinggi di seluruh tanah air.


http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Edukasi&id=131764#top





Sekolah Khusus Untuk Anak Autis

23 Januari 2009 Penulis: akoeaditya 5 Komentar Dilihat 25 kali

Terharu membaca tulisan curhat yang mendalam dari seorang rekan tercinta, pandu67 di situs komuitas Pintunetter yang berlabel Anakku Sudah Pandai Bernyanyi…, mencoba mendalami secara serius rasa yang luar biasa yang coba dituangkannya saat menceritakan salah seorang anaknya yang mulai pandai bernyanyi diusianya yang sudah merambah 9 tahun. “Tapi anakku seorang Autis”, demikian dia memaparkan, “jadi untuk bisa bernyanyi seperti anak-anak biasa memerlukan sesuatu yang bisa mendorongnya untuk bernyanyi. Karena bagi anak-anak demikian itu, suatu permintaan untuk bernyanyi adalah hal yang sangat tidak di sukainya”.

Artikel ini dipersembahkan untuk pandu67, semoga dapat tetap tabah dan sabar dalam menjaga, memelihara serta mendidik titipan Illahi ini, dan juga bagi rekan-rekan para orang tua lainnya yang merasa senasib maupun tidak, hanya untuk sekedar shearing pengetahuan mengenai autisme dan pendidikan khususnya.

Autisme diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan neuro yang menyebabkan interaksi sosial yang tidak normal, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap. Autisme bisa terdeteksi pada anak berumur paling sedikit 1 tahun. Autisme empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki dari pada anak perempuan.

Tanda - tanda Autisme
- Tidak bisa menguasai atau sangat lamban dalam penguasaan bahasa sehari-hari.
- Hanya bisa mengulang-ulang beberapa kata.
- Mata yang tidak jernih atau tidak bersinar.
- Tidak suka atau tidak bisa atau atau tidak mau melihat mata orang lain.
- Hanya suka akan mainannya sendiri (kebanyakan hanya satu mainan itu saja yang dia mainkan).
- Serasa dia punya dunianya sendiri.
- Tidak suka berbicara dengan orang lain.
- Tidak suka atau tidak bisa menggoda orang lain.

Penyebab Autisme sampai sekarang belum dapat ditemukan dengan pasti. Banyak sekali pendapat yang bertentangan antara ahli yang satu dengan yang lainnya mengenai hal ini. Ada pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak vaksin Hepatitis B yang termasuk dalam MMR (Mumps, Measles dan Rubella) bisa berakibat anak mengidap penyakit autisme. Hal ini dikarenakan vaksin ini mengandung zat pengawet Thimerosal, yang terdiri dari Etilmerkuri yang menjadi penyebab utama sindrom Autisme Spectrum Disorder. Tapi hal ini masih diperdebatkan oleh para ahli. Hal ini berdebatkan karena tidak adanya bukti yang kuat bahwa imunisasi ini penyebab dari autisme, tetapi imunisasi ini diperkirakan ada hubungannya dengan Autisme.

Pendidikan bagi anak penyandang autis tidak sama dengan anak biasa. Kurikulum pendidikan yang disiapkan umumnya sangat individual. Data yang dimiliki Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan, penyandang autis yang mengikuti pendidikan layanan khusus ternyata masuk lima besar dari seluruh peserta sekolah khusus.

Bila ada yang membutuhkan daftar sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan khusus untuk anak-anak penderita autis yang berlokasi di wilayah Jakarta dan sekitarnya, dipersilahkan kunjungi situs zonasekolah ini. Mungkin dengan menghubungi sekolah-sekolah ini kita bisa mendapat tambahan informasi berharga lagi mengenai autisme, penangananya serta pendidikan khususnya.

(Sumber : Wikipedia, Yayasan Autisma Indonesia dan berbagai sumber)

Postingan ini telah diterbitkan sebelumnya di zonasekolah.

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya. Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri. Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

Sumber :
(http://pelangi.dit-plp.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=582&Itemid=2

Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana

Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.

Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan kemudahan administratif.

Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.

Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.

Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).

Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.

Guru bantu

Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.

"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.

Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.

Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.

"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.

Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.

Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.

Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.

Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.

Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.

Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana. (NAR/INE).


Sumber :

(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0501/14/humaniora/1499439.htm)

JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.

Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.

Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.

Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.

"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.

Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.

Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.

Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.

Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.

"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.

Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.

"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.


Sumber :

(http://www.rajaraja.com/news_detail.php?id_news=1072)

Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?



Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.



Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.



Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.



Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.



Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).



Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).



Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.



Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.



Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.

Sumber :
(http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Edukasi&id=131764)

Pemerintah Harus Lebih Perhatikan Pendidikan Informal

Bogor-Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.

Bogor-Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.”Padahal sesungguhnya ada yang istimewa dalam program informal dan non formal ini, yaitu daya jangkaunya yang mampu menjangkau segala umur, tidak terikat status pernikahan, dan bisa menjangkau wilayah terpencil”, demikian Yusup Haryanto, SPd, koordinator PKBM Tunas Melati, Pemuda Muhammadiyah kabupaten Bogor kepada muhammadiyah.or.id, selasa (1/04/2008).

Menurut Yusup, setelah ada program BOS, sebenarnya masyarakat sudah banyak terbantu, khususnya untuk biaya SPP. Namun menurutnya, di lapangan ternyata biaya transport peserta didik ke sekolah masih banyak yang memberatkan orang tua siswa, terutama siswa dari daerah terpencil. “ Inilah kelemahan konsep Sekolah Terbuka” yang masih mengharuskan siswa berangkat dari rumah ke sekolah tertentu. Belum lagi masalah dengan status perkawinan, dimana sekolah formal tidak memungkinkan seorang siswa sudah menikah ikut bersekolah.

Dengan pertimbangan itulah, menurut Yusup, pogram PKMB Tunas Melati yang pada awalnya merupakan hasil MOU PP Pemuda Muhammadiyah dan Dirjen Pendidikan Informal dan Non Formal saat ini menjadi solusi yang cukup menarik bagi warga belajar di daerah kabupaten Bogor. Program yang difasilitasi dengan Kelas Berjalan, berupa Bis ini bisa menjangkau pelosok dan masyarakat miskin dengan mudah. “ Karena program ini geratis dan kami mendatangi mereka” cerita Yusup.

Saat ini, PKBM Tunas Melati mengelola tujuh kecamatan di Kabupaten Garut, yaitu kecamatan Nanggung, Pamijahan, Jasinga, Leuwiliang, Cibubulang, Sukajaya, Darmaga dan Tamansari. Kesemuanya dikelompokkan pada 28 Kelompok belajar yang masing-masing kelompok berkisar antara 80 hingga 100 warga belajar, dengan dipandu tujuh hingga delapan tutor. Pogram yang baru berjalan setahun ini, saat ini sudah meluluekan 700 warga belajar dari paket A, B, dan C selain program pemberantasan buta aksara melalui Keaksaraan Fungsional, program Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus Masuk Desa dan Beasiswa Belajar.

Keberlanjutan dan Pengembangan Program

Menurut Yusup, program yang sedang berjalan ini masih belum pasti apakah masih akan mendapat support dana dari Depdiknas untuk kelanjutan programnya, namun karena melihat manfaat program yang besar serta sambutan masyarakat yang besar, dengan ada tidaknya bantuan dari pemeintah segenap pengelola dan keluarga besar Muhammadiyah Kabupaten Bogor bertekad untuk meneruskan program ini.

Yusup mengakui, selama ini masalah yang dihadapi adalah kecilnya honor tutor yang saat ini berjumlah seratus orang. Karen a itu, selain berharap bahwa ke depan masih akan ada pihak-pihak yang mau bekerjasama membiayai program strategis ini, juga perlu diperhatikan bagaimana menaikkan kesejahteraan para tutor yang diambil dari keluarga besar Angkatan Muda Muhammadiyah Kabupaten Bogor sendiri.

Saat ini, PKBM Tunas Melati bertempat di kompleks amal usaha Muhammadiyah Kabupaten Bogor, Jl Raya Leuwiliang No. 106, Bogor. Telp. 0251 47619. Di kompleks tersebut berdiri TK ABA, MI Muhammadiyah, Mu’alimim Muhammadiyah (Mts dan MA), BMT, Poskestren, Panti Asuhan Yatim dan Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Bogor. (arif)


Sumber :

(http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id

Pendidikan Informal Perlu Diperhatikan

Singkawang,- Anggota DPRD Kota Singkawang, Nurindrawati SH menyatakan, anggaran pendidikan tahun 2006 diharapkan tidak saja dipergunakan untuk pendidikan formal. Tapi juga informal yang sepertinya mulai dilupakan.

Selama ini, anggaran pendidikan lebih banyak dialokasikan untuk pendidikan formal. Sementara informal tidak ada, padahal informal juga sangat penting untuk menunjang peningkatan SDM berkualitas di Kota Singkawang.

"Masih banyak pendidikan informal yang belum tersentuh. Khususnya pendidikan informal terhadap kaum perempuan. Seperti pelatihan-pelatihan, seminar dan sebagainya yang bisa mengangkat SDM kaum perempuan di Kota Singkawang ini," kata Iin, panggilan akrab Nurindrawati belum lama ini. Menurut dia, jika Pemerintah Kota Singkawang tidak mampu untuk melaksanakan kegiatan dibidang informal, bisa diserahkan kepada organisasi terkait untuk melaksanakannya. Seperti GOW, Dharma Wanita Persatuan dan organisasi lainnya yang juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan itu semua. Organisasi-organisasi seperti itu kata dia bisa diberdayakan dalam upaya meningkatkan pendidikan informal di Kota Singkawang. Dengan begitu keberadaan mereka lebih berperan dan berarti di tengah-tengah masyarakat Kota Singkawang. Tidak seperti yang terjadi selama ini, organsiasi-organisasi tersebut hanya muncul dalam moment-moment tertentu saja. Sementara program rutinitas untuk meningkatkan SDM nyaris tidak kelihatan di permukaan. Legislator dari PAN ini mengaku tidak tahu persis mengenai kondisi anggaran di organisasi-organisasi tersebut. "Yang jelas dana untuk program kegiatan di setiap organisasi itu ada," ujarnya. Besar atau tidaknya anggaran yang ada di organisasi, Iin berharap agar pemerintah terkait dapat menggandeng organisasi tersebut untuk melancarkan kegiatan pendidikan informal di Kota Singkawang. Apakah itu dalam bentuk pelatihan, seminar, diskusi dan sebagainya yang bisa meningkatkan kualitas SDM masyarakat kota, khususnya SDM kaum perempuan. Dia yakin dengan adanya kegiatan pendidikan informal yang dianggarkan melalui APBD nanti dapat menunjang program pemerintah untuk menjadi kota berkualitas. Masyarakat berstatus ekonomi lemah yang tidak mampu mengenyam pendidikan formal pun bisa merasakan sentuhan pendidikan. (vie)

< Anggota DPRD Kota Singkawang, Nurindrawati SH menyatakan, anggaran pendidikan tahun 2006 diharapkan tidak saja dipergunakan untuk pendidikan formal. Tapi juga informal yang sepertinya mulai dilupakan.

Selama ini, anggaran pendidikan lebih banyak dialokasikan untuk pendidikan formal. Sementara informal tidak ada, padahal informal juga sangat penting untuk menunjang peningkatan SDM berkualitas di Kota Singkawang.

"Masih banyak pendidikan informal yang belum tersentuh. Khususnya pendidikan informal terhadap kaum perempuan. Seperti pelatihan-pelatihan, seminar dan sebagainya yang bisa mengangkat SDM kaum perempuan di Kota Singkawang ini," kata Iin, panggilan akrab Nurindrawati belum lama ini. Menurut dia, jika Pemerintah Kota Singkawang tidak mampu untuk melaksanakan kegiatan dibidang informal, bisa diserahkan kepada organisasi terkait untuk melaksanakannya. Seperti GOW, Dharma Wanita Persatuan dan organisasi lainnya yang juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan itu semua. Organisasi-organisasi seperti itu kata dia bisa diberdayakan dalam upaya meningkatkan pendidikan informal di Kota Singkawang. Dengan begitu keberadaan mereka lebih berperan dan berarti di tengah-tengah masyarakat Kota Singkawang. Tidak seperti yang terjadi selama ini, organsiasi-organisasi tersebut hanya muncul dalam moment-moment tertentu saja. Sementara program rutinitas untuk meningkatkan SDM nyaris tidak kelihatan di permukaan. Legislator dari PAN ini mengaku tidak tahu persis mengenai kondisi anggaran di organisasi-organisasi tersebut. "Yang jelas dana untuk program kegiatan di setiap organisasi itu ada," ujarnya. Besar atau tidaknya anggaran yang ada di organisasi, Iin berharap agar pemerintah terkait dapat menggandeng organisasi tersebut untuk melancarkan kegiatan pendidikan informal di Kota Singkawang. Apakah itu dalam bentuk pelatihan, seminar, diskusi dan sebagainya yang bisa meningkatkan kualitas SDM masyarakat kota, khususnya SDM kaum perempuan. Dia yakin dengan adanya kegiatan pendidikan informal yang dianggarkan melalui APBD nanti dapat menunjang program pemerintah untuk menjadi kota berkualitas. Masyarakat berstatus ekonomi lemah yang tidak mampu mengenyam pendidikan formal pun bisa merasakan sentuhan pendidikan. (vie)

Sumber :
(http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Singkawang&id=116429)

Senin, 16 Maret 2009

Pendidikan Informal Ikut Berantas Buta Aksara
GUNUNGKIDUL: Pendidikan informal memiliki kontribusi terhadap pengentasan buta aksara dan penuntasan wajib belajar tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah lanjutan pertama (SLP). Salah satu pendidikan informal adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di Gunungkidul. Kabupaten Gunungkidul memiliki 53 PKBM yang tersebar di 144 desa.

PKBM ini memiliki program belajar untuk Keaksaraan Fungsional (KF), Kejar Paket A (setara SD), Kejar Paket B (setara SMP), dan Kejar Paket C (setara SMU).Selain itu PKBM juga membantu kelompok masyarakat untuk meningkatkan ketrampilan untuk peningkatan pendapatan.

Wardoyo, Ketua PKBM Wasis, mengatakan, "PKBM Wasis pada tahun ajaran 2008/2009 memiliki 220 peserta KF, 20 peserta KF lanjutan, 40 peserta kejar paket B Kelas 8, 20 peserta Kejar paket B Kelas 9 dan 57 peserta Kejar paket C".

Ia menambahkan, dana kegiatan tersebut berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan swadaya. PKBM Wasis bersekretariat di Desa Katongan dengan peserta belajar dari Desa Katongan dan Desa Natah, Kecamatan Nglipar, Gunungkidul. Dalam bahasa Indonesia, "wasis" berarti "pintar".(BJ-88)
Pendidikan Agama di Sekolah
Rabu, 21 Juni 2006
Abidun Pasaribu, Anggota PMB

Untuk lebih mendekatkan siswa mencintai pelajaran agama Islam di sekolah diperlukan meninggalkan paradigma lama, yakni mengganti dengan konsep baru. Sebaiknya materi pendidikan agama Islam yang diberikan mulai tingkat TK hingga sekolah menengah dari yang standar perlu dibumbui dengan kreasi serta dalam penerapan materi dan parktek, supaya ada kesinambungan.

Caranya, pihak sekolah dan guru agama sendiri perlu melakukan upaya-upaya peningkatan kreasi materi diberikan dengan mengemas sedemikan rupa supaya pelajaran agama ini tidak menjenuhkan. Ya teori langsung praktek dilakukan dia out door, misalkan di Masjid atau dimana saja yang bisa membuat daya tarik siswa.

Sementara selain pelajaran agama melalui bangku sekolah, pihak orang tua juga harus banyak berperan dilingkungan keluarga dengan menerapkan konsep keluarga sakinah. Yakni menciptakan keluarga yang tenteram dan harmonis, bisa terpenuhi antara kebutuhan fisik dan psikis ialah menjadikan keluarga sebagai basis pendidikan sekaligus penghayatan agama anggota keluarga.

Melihat pentingnya pendidikan agama di sekolah dan di dalam keluarga, karena agama secara teologis adalah seperangkat nilai yang abstrak yang memiliki kebenaran absolut secara akidah bagi pemeluknya. Serta agama sendiri merupakan dasar untuk membentengi manusia dari segala bentuk kezaliman duniawi.

Namun saya nilai, apabila pendidikan agama dikaitkan dengan pendidikan formal di sekolah, sebenarnya amat sempit karena pendidikan formal dibatasi ruang, waktu, kurikulum, target nilai, jenjang, terlebih ada intervensi sistem pendidikan dari luar lembaga pendidikan. Seadangkan ilmunya sendiri, dikaji bersifat terapan, mengedepankan nalar, keberhasilannya diwujudkan dalam kerangka pengembangan pengetahuan yang bersifat praktis seperti teknologi, ekonomi, pranata sosial, dan sebagainya.

Sesungguhnya, pendidikan pendidikan agama itu lebih sakral bersifat sepanjang hidup, yang di dalamnya mencapai target matang (mature) bukan sekadar kaffah (kuantitatif) atau relegiusitas, tetapi kedalaman spiritualitas haqqa (uqatihi). Maka untuk itu, pendidikan agama menjadi penting diletakkan dalam wilayah yang tidak disekat sistem, tetapi untuk penghayatannya harus paduan antara pengetahuan dan pengalaman.

Sementara supaya generasi muda tidak terseret derasnya arus perubahan, sekolah perlu mengembangkan pendidikan alternatif dengan mengedepankan keseimbangan antara pemahaman pengetahuan umum dan agama. Sistem pendidikan selama ini hanya mencetak generasi cerdas otak tanpa kecerdasan ruh (batin). Pendidikan hanya menghasilkan generasi pintar tapi tak berakhlak mulia. Produk pendidikan pun menjadi manusia pintar yang hanya mengejar keuntungan sendiri, pintar melakukan korupsi, pintar merusak hutan yang sering mengakibatkan bencana di negeri ini.

Untuk menjawab semua itu, sekolah perlu menyodorkan alternatif, yakni pendidikan agama diajarkan harus seimbang dengan pengetahuan umum dan teknologi. Karena pendidikan agama dan pendidikan umum adalah satu kesatuan, tidak boleh diterapkan dalam dunia pendidikan yang saat ini berjalan. Hal ini dimasud, supaya ada keseimbangan dan kesatuan, yang bisa menciptakan generasi yang cerdas otak dan batiniah yang dilandasi nilai Islam.

Sementara selain kemampuan aspek kognitif dan agama, siswa juga perlu dibekali dengan aspek kejiwaan dan wawasan umum, artinya siswa minimal diajak keluar untuk praktek langsung di lapangan berhadapan dengan alam untuk belajar. Sebab pendidikan dogmatis seperti selama ini hanya mampu menghasilkan lulusan penghafal saja, tanpa mampu memiliki kreatifitas dan perjuangan hidup.

Karena itu, penilaian pendidikan bukan hanya didasarkan pada penilaian kuantitaif. Tetapi subtansi dan hakekat pengetahuan wajib ditanamkan. Namun tidak kalah pentingnya lagi, guru pengajar perlu berkualitas dan punya kesadaran akan penerapan pendidikan bermartabat, yakni sistem proses belajar mengajar yang akrab dan bersahabat. (sm/aa)



http://sijorimandiri.net/jl/index.php?option=com_content&task=view&id=7050&Itemid=59

implementasi Psikologi Pendidikan Agama di Sekolah

PENDAHULUAN


Oleh : Khoirul Anhar

Jika kita menilai secara jujur dan realistis, yang disebut lembaga sekolah di tanah air kita ini, tidak lebih adalahlembaga yang memberikan pelajaran-pelajaran formal dalam mengembangkan aspek intelektual yang cendrung teoritis. Artinya, dari sisi sistimatik lembaga sekolah sangat bersifat pengajaran dan nyaris tak menyentuh aspek pendidikan, hal ini bisa dilihat dari standar kenaikan ataupun pelulusan yang hanya mengutamakan nilai intelektual yang diwujudkan dengan NUN (Nilai Ujian Nasional).
Pola pendidikan yang timpang ini, jika ditelusuri akan ditemukan titik tolaknya yang bersumber dari falsafah dasar sistem persekolahan kita. Menurut Agus Sunyoto sebagai pemerhati pendidikan, “bahwa falsafah dasar yang dianut oleh sistem persekolahan kita adalah filsafat positivisme yang bersifat sekuler, materialis, rasionalis dan bebas nilai”. Oleh karena itu, maka semua gerak dan perkembangan sekolah, tidak akan jauh keluar dari konteks tersebut.
Dengan demikian, dalam bahasa agamisnya, sistem persekolahan yang kita anut ini adalah sistem Jahiliyyah yang berkiblat ke Barat. Dengan falsafah dasar seperti itu, wajar saja jika pengembangan kurikulum di sekolah hanya berisi seperangkat disiplin ilmu, yang semata-mata hanya mengembangkan aspek intelek anak didik dan mengabaikan aspek pembinaan kepribadian anak didik. Maka kita dapatkan gambaran diperkotaan yang cendrung sekolahnya lebih maju dan elit, justru dari tempat itu sering muncul masalah, tawuran, penyalahgunaan narkoba, dan tindak kriminal lainnya, yang tidak melambangkan identitas insan yyang tinggi pendidikannya. Mungkin penilaian ini apriori, tapi disadari atau tidak, kondisi sekolah yang lebih mapan dalam segala hal tidak menjamin sanggup melahirkan orang yang benar, tapi hanya mampu melahirkan orang yang pintar, dan ini berbahaya. Pendidikan Agama sebagai disiplin ilmu yang bersifat pendidikan, turut pula berada dalam dinamika sistem Jahiliyyah tersebut. Dan tidak menutup kemungkinan untuk ikut serta terperangkap dalam sistem tersebut.
Dengan demikian keberadaan mata pelajaran yang bersifat pendidikan seperti pendidikan agama dalam sekolah hanya bersifat “tambahan” Dengan menilai secara jujur, dan realistis sekitar materi pelajaran sekolah yang kurang memperhatikan aspek pembinaan kepribadian, maka wajar saja jika pada gilirannya lembaga sekolah sering dikeluhkan sebagai sumber lahirnya pengangguran, karena lulusan sekolah (yang tidak memiliki ketrampilan dan pribadi yang tangguh dan mandiri) ternyata tidak siap pakai dalam menghadapi bidang pekerjaan yang menjadi profesinya. Lembaga sekolah sering hanya seperti menara gading, yang banyak menjadi penyebab pengasingan anak didik terhadap budaya yang ada disekitarnya.
Sementara berbagai kasus di sekolah seperti tawuran antar pelajar, siswa menyeroyok guru, ugal-ugalan di jalan, penggunaan narkoba, minum-minuman keras, siswa berbuat mesum dan berbagai kasus memalukan yang lain, seringkali menimbulkan pertanyaan sekitar implementasi pendidikan agama di sekolah. Apa yang dilakukan guru agama dalam mendidik siswa-siswanya, apakah guru agama tidak mampu meng-implementasi-kan ajaran agama kepada para siswa ?


KEBERADAAN PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH

Sebenarnya, jika menelaah keberadaan Pendidikan Agama di sekolah, secara jujur dapat dinilai, sepanjang sejarahnya, pada dasarnya sudah diperlakukan sedemikian rupa tidak manusiawinya. Mata pelajaran agama justru telah disudutkan sedemikian rupa seolah-olah hanya tinggal sebuah mata pelajaran tentang agama Islam yang teoritik yang sekedar membahas hal-hal yang berkaitan dengan peribadatan, tidak lebih. Walhasil guru agama hanya menyampaikan pelajaran teoritik tentang ibadah ritual keagamaan dengan waktu yang sangat singkat. Lebih mengenaskan lagi, pendidikan agama diberbagai sekolah hanya diberi dua jam pelajaran.
Dengan menyadari keberadaan pendidikan Agama di lembaga sekolah yang tidak lebih hanya di fungsikan sebagai tambahan itu, maka amat memprihatinkan sekali jika ada masyarakat, terutama para pengajar agama berharap terlalu banyak untuk bisa memberikan kontribusi terhadap pembinaan anak didik di sekolah. Sebab ditinjau dari aspek waktu dan materi pelajaran mustahil bisa diperoleh kontribusi yang optimal. Malah sering kali, jika terjadi ketimpangan perilaku anak didik di sekolah yang cenderung dijadikan sasaran kesalahan adalah guru agamanya yang dinilai kurang bisa membina dan membimbing murid-muridnya dengan baik. Kondisi ini tentu amat memprihatinkan. Jujur saja, dibanding mata pelajaran lain, keberadaan mata pelajaran pendidikan agama di sekolah hanya memperoleh waktu yang singkat sekali,. Kondisi ini tentu saja akan menyulitkan guru dalam melaksanakan tugas secara optimaldalam mentransformasikan ilmu pendidikan agama kepada anak didik.
Sementara sistem pendidikan yang berjenjang, semakin tidak menguntungkan penanaman ilmu agama karena waktu tatap muka, dalam mentranformasi dari buku teks tidak didayagunakan secara optimal. Contoh sederhana, satu buku teks yang sesogyanya harus dipelajari dalam tempo yang lama dan berulang-ulang, harus diselesaikan dalam waktu singkat, karena harus mengikuti prosedur sistimatik kurikulum yang ada. Seakan-akan guru harus menuntaskan materi pelajaran sesuai target kurikulum tanpa melihat hasil dari penanaman kepribadian yang didapat anak didik. Menyadari keberadaan sistem persekolahan beserta kompleksitasnya disatu pihak dan keberadaan pendidikan agama dipihak lain, maka alternatif yang dapat ditawarkan, terutama dalam era otonomi daerah ini, adalah adanya perubahan sistem persekolahan yang diterapkan, hendaknya diganti dengan sistem persekolahan yang lebih cocok dengan kepribadian bangsa kita. Hal ini sudah mulai dirintis, misalnya dalam proses persekolahan, ada rambu nilai-nilai moral yang dijadikan pijakan dalam menentukan proses pelulusan, walau masih keliharan ragu-ragu, tapi itu merupakan awal dari sebuah proses menuju cita-cita yang diinginkan dalam falsafah negara kita.

PENTINGNYA PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH


Kecendrungan yang positif dalam kaitannya dengan pendidikan agama di sekolah, dapat dilihat dari penegasan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989, yang mana pendidikan agama merupakan mata pelajaran penting yang harus diberikan disetiap lembaga sekolah. Hal ini dilandasi pemikiran, bahwa kemajuan teknologi dan budaya asing yang datang seringkali tidak selaras dengan kepribadian kita, hal ini tidak dapat dihindari, bahwa arus informasi global turut menjadi pemicu masuknya budaya asing tersebut, yang sedikit banyak telah mengalihkan perhatian anak dari kebiasaan zaman dulu untuk pergi ke surau dan mengaji di waktu magrib.
Hal inilah yang ingin diperkecil dampaknya dengan menonjolkan pentingnya peningkatan kehidupan beragama, yang ingin dimulai di sekolah-sekolah. Bahwa tujuan pendidikan agama diajarkan adalah berusaha mendidik individu mukmin agar tunduk, bertaqwa, dan beribadah dengan baik kepada Allah sehingga memperoleh kebahagiaan dunia akherat . Dengan harapan anak didik dapat meningkatkan iman dan taqwa ditengah perubahan masyarakat yang memang dibutuhkan dan tidak dapat dihindari ini, sehingga tercapai keseimbangan antara kehidupan jasmani dan kehidupan rohani.

MATERI PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH


Keberadaan materi pendidikan agama yang selama ini dikembangkan, terlalu terfokus kepada kurikulum yang telah ditetapkan, hal ini ditambah dengan teks buku yang ada tidak ditelaah secara kritis dan mendalam, sehingga penguasaan anak lebih kepada penguasaan agama sebagai ilmu teoritis, bukan kepada penghayatan dan pengamalan nilai-nilai agama itu sendiri, hal ini harus dirubah, kurikulum seharusnya memberikan ruang dan gerak yang cukup kepada pendidik, untuk mengembangkan dan menelaah materi agama secara mendalam, dan materi-materi yang kurang relevan dalam kehidupan anak, hendaknya tidak perlu lagi dipaksakan untuk diajarkan. Kedepan, materi pelajaran agama harus menekankan kepada perbaikan akhlak dan penghayatan pengamalan nilai-nilai agama secara utuh, dengan mengurangi materi yang sebenarnya tidak perlu lagi diajarkan.

METODE PENGAJARAN PENDIDIKAN AGAMA


Mengajar pada hakekatnya merupakan upaya guru dalam menciptakan situasi belajar. Metode yang digunakan oleh guru diharapkan mampu menumbuhkan berbagai kegiatan belajar, dengan perkataan lain, proses belajar mengajar merupakan proses interaksi antara guru yang menciptakan suasana belajar dengan pelajar yang memberikan respon terhadap usaha guru tersebut. Suatu metode akan dikatakan baik, apabila dengan metode tersebut dapat menumbuhkan suasana belajar yang baik. sehingga dalam menggunakan suatu metode mengajar seorang guru harus memperhatikan beberapa aspek, menurut Ahmad Tafsir, aspek yang harus diperhatikan adalah : kondisi anak didik, tujuan yang hendak dicapai, situasi lingkungan, alat-alat yang tersedia, kondisi guru, materi yang disampaikan.
Dalam menentukan suatu metode yang akan digunakan sebenarnya tidak sulit, masalahnya adalah bagaimana dengan metode itu, proses pembelajaran dapat efektif dalam mencapai tujuan yang diharapkan, oleh karenanya sebelum menentukan suatu metode yang akan digunakan, seorang pendidik perlu menyusun langkah-langkah dalam pembelajarannya, sehingga akan serasi antara materi, tujuan dengan metode yang digunakannya. Ada berbagai macam metode dalam pembelajaran, menurut Husni Rahim dkk, diantaranya : Ceramah, tanya jawab, diskusi, demontrasi, tugas belajar dan resitasi, kerja kelompok, sosiodrama, problem solving, sistem regu, simulasi, tutorial, studi kasus, curah gagasan, studi bebas, kelompok tanpa pemimpin, dan latihan.
Dari sekian banyak metode ini, yang perlu disadari bahwa tiap-tiap metode masing-masing mempunyai kelemahan dan kelebihan, oleh karena guru harus berusaha memadukan berbagai metode yang ada, dengan mempertimbangkan aspek-aspek dalam menentukan suatu metode, maka guru jangan hanya terfokus pada satu metode dalam pembelajarannya, apalagi menyangkut pelajaran agama, diperlukan metode secara terpadu dan bisa saja beberapa metode dilakukan sekaligus. Dalam konteks pendidikan agama Islam, menurut al Ghazali metode pengajaran harus berprinsip pada child centered yaitu mementingkan anak didik daripada pendidik itu sendiri.
Implimentasi dari prinsip metodologi tersebut adalah penggunaan metode keteladanan, bimbingan dan konselingcerita motivasi dan reinforcement.namun demikian karena pendidikan Islam mencakup pembinaan ketrampilan , afektif dan kognitif, maka metode pengajaran harus dapat menyentuh perasaan, mendidik jiwadan membangkitkan semangat. Menurut al Nahwawi, metode yang sesuai untuk pendidikan agama Islam sebagaimana yang terdapat dalam al qur’an dan Hadits, sebagai berikut :
a. Metode Hiwar Qur’ani dan Nabawi Yaitu metode dialog silih berganti antara dua pihak atau lebih tentang suatu tema yang mengarah pada tujuan pendidikan yang ingin dicapainya.
b. Metode Kisah Qur’ani dan Nabawi Yaitu metode dengan menggunakan kisah yang menarik dan mengambil teladan dari kisah tersebut, karenanya dalam menampilkan suatu kisah harus memilih tokoh yang menarik dan dapat dijadikan panutan.
c. Metode Amtsal Yaitu metode dengan ceramah atau membaca teks, yang hampir sama dengan metode kisah, metode ini dapat mempermudah siswa dalam memahami suatu konsep yang abstrak, merangsang kesan terhadap suatu makna yang tersirat, metode ini pula dapat memberikan motivasi untuk berbuat baik dan menjahui kejahatan
d. Metode Teladan Yaitu metode yang menggunakan keteladanan dalam menanamkan penghayatan dan pengamalan materi pendidikan agama
e. Metode Pembiasan Yaitu metode pengulangan yang dilakukan secara terus menerus, sehingga menjadi suatu kebiasaan, seperti mengucapkan salam
f. Metode Ibrah dan Mauziah Yaitu metode dengan menelaah ibrah dari kisah, bukan hanya historisnya tapi implimentasi dari kisah itu sendiri, mauziah yaitu metode dengan nasehat yang lembut dan menyentuh
g. Metode Targhib dan Tahrib Yaitu Metode yang didasarkan kepada ganjaran dan hukuman Upaya guru dalam

EVALUASI PENDIDIKAN AGAMA


Eavaluasi merupakan suatu instrumen yang harus ada dalam proses pengajaran. Karenanya keberhasilan seorang siswa akan dapat diketahui setelah dilakukan proses evaluasi. Dalam melakukan evaluasi diperlukan standar penilaian yang komprehensif dari seluruh aspek kehidupan mental psikologis dan spiritual religius. Ada empat sasaran dari proses evaluasi dalam pendidikan agama Islam, diantaranya:
a. Sikap dan pengamalan diri terhadap hubungannya dengan Allah
b. Sikap dan pengamalan diri terhadap hubungannya dengan masyarakat
c. Sikap dan pengamalan diri terhadap hubungannya dengan Alam
d. Sikap dan pengamalan diri terhadap arti hubungannya sebagai hamba Allah, selaku anggota masyarakat dan selaku kholifah di bumi.

Sasaran evaluasi tersebut kemudian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan untuk direspon yang hasilnya dianalisis secara psikologis, karena yang menjadi pokok persoalan evaluasi pendidikan agama adalah sikap mental, dan pendangan dasar sebagai manifestasi dari keimanan dan keislaman serta keilmuannya.
Nah, persoalannya yang mendasar adalah kemampuan guru dalam mengevaluasi, menyangkut penggunaan metode evaluasi, pengambilan alat evaluasi yang tepat dan teknik evaluasi yang valid, karenanya dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan dalam mengevaluasi peserta didiknya yang tidak kalah terpentingnya, bahwa prinsip dari sistem evaluasi yang dilakukan, menurut Husni Rahin, harus dilakukan secara terus menerus, menyeluruh dan ikhlas.
Agar persoalan-persoalan yang kami kemukakan diawal tidak terjadi, dan dapat diminimalkan, kecemasan atas kegagalan pendidikan agama di sekolah yang dituduhkan sebagian kalangan selama ini, tidak terbukti. Maka tugas pengajar pendidikan agama menjadi sangat penting dalam menjaga dan mengawal prilaku anak, walaupun peran dan wewenanya terbatas, dapat sungguh bermakna dalam membina dan membimbing generasi penerus bangsa dari kegersangan rohaninya.

KESIMPULAN

Keberadaan pendidikan agama di lembaga sekolah, walaupun oleh sebagaian orang masing disangsikan peran dan fungsinya, tetap mempunyai andil yang besar dalam membina dan meningkatkan kepribadian anak. Kasus yang terjadi diberbagai tempat, dapatlah dijadikan pelajaran berharga bagi para pendidik, untuk dicarikan solusinya. Karenanya pendidikan agama jangan hanya menjadi mata pelajaran teoritis saja, tapi lebih kepada mengamalan, penghayatan, dan peningkatan kepribadian anak didik secara menyeluruh.
Karenanya dibutuhkan intrumen evaluasi yang komprehensif dan menyeluruh, tidak hanya mengukur aspek kognitif semata, tetapi aspek yang lain perlu juga di evaluasi, sehingga anggapan pendidikan agama hanya sebagai tambalan di sekolah secara perlahan akan hilang dengan sendirinya, dan keberadaan pendidikan agama di sekolah benar-benar menjadi sesuatu yang urgen bagi anak didik dalam menghadapi berbagai persoalan di masa mendatang.


http://paijo-islamic.blogspot.com/2008/10/implementasi-psikologi-pendidikan-agama.html